"El, Mas harus pergi. Kamu mau ikut?" tanya Habib ketika aku baru saja membuka pintu setelah menyuruh Azka masuk ke rumah.
Bocah itu masuk, sementara aku masih berdiri di ambang pintu sambil menoleh ke arah Habib dengan bingung. Suasana rumah yang tampak sepi membuat suara yang kudengar hanya bersumber darinya, hingga titik fokus telingaku pun terarah padanya.
"Kemana?"
"Ke rumah sakit, katanya pak Yanto meninggal," jawab Habib langsung to the point.
Aku terkejut mendengar hal itu. Pak Yanto meninggal? Itu artinya luka yang dia dapat saat di penjara memang banyak atau bahkan parah. Ini benar-benar mengejutkan dan di luar dugaan, tadi malam dia masih di rawat dan sekarang sudah meninggal.
"Innalillahi wa innailaihi roji'un ... Meninggal? Kamu nggak salah informasi kan, MaS?" tanyaku menutup mulut dengan sebelah tangan.
"Iya, El. Barusan polisi menelepon Mas, mereka mengatakan jika pak Yanti di nyatakan meninggal jam sebelas tadi. Dan mereka juga meminta Mas sebagai keluarga untuk datang ke sana."
"Kalau begitu apa lagi yang kita tunggu, ayo kita ke sana sekarang juga!" Aku menaruh tangan Habib setelah menutup pintu dan berjalan menuju mobil.
Kami buru-buru berangkat sampai tidak ingat untuk memberi kabar pada Farida dan bunda yang ada di rumah. Aku juga belum sempat melihat baby Rizky, tapi aku yakin Mira bisa merawatnya dengan baik.
"Mas Habib!" suara teriakan lantang terdengar dari arah pintu utama ketika Habib baru saja hendak masuk ke mobil.
Itu adalah Farida, wanita berjilbab hitam itu berdiri di ambang pintu sambil melihat ke arah mobil kami yang sudah mau berangkat. Habib berhenti bergerak, menunggu apa yang selanjutnya Farida mau, sementara aku sudah duduk di dalam mobil—disamping jok kemudi.
"Mas, kamu mau kemana?"
"Mas dan El harus pergi. Kamu di rumah saja, tidak usah menunggu kami untuk makan siang, karena kemungkinan kami pulangnya lama," pesan Habib saat Farida mendekat.
"Tapi kalian mau kemana? Kenapa tidak mengajakku?"
Oh, ayolah. Ini bukan saatnya untuk berlaku manja seperti itu. Melihat bagaimana cara Farida bicara sambil menatap Habib dengan tangannya yang bergerak merayap ke dada Habib. Belum lagi bibirnya yang sengaja di buat monyong seperti bebek, membuatku istighfar sambil memutar bola mata.
"Pak Yanto meninggal, Mas harus ke sana sekarang. Kamu masuklah, tolong bantu Mira mengurus Rizky jika dia kerepotan," pesan Habib lalu kembali masuk ke mobil.
Namun sepertinya tidak semudah itu Habib bisa masuk ke mobil. Farida kembali menghentikannya dengan menarik tangan lelaki itu.
"Cium dulu," pinta Farida.
"Hah?"
"Iya, cium dulu disini," tunjuk Farida pada bibirnya.
Ya, Allah. Kenapa aku harus melihat ini? Rasanya seperti sesak, cemburu dan kesal bercampur menjadi satu. Meski Habib tidak langsung mencium Farida dengan bibirnya, karena tampak ragu, tapi akhirnya dia mencium Farida juga 'kan?
Dengan alasan sedang mengidam, Farida bisa mendapatkan semua yang dia mau dari Habib. Belum lagi ada bunda yang tiba-tiba nongol di depan pintu, membuat Habib tidak bisa menolak permintaan itu sama sekali.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam sambil memandang keluar, kurasa lelaki sepeka Habib pasti tahu alasan kenapa aku begini. Semakin ke sini, Farida semakin menjadi-jadi. Apa mungkin yang Mira katakan itu benar, bahwa Farida tidak akan mau mengakhiri pernikahannya bahkan setelah masa perjanjian itu usai.
"Kamu tidak perlu marah, Mas melakukan itu pada Farida hanya karena keinginan ngidamnya saja," ucap Habib menoleh padaku.
