Chapter 22 - SENDIRIAN

Sudah dua tahun berlalu, aku tidak pernah lagi merasa sakit di bagian ginjal setelah mendonorkan satu ginjalku untuk Habib. Aku kira semuanya baik-baik saja, tapi ternyata hidup dengan satu ginjal dapat mempengaruhi kesehatanku dua tahun terakhir.

Dokter menyebut, aku terlalu banyak pikiran dan penuh tekanan, hingga semua beresiko ke otak yang terlalu di paksa berpikir keras sampai mempengaruhi fungsi kerja ginjal. Beberapa hari terakhir aku juga sempat khawatir dengan urine yang kuproduksi ternyata bercampur dengan darah. Itu semua di sebabkan karena kondisi ginjalku yang rusak.

"Sebaiknya Bu El di rawat di rumah sakit, ini semua demi kelangsungan kesehatan Ibu dan juga bayi yang sedang Ibu kandung," kata dokter memberi nasehat padaku.

Aku hanya bisa diam, memandang ke arah jendela yang tertutup dengan memperlihatkan matahari yang perlahan tenggelam. Perasaanku kacau balau, serasa di obrak-abrik karena keadaan rumah yang tidak seharmonis dulu.

"El, nanti kita ke rumah sakit, ya? Biar Mas suruh Mira untuk mengemasi barang-barangmu," kata Habib pula.

"Tidak usah, Mas. Aku hanya perlu istirahat saja," jawabku dengan suara lemah yang hampir tidak terdengar.

Mataku masih berkaca-kaca mengingat cerita Azka dan Mira mengenai perbuatan Farida. Sakit hati dan kecewa, ingin marah tapi tak bisa. Yang kubutuhkan sekarang hanya ketenangan, kesendirian, dan kesunyian.

"Tapi, El—"

"Pak, tidak usah di paksa. Bu El bisa memakai infus yang saya beri. Telepon saja saya kalau kondisi bu El semakin memburuk," sela dokter lelaki yang amat sangat pengertian ini.

"Baik, Dok. Terima kasih."

Dokter pergi setelah diantar Mira keluar rumah. Sementara aku masih di kamar, bersama Habib yang hanya terduduk diam sambil melihatku. Jangan tatap aku seperti itu, aku mohon. Hati ini akan semakin sakit jika dia terus memberiku tatapan penuh cinta yang selalu dia banggakan.

Apa seperti itu Habib menatap Farida? Karena jika di tanya apakah Farida memberi tatapan yang sama, maka jawabannya 'iya'.

"Apa kamu—"

"Mas, bisa tinggalkan aku sendiri? Aku sedang tidak ingin di ganggu." Aku menyela ucapan Habib dengan cepat sebelum dia menyelesaikan dialognya.

"Tapi—"

"Mas ... aku mohon, aku butuh waktu sendiri." Air mataku tumpah seketika saat Habib mengangguk dan pergi.

Begini rasanya di poligami? Kenapa aku bisa sebodoh ini menyuruh Habib menikahi Farida, padahals udah jelas-jelas Farida tidak pernah puas dengan apa yang kuberikan. Sudah jelas, Farida mencintai Habib dan dia sedang berusaha membuat Habib jatuh cinta padanya.

Lalu apa? Apa yang bisa kulakukan jika sampai Habib jatuh cinta pada adikku? Tidak, itu mimpi buruk yang tak akan pernah kuwujudkan. Dan kalau aku di beri pilihan, maka aku tidak akan pernah tidur dari pada harus bermimpi.

"Ammah?" Azka datang dari arah pintu dengan menyembulkan kepalanya.

"Iya, sayang?"

"Boleh Azka masuk?"

"Boleh. Kemarilah!"

Bocah berusia sembilan tahun itu datang dan berdiri di samping tempat tidurku. Dia sudah berpakaian lengkap dengan peci dan baju koko yang selalu di siapkan oleh Mira sebelum maghrib tiba. Pasti dia akan berangkat sholat ke masjid bersama Habib, itu adalah rutinitas mereka.

"Ammah sakit apa?"

"Ammah? Ammah tidak sakit, sayang. Ammah hanya kelelahan saja."

"Tapi kenapa ammun menangis?" Mata ini kembali berkaca-kaca mendengar perkataan Azka.

Azka mengaku, dia tidak sengaja meligar Habib sedang duduk di salah satu anak tangga sambil diam. Awalnya Azka mengira Habib hanya sedang menunggunya saja, tapi ternyata Habib menangis dengan menyebut namaku berulang kali.

Azka menyentuh tanganku lalu mengelusnya pelan. "Ini semua gara-gara ammah Farida, ya?"

