Chapter 8 - UMAR?

Bau harus membuatku tersenyum sambil berusaha menikmati bau yang berasal entah dari mana. Rasanya seperti bau masakan yang begitu nikmat. Campuran bumbu dan rempat ini benar-benar menggugah selera. Membuat perut mendadak lapar.

"Siapa yang masak ya, Bu? Wangi sekali," tanya Mira yang juga mencium bau harum ini.

"Entahlah, mungkin bunda sedang menyiapkan makan malam," jawabku asal.

Mira bergegas ke kamar atas untuk menaruh baby Rizky yang mengantuk. Mungkin akan di tidurkan saja, karena kelihatannya bayi mungil itu lelah setelah berjalan-jalan di taman tadi. Aku pun pergi ke dapur untuk mencari asal bau yang begitu menyengat hidung.

Di ruang tengah ada Azka yang sedang bermain dengan bunda. Itu berarti bukan bunda yang memasak, karena tidak mungkin dia meninggalkan masakannya di dapur sementara dia menemani Azka bermain disini.

Tanpa menunggu lagi, aku pun segera pergi ke dapur. Dan di sana aku mendapati Farida yang sedang asik berdendang sambil memasak sesuatu di kuali. Oh, ternyata dia yang masak. Pantas saja baunya harum.

Langkah kaki ini pun ingin segera menghampirinya, tapi langkahku mendadak berhenti saat melihat Habib berdiri. Sebelumnya dia berjongkok, entah apa yang dia lakukan di lantai. Aku tidak melihat keberadaannya, karena terhalang bar yang ada di dapur.

Kukira Farida masak sendirian, ternyata ada Habib juga disana.

"Nah, kalau sudah matang, kamu bisa masukan ayamnya. Tunggu sampai bumbu meresap lalu masukakn santan," kata Habib membantu Farida memasukkan ayam ke dalam kuali.

"Berapa lama memasak ayamnya?"

"Sekitar sepuluh sampai lima belas menit. Ayamnya mentah, jadi harus di masak sedikit lebih lama," jawab Habib.

Farida tersenyum dan mengangguk. Mereka terlihat asik sekali memasak berdua di sana, sampai-sampai mereka juga tidak menyadari kedatanganku yang sudah berdiri sejak tadi disini. Bahkan Farida juga tidak segan-segan menyikut perut Habib dengan pelan ketika lelaki itu mengeluarkan sebuah lelucon.

Bagaimana perasaanku saat melihat mereka? Jelas aku merasa tidak senang. Biar bagaimanapun juga aku mencintai Habib lebih dari apapun, hingga ketika aku melihat dia bersama wanita lain sambil tertawa, tentu aku merasa cemburu.

"Jangan ganggu mereka. Biarkan mereka masak dengan tenang," ucap bunda yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahku. Entah kapan dia datang, aku pun tidak menyadarinya.

Aku menoleh padanya. Tatapan bunda seolah mengatakan bahwa aku tidak boleh mengganggu Habib dan Farida, biarkan mereka masak dan sebaiknya aku pergi saja dari dapur ini. Senyum tipis yang dia terbitkan juga seolah memberi makna asing di mataku.

"Sebaiknya kamu temani Azka bermain, Bunda mau mandi dulu," pesannya kemudian pergi meninggalkanku begitu saja.

Menghela napas, akhirnya aku pun pergi ke ruang tengah untuk menemani Azka bermain. Sekali lagi aku menoleh, Habib masih sibuk mengobrol dengan Farida sambil berdiri membelakangiku. Kenapa mereka terlihat begitu dekat?

Pundak ini duduk dengan lemas, bahkan pandanganku serasa kosong meski ada banyak mobil warna-warni milik Azka di hadapanku sekarang.

"Ammah," panggil Azka.

"Iya, sayang?"

"Azka tadi bertemu ammun Umar."

Mendengar nama itu, sontak aku langsung mengalihkan pandangan ke arah Azka. Kuminta dia duduk di sebelahku dan membawa sebuah mobil mainannya bersama di pangkuan. Apa aku tidak salah dengar?

"Ammun Umar? Dimana?" tanyaku memastikan sekali lagi padanya. Kuharap itu hanya salah orang saja, karena bocah seumuran Azka pasti lebih sering melihat sesuatu dengan daya khayalnya yang tinggi.