"Huft ... tidak apa-apa, Mas. Aku paham, karena aku juga pernah ngidam. Tapi jika nanti aku mengidam yang aneh-aneh, Mas harus menurutinya juga, ya?"
"Seaneh apa itu?"
"Menyuruh Mas memakai kostum badut misalnya."
Habib hanya tertawa renyah menanggapi perkataanku yang dia anggap sebagai lelucon. Memang aku sengaja tidak terlalu menganggap serius kejadian tadi, karena aku merasa bahwa Habib masih bisa mengendalikan diri.
Tapi jika nanti Habib sudah tidak bisa lagi mengawas diri, jangan harap aku akan memaklumi semua ini. Karena dalam pengelihatanku, akan ada gelombang besar yang menghantam rumah tangga kami.
"Ayo, El. Polisi sudah menunggu kita di dalam," ajak Habib setelah membukakan pintu untukku.
Kami tiba di rumah sakit yang tak jauh dari rumah tahanan. Sepertinya ini memang rumah sakit yang di khususkan untuk merawat para tahanan yang sakit. Karena aku tidak pernah melihat rumah sakit ini sebelumnya, dan juga beberapa orang yang berjaga di depan dan beberapa titik yang ada.
Bergegaslah kami menuju ruangan yang sudah di beritahukan sebelumnya. Ada dua orang polisi yang berdiri di depan sebuah ruangan yang aku sendiri tidak tahu nama ruangan itu apa. Mungkin di dalamnya ada pak Yanto yang sudah tergeletak.
"Selamat siang, Pak Habib dan Bu Elyana. Terima kasih sudah datang sesuai permintaan kami," sapa para polisi itu dengan sedikit menundukkan kepala.
"Iya, selamat siang, Pak. Dimana pak Yanto?" tanya Habib langsung ke intinya.
"Pak Yanto ada di dalam, dia sudah di mandikan dan hanya menunggu beberapa persetujuan dan tanda tangan Pak Habib sebelum di bawa pulang."
Aku menoleh ke arah pintu yang ada di belakang dua orang polisi ini. Apa Bara sudah tahu kondisi terkini ayahnya? Bagaimana perasaan lelaki itu setelah tahu ayahnya ternyata harus meninggal di penjara?
Rasanya masih tidak percaya, kalau pak Yanto ada di rumah sakit dalam keadaan tidak bernyawa. Bahkan belum sampai tiga bulan di penjara, beliau sudah meninggal. Ini seperti mimpi bagiku.
"El, Mas mau masuk ke dalam. Kamu ikut atau tidak?" Habib menatapku sebelum dia memegang gagang pintu.
"Eum ... iya," jawabku setelah berpikir cukup lama.
Di dalam sebuah ruangan berukuran kecil, terdapat sebuah brankar yang di atasnya terbaring jenazah pak Yanto yang sudah di tutup kain putih. Menurut keterangan para polisi, luka yang di deritany memang cukup parah.
Ada tiga titik tulang retak, hidung patah, dan juga kebocoran di kepala. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa aksi pengeroyokan di dalam penjara itu sampai-sampai membuat pria tua ini meninggal dalam keadaan mengenaskan.
Di dalam penjara tidak ada alat tajam, tapi bisa-bisanya pak Yanto sampai luka parah.
"Ternyata di dalam penjara jauh lebih mengerikan dari pada dunia luar," gumamku menatap wajah pak Yanto yang banyak lebam.
"Penjara memang tempat berkumpulnya orang-orang bermasalah, mereka juga tidak merasa ragu untuk menghilangkan nyawa orang lain, sama seperti sebelum di penjara. Jadi Mas juga tidak heran kalau hal ini bisa terjadi," balas Habib membuatku menoleh padanya.
"Apa Farida juga pernah mengalami ini?"
Habib menggeleng. "Tidak, penjara yang di berikan untuk Farida lebih aman. Lagi pula di perempuan, tidak banyak tahanan perempuan di rutan saat itu."
Polisi meminta kami untuk membawa pulang jenazah pak Yanto agar bisa di makamkan sore ini juga. Namun sebelum itu, Habib harus datang ke kantor polisi dan mengurus beberapa berkas sebagai bukti yang aku sendiri tidak mengerti apa saja yang mereka urus.
Hingga setelah semuanya selesai, kami pun pulang dengan membawa mobil jenazah yang mengikuti mobil kami dari belakang.