Habib bertanya langsung pada Farida pada malam harinya saat kami makan malam. Waktu itu tepat dimana aku baru saja turun ke bawah untuk makan malam bersama Azka. Kebetulan Mira sedang menyiapkan makan malam, dan aku harus menjaga baby Rizky selama Mira menyiapkan makan malam.
Kusuruh Azka untuk pergi ke meja makan, sementara aku menghampiri Habib dan Farida di ruang tengah. Rizky masih ada di gendonganku dalam keadaan tertidur, kuharap percakapan ini tidak membuatnya terbangun.
"Mas, kenapa Mas Habib tiba-tiba bertanya seperti itu?" tanya Farida berdiri menatap Habib yang posisinya membelakangiku.
"Karena El bilang kamu mengakui cintamu padanya. Kamu bilang kalau kamu mencintai Mas, apa itu benar?" tanya Habib memperjelas pertanyaannya.
Farida lama terdiam, sepertinya dia sedikit ragu untuk menjawab jujur. Sampai dia menyadari keberadaanku dan menoleh ke belakang. Aku tidak mengerti kenapa dia melakukan ini, tapi Farida malah mengatakan hal sebaliknya pada Habib.
"Tidak, aku sama sekali tidak mencintai Mas Habib," jawab Farida pada akhirnya membuatku sebal.
"Jangan berbohong Farida, jelas-jelas kamu bilang padaku tadi siang kalau kamu mencintai Habib. Kenapa sekarang kamu tidak mau mengakuinya di depan Habib?" tanyaku menarik pundaknya untuk menghadapku.
"Kamu mengarang cerita dari mana, Mbak? Sejak kapan aku mencintai mas Habib? Aku menyukainya, tapi tidak dengan nama cinta. Dia lelaki yang baik, tapi aku sadar diri bahwa dia menikahiku bukan karena atas dasar cinta, melainkan hanya karena kebesaran hatinya untuk menutupi kehamilanku saja. Aku bukan perempuan yang seperti itu, Mbak." Farida malah membuat alibi yang semakin tidak masuk akal.
Hal ini jelas bertentangan dengan apa yang dia katakan padaku tadi siang. Dia bahkan menyebut, bahwa pertengkaran kami di kamarnya tadi siang itu hanya karena sebuah rasa cemburuku saja, dan dia menyebut jika aku menyimpulkan rasa cintanya itu dengan melihat kedekatannya dengan Habib.
Aku tidak menyangka Farida bisa mengarang cerita sebagus itu. Dia membuat namaku buruk di mata Habib dengan menyebutkan hal-hal yang sama sekali tidak pernah kulakukan sebelumnya. Rasa cemburuku yang berlebihan, sampai overtkinking dan trauma kalau sampai lelaki yang kucintai di rebut olehnya.
Itu semua hanya karangan belaka, karena aku sama sekali tidak seperti apa yang dia sebutkan. Dan yang lebih parahnya lagi, Habib percaya dengan perkataan Farida. Entah kenapa dia jadi terlihat lebih bodoh sekarang.
"El, kamu salah paham. Farida sama sekali tidak mencintai Mas, sebaiknya kurangi sedikit rasa cemburumu, karena kedekatan kami hanya sebatas normal dan itu juga Mas lakukan karena ada bunda disini," kata Habib padaku.
"Tidak. Tidak, Mas. Bukan seperti itu kejadiannya, karena Mira juga tahu kalau Farida mengatakan bahwa dirinya mencintai setelah dia mencium pipimu tadi pagi, Mas. Kamu tidak ingat?" pungkasku membantah ucapan Farida.
Dan lagi-lagi Farida mengatakan bahwa dia tidak mencium mas Habib, itu hanya sebuah tepukan kecil di pipi yang di berikan dengan maksud untuk membangunkan Habib. Farida mengatakan itu dengan begitu yakin, sampai-sampai Habib pun meragukan kesaksian Mira.
"Ada apa denganmu, Farida? Kenapa kamu malah memutarbalikkan fakta? Jelas-jelas kamu sendiri yang mencium mas Habib dan mengakui cinta, tapi kenapa sekarang kamu malah bilang begini?" protesku tak terima.