Apa lagi Umar sekarang di Aceh, sangat tidak mungkin kalau dia ada di Jakarta. Kalaupun dia kembali, pastinya dia akan pulang ke Bandung menemui kedua orang tuanya. Tidak mungkin dia ke ibu kota 'kan?

"Iya, Ammah. Saat pulang sekolah, Azka melihat ammun Habib berdiri di seberang jalan. Dia membawa paper bag, tapi dia tidak melihat Azka. Sepertinya dia sedang bicara dengan seseorang yang ada di ujung telepon," jelasnya lagi.

"Ah, mungkin kamu salah lihat. Sangat tidak mungkin jika ammun Umar ada di Jakarta. Beliau 'kan sudah pindah ke Aceh satu tahun yang lalu," ucapku membantah penjelasan Azka.

Tapi bocah itu percaya, kalau dia benar-benar melihat Umar. Dia begitu yakin dengan apa yang dia lihat, bahkan dia sempat berteriak untuk memanggil ammun-nya, tapi Umar tidak melihatnya karena begitu ramai orang di jalan.

Azka begitu hapal seperti apa perawakan Umar, tidak mungkin juga kalau dia salah lihat. Tapi ... aku tidak boleh percaya begitu saja. Bisa jadi itu hanya orang yang mirip dengan Umar, iya kurasa begitu.

"Baiklah, mungkin itu memang ammun Umar. Tapi lain kali jangan memanggilnya seperti itu di jalan, tidak sopan. Apa lagi ammun Umar itu orang yang lebih tua dari Azka," pesanku tanpa mau memperpanjang perdebatan ini lagi.

"Iya, Ammah. Azka minta maaf."

"Sekarang masuk ke kamar, bersihkan dirimu dan setelah itu sholat maghrib bersama ammun Habib di masjid," titahku yang segera dia angguki.

Mira turun bersamaan dengan perginya Azka ke kamar. Dia bertanya, kenapa wajahku terlihat begitu terkejut, seperti sedang melihat hantu katanya. Namun aku tidak menjawab pertanyaan itu dan memutuskan untuk pergi ke kamar saja.

Jantungku mendadak memompa darah dua kali lebih cepat, hingga aku bisa merasakan detak jantungku sendiri. Perasaan aneh ini muncul lagi ketika mendengar nama Umar. Tadi di taman, sekarang Azka mengaku melihat Umar.

Sebenarnya dimana pria itu sekarang? Apa benar dia ada di Jakarta?

Pemikiran itu buyar seketika saat Habib dan Farida masuk sambil tertawa. Mereka tampak asik sekali mengobrol sambil berjalan, sampai tawanya pecah dengan begitu renyah. Mereka bahkan tidak sadar kalau aku ada di kamar itu juga.

"Eh, Mbak El? Kapan Mbak pulang?" tanya Farida setelah melihatku yang duduk di meja rias.

"Sudah sejak tadi."

"Oh, ya? Kenapa aku tidka melihatmu, ya?"

"Sepertinya kamu terlalu asik masak bersama mas Habib, sampai tidak menyadari kepulanganku," jawabku santai sambil berdiri dan menghampiri mereka.

Raut wajah keduanya mendadak seperti menutupi tawa yang tadi keluar. Persis seperti sepasang kekasih yang ketahuan pulang malam oleh orang tuanya, Habib bahkan tidak bisa berkata apa-apa selama beberapa saat ketika melihatku melipat tangan di dada.

"Eh, El. Tadi Farida memasak gulai ayam, kamu mau mencobanya?" tanya Habib mengalihkan pembicaraan.

"Tidak perlu, aku ingin mandi saja," tolakku lalu pergi ke kamar mandi.

"Kalau begitu, aku juga akan mandi. Permisi, Mas," pamit Farida sebelum keluar kamar.

Sebelum masuk ke kamar mandi, aku masih memperhatikan Farida yang berjalan keluar. Wanita dengan perut buncit itu berjalan keluar dengan senyum yang dia tinggalkan untuk Habib. Lelaki itu pun mengantar Farida sampai keluar.

Mungkin perlakuan itu tampak biasa di antara suami istri, tapi di mataku mereka terlalu dekat. Tidak seharusnya aku merasa seperti ini, tapi ... aku tidak mau kedekatan itu semakin membuat Habib dekat dengan Farida.