Sore hari selepas adzan ashar, aku dan Mira mengajak baby Rizky untuk berjalan-jalan santai di taman komplek. Kami hanya berdua saja karena Farida dan bunda enggan keluar rumah. Biasanya, namanya juga ibu hamil, Farida tentu merasa lebih malas beraktivitas dan lebih mudah lelah kalau terlalu banyak beraktivitas.
Untung saja usia kehamilanku baru menginjak lima minggu, hingga belum membebaniku. Bahkan aku seperti merasa tidak ada apapun di dalam perut, masih terasa biasa saja. Mira bilang, aku masih terlihat seperti wanita yang tidak mengandung.
Baby Rizky di taru di dalam stroller yang di dorong Mira. Kami berjalan mengelilingi taman sebelum memutuskan untuk duduk di salah satu kursi yang tersedia di bawah pohon besar.
Suasana taman cukup ramai saat itu, karena memang jam segini adalah waktu yang paling tepat untuk mengajak anak-anak bermain di taman. Ada ayunan, jungkat-jungkit, dan berbagai permainan lain. Perasaanku jauh lebih tenang saat melihat banyak anak-anak berlarian di sekitar kami.
"Saya senang kalau jalan-jalan ke sini, lihat banyak anak-anak sambil tertawa, membuat hati terasa tenang," ucapku tersenyum memandang ke depan.
"Iya, Bu. Saya juga senang. Pasti seru kalau misalnya baby Rizky sudah besar nanti, kita bisa ajak dia main berbagai permainan disini," sahut Mira.
Baby Rizky hanya tersenyum sambil melihatku dan Mira secara bergantian. Matanya indah, bulat hitam dengan tatapan penuh binar. Bibirnya pink dengan kulit putih nan bersih, pipinya terlihat gembul berisi, sangat menggemaskan.
Bahkan ada beberapa orang yang datang untuk mengelus pipi Rizky dan menggendongnya. Dia benar-benar bayi menggemaskan yang pernah kulihat, aku tahu dia menjadi idola taman ini dalam sekejap mata karena keimutannya.
"Bu Aisyah pasti sangat cantik, sampai-sampai anaknya juga tampan. Begitu banyak orang yang ingin menggendongnya, jika saya menjadi ibunya, saya akan merasa sangat bahagia," tutur Mira tersenyum melihat sepasang suami istri muda yang menggendong baby Rizky.
"Sangat, Mira. Aisyah itu sangat cantik. Dia bahkan memiliki senyum manis yang tidak pernah dimiliki siapapun. Hidungnya mancung, kulitnya putih dengan bola mata cokelat besar yang memenuhi matanya. Saya juga senang ketika melihatnya."
Mira memang sudah tahu tentang Aisyah, yang merupakan ibu kandung baby Rizky. Hal ini sudah sejak lama kuberitahukan kepada Mira saat dia memutuskan untuk merawat Rizky. Lalu bagaimana tentang pernikahan Habib dan Aisyah?
Dia juga sudah tahu, hanya saja tentang alasan pernikahan palsu itu tidak kami beritahu padanya. Habib menyebut jika itu adalah alasan pribadi yang tidak bisa di sebarluaskan begitu saja.
"Tadi saya sempat melihat bu Farida dan nyonya Laila bicara berdua di dapur. Maaf kalau saya lancang, tapi ... kenapa nyonya Laila menyebut kalau pernikahan ini tidak boleh berakhir? Apa maksudnya itu, Bu?" tanya Mira setelah menaruh kembali baby Rizky di stroller-nya.
"Pernikahan?"
Mira kembali mengangguk. "Iya, Bu. Dia bilang pak Habib lelaki yang baik, nyonya Laila mengaku sangat senang melihat pak Habib. Beliau juga mengatakan jika bu Farida dan pak Habib tidak boleh sampai berpisah. Saya tidak mengerti, sebab yang saya tahu pak Habib menikahi bu Farida karena dia sedang mengandung 'kan?"
Jangankan Mira, aku sendiri tidak mengerti kenapa bunda bisa berkata seperti itu. Tidak boleh berakhir? Lalu bagaimana dengan perjanjian Habib dan Farida yang akan mengakhiri pernikahan mereka setelah satu tahun usia pernikahan mereka?
Aku lupa, kalau bunda tidak tahu tentang perjanjian itu. Apa mungkin Farida sudah memberitahu bunda tentang itu? Tapi, bukankah perjanjian itu hanya di ketahui oleh mas Habib, aku dan Farida saja? Lancang sekali dia kalau sampai memberitahu bunda tanpa seijin kami.