Aku menggeleng lemah. "Tidak, kenapa kamu berpikir begitu?"

"Kata mbak Mira, ammah Farida sudah membuat rumah tangga Ammah El dan ammun Habib rusak. Kenapa ammah Farida jahat?"

Tangisku pecah mengingat semua itu. Rasa sakit ini amat sangat deja vu dengan rasa sakit dua tahun lalu ketika Farida menikah dengan Umar. Jangan, aku tidak mau mengulang rasa sakit yang sama dengan orang yang sama.

Aku sudah tidak sekuat dulu, karena sekarang aku benar-benar tidak punya bahu sandaran. Ayah, abi, umi, mbak Anisa bahkan bang Fahri. Semuanya sudah tidak ada, aku sendirian, aku tidak kuat jika harus mengulangnya lagi.

"Azka bukan anak kecil lagi, Ammah. Azka tahu, ammah Farida ingin merebut ammun Habib dari Ammah 'kan?"

Aku tidak bisa menjawab, bibirku gemetar tanpa ada sepatah katapun yang bisa kukeluarkan. Aku sakit, sangat sakit. Bahkan sakit di bagian ginjal sampai tidak terasa karena terlalu sakit di bagian hati.

"Azka ingat, ayah dulu sering menjadi tempat curhat Ammah ketika ada masalah. Tapi sekarang ayah sudah tiada, jadi Ammah bisa curhat pada Azka," katanya lagi sambil mengusap kepalaku.

Itu semakin membuatku sedih. Teringat bagaimana kuatnya aku yang dulu ketika ada tangan bang Fahri yang selalu merangkulku. Mbak Anisa yang selalu ada untukku, juga abi dan umi yang senantiasa menjadi sandaran untukku.

Mereka semua orang baik, tapi kenapa harus pergi secepat ini? Sekarang aku sendirian, menghadapi masalah tanpa ada dukungan.

"Azka, sudah di tunggu ammun di bawah. Ayo cepat turun, kalian mau sholat berjama'ah di masjid 'kan?" Mira mendadak datang dengan membuka pintu sambil menyeru nama Azka.

"Iya, Mbak!" jawab Azka patuh langsung pergi setelah mencium punggung tanganku.

Segera kuhapus jejak air mata di pipi saat Mira melangkah masuk. Dia menyalakan lampu dan menutup tirai jendela yang masih terbuka. Waktu maghrib hampir tiba, sekarang pun sudah terdengar suara ngaji di masjid menjelang adzan.

"Bu El seharusnya tidak perlu sampai seperti ini. Ingat, Bu El sedang hamil muda dan kesehatan Bu El sangat bergantung dengan satu ginjal. Jangan sampai masalah ini mempengaruhi kehamilan Ibu," kata Mira.

"Saya takut, Mir. Saya takut kejadian dua tahun lalu terulang kembali. Saya tidak mau dua lelaki yang saya cintai di rebut wanita yang sama. Itu sungguh menyakitkan, Mir."

"Astaghfirullah, Ibu. Jangan mendahului takdir, itu belum tentu benar."

"Kamu tidak tahu bagaimana rasanya, Mir. Kehilangan Umar adalah penderitaan paling berat bagi saya. Satu tahun saya tersiksa karena pernikahan Umar dan Farida, dan ketika saya sudah mulai bahagia, Farida ingin merusaknya kembali? Saya tidak rela!"

"Iya, Bu. Saya paham. Tapi bukankah Ibu sendiri yang menyuruh pak Habib menikahi Farida? Ini sudah menjadi resiko pernikahan yang Ibu minta."

Aku tahu, ini permintaanku. Tapi aku hanya meminta Habib menikahi Farida, bukan mencintainya. Entah kenapa, tatapan Habib seolah mengatakan jika dia memang mencintai Farida. Mungkin dia masih ragu dengan perasaan itu, tapi aku bisa merasakannya.

"Pak Habib berjuang mati-matian demi membahagiakan Bu El. Beliau juga sangat mencintai Bu El, sampai-sampai rela membayar orang untuk menyelidiki kasus penembakan Bu El. Ibu ingat itu?" Aku mengangguk. "Saya rasa itu sudah cukup membuktikan kalau pak Habib tidak mungkin mengkhianati Bu El."

"Aamiin. Semoga saja ya, Mir."

Percakapan kami di akhiri oleh adzan maghrib yang berkumandang. Waktunya aku untuk bersiap sholat maghrib, dengan di bantu Mira aku pergi wudhu ke kamar mandi. Aku butuh ketenangan, dan ketika tidak ada orang yang bisa kujadikan tempat curhat, maka Allah adalah jalan terakhirnya.