"Mbak." Farida menyentuh pundakku yang masih menggendong baby Rizky dalam keadaan tertidur lelap. "Sepertinya hormon ibu hamil di usia muda memang sangat berpengaruh padamu. Masalah aku meminta kecupan di bibir pada Mas Habib saat kalian hendak berangkat ke kantor polisi kemarin, itu hanya keinginan bayiku. Dan untuk masalah tadi pagi, aku sama sekali tidak pernah mencium mas Habib. Aku tahu sulit menerima kehadiranku dalam rumah tangga kalian, tapi aku mohon jangan jadikan aku sebagai kambing hitam," tuturnya pula seolah menyayangkan nasibnya yang menjadi istri kedua.
Kali ini aku benar-benar kehabisan kesabaran, rasanya ingin sekali berteriak di depan wajah Farida kalau dia itu pembohong besar. Tapi niat itu tak kunjung terlaksana ketika Habib menahan tubuhku untuk tetap diam di tempat.
Ini hanya salah paham, tidak perlu di besar-besarkan. Begitu kata Habib sambil mengelus pundakku. Bahkan percakapan kami sampai menjadi pusat tontonan Mira dan Azka yang sudah menunggu kami di meja makan.
"Sudahlah, El. Ayo kita makan, lupakan masalah ini dan kendalikan dirimu," bujuk Habib sembari merangkulku untuk pergi ke meja makan.
Habib terpaksa pergi duluan karena Azka sudah memanggilnya, dia menyuruhku agar tidak berlama-lama disini bersama Farida, karena takut nanti kami akan kembali bertengkar.
"Mas tunggu, ya?" pesannya sebelum pergi.
Dan aku masih berdiri disini, berhadapan dengan Farida yang juga berdiri menatapku. Tatapannya sungguh membuatku muak, seulas senyum tipis dia terbitkan sebagai tanda bahwa kebohongan yang dia ciptakan berhasil membuatku terlihat konyol di depan Habib.
"Pintar sekali kamu mengarang cerita, ya? Setahuku kamu tidak kuliah dengan jurusan sastra indonesia," kataku menatap tajam pada Farida.
"Bahkan Mbak sendiri tahu aku tidak kuliah. Tapi di pesantren aku selalu di ajarkan mengarang cerita untuk perlombaan, dan aku selalu menang," balasnya dengan senyum penuh rasa bangga.
Tak heran kalau dia bisa mengarang cerita seperti ini, bahkan dulu dia pernah mengarang cerita yang lebih parah, bukan? Membalikkan fakta bahwa aku dan Umar sengaja menggugurkan kandunganku demi berpisah dari pasangan kami masing-masing, padahal dia yang sudah membayar Ali untuk menembakku.
Entah dapat dari mana dia ilmu berbohong seperti itu, kebohongan yang dia buat benar-benar meyakinkan sampai Habib pun percaya. Tak heran, Umar di bohongi berkali-kali olehnya, sampai akhirnya dia pun kehabisan kesabaran.
"Kenapa kamu melakukan ini, Farida? Kenapa kamu tidak mau mengakui cintamu di depan mas Habib?"
"Kenapa, ya? Mungkin karena ..." Farida menggantung ucapannya sambil berjalan mengelilingiku dan sesekali mengusap pipi tembem baby Rizky yang masih tertidur lelap.
"Mungkin karena aku ingin menarik simpati mas Habib. Kalau dia tahu aku mencintainya, kurasa dia akan semakin benci padaku. Tapi jika aku sudah mendapat simpati darinya, kurasa akan mudah membuatnya jatuh cinta padaku. Bukan begitu, Mbak?" Farida sekali lagi tersenyum di akhir jawabannya, lalu dia segera pergi ke ruang makan setelah mendengar panggilan dari Habib.
"Bu El baik-baik saja?" tanya Mira yang datang menghampiriku.
"Bawa Rizky ke kamar, pastikan dia tidur, ya?" pesanku tanpa menjawab pertanyaan Mira sambil memberikan bayi di gendonganku padanya.
Ketika kaki ini hendak melangkah, Mira menarik tanganku. "Bu El harus lebih sabar menghadapi bu Farida, jangan gegabah, karena dia bisa melakukan hal yang membuat Bu El malu di depan pak Habib," katanya.
Aku pun mengangguk. "Terima kasih."