"Eum ... terus apa kamu mendengar jawaban dari Farida?" tanyaku ingin tahu kejelasannya.
"Bu Farida hanya tersenyum sambil mengalihkan pembicaraan, Bu. Sepertinya dia tidak ingin membahas itu, padahal nyonya Laila kelihatan sangat bersemangat. Berulang kali nyonya Laila menegaskan bahwa bu Farida harus bisa menjadi istri yang lebih baik untuk pak Habib. Saya rasa itu supaya pak Habib lebih memperhatikan bu Farida dari pada Bu El."
Aku tidak tahu apa maksud mereka bicara seperti itu. Tanpa mendengarnya secara langsung, aku tidak bisa menyimpulkan topik utama yang mereka bicarakan. Tidak mau suudzon, aku hanya beranggapan bahwa apa yang Mira dengar itu hanya salah paham saja.
Keramaian taman membuatku melarang Mira untuk membahas hal itu disini. Mood-ku bisa rusak jika dia terus-terusan membahas Farida, karena kedatanganku ke taman ini adalah untuk menikmati waktu senggang di sore hari yang cerah.
Namun kenikmatan itu berhenti ketika aku mendengar sebuah nama yang sudah lama tak terdengar.
"Umar!"
Nama itu kudengar dengan jelas dari arah belakang. Suara seorang lelaki yang memanggil nama itu sambil berteriak. Jantungku serasa berhenti berdetak seketika saat nama itu di sebut. Umar?
Sontak aku langsung menoleh, tidak ada yang aneh sampai seorang lelaki yang kurasa seumuran dengan Habib mendatangi seorang anak kecil yang bermain bola.
"Umar, kamu tidak boleh lari seperti itu. Nanti kalau jatuh bagaimana? Ayah tidak mau jagoan Ayah terluka!" pesannya pada bocah itu.
"Maafkan Umar, Ayah. Umar hanya mengejar bola," balas bocah itu.
"Baiklah, ayo kembali ke sana. Bundamu pasti menunggu," ajak sang ayah lalu menarik tangan bocah itu.
Aku hanya tertegun melihat interaksi mereka. Pandanganku juga tak lepas ketika mereka pergi hingga ku tatap terus menerus sampai mereka menghilang di kejauhan. Umar, nama itu kembali terdengar.
Rasanya seperti deja vu ketika mendengarnya. Nama lelaki yang sempat mendapat posisi tersendiri di hatiku, kini kembali terngiang. Sudah lama juga aku tidak mendengar kabar lelaki itu. Bagaimana kamarnya sekarang?
"Kenapa, Bu?" tanya Mira membuyarkan pandanganku.
"Eh, tidak apa-apa. Saya hanya melihat bocah cilik yang bermain bersama ayahnya di sana tadi."
"Oh, itu Umar. Anak salah satu penghuni baru di rumah ujung komplek ini. Saya dengar-dengar, ayahnya adalah seorang pemilik pesantren," jelas Mira membuatku yang tadinya asik memandang baby Rizky, jadi beralih menatapnya.
"Anak seorang pemilik pesantren?" tanyaku sekali lagi ingin mendengar lebih jelas.
"Iya. Dia anak tunggal, hanya saja bundanya meninggal setelah dia lahir. Ayahnya kemudian menikah lagi, dan sekarang mereka hidup cukup bahagia. Saya juga tidak tahu persis, tapi itulah cerita yang saya dengar dari para tetangga yang sering bergosip saat belanja sayuran."
Ah, rasanya seperti deja vu mendengar cerita itu. Kenapa nama mereka bisa sama, dan ayahnya juga sama-sama memiliki sebuah pesantren. Sosok umar kembali terbayang di benakku, mengingat seperti apa dekatnya kami dulu saat di pesantren.
Perasaanku mendadak kalut, seperti ada sebuah rindu yang tertahan. Hampir satu tahun tidak mendengar kabar tentang Umar sejak kepindahannya ke Aceh, apa mungkin sampai sekarang dia masih mengingatku?
"Kenapa, Bu?" Mira kembali mengejutkanku dengan sebuah tepukan di lengan.
"Ah, tidak. Sekarang sudah sore, sebaiknya kita pulang atau mas Habib akan bingung mencari bayinya nanti," ajakku kemudian di angguki olehnya.