Gamang, begitulah perasaanku saat ini. Rasa takut, dan terkejut menjadi satu. Sebenarnya ini bukan ancaman jika saja tidak ada pengakuan dari Habib, mungkin untuk sekarang belum tapi aku tidak tahu pengakuan itu akan datang di masa depan.
Sekuat apapun seseorang berusaha meyakinkanmu, tapi ketika kamu sudah melihat sebuah keragukan di matanya, maka jangan harap perasaanmu akan tenang. Sejujur apapun itu, tetap saja aku tidak bisa merasa tentram setelah mendengar pengakuan Habib.
"Kamu sudah dengar sendiri, bukan? Mas Habib tidak mencintaimu," kataku pada Farida dengan tatapan lurus mengarah ke ruang tengah sambil memegang pinggiran pembatas setinggi dada.
Farida hanya tersenyum. Senyumnya begitu tenang sekali, tanpa ada gurat khawatir atau cemas yang biasa kulihat dari wajahnya. Dengan begitu percaya dirinya, dia memutar tubuh untuk berdiri menghadapku lalu berucap.
"Lalu Mbak percaya? Begitu saja?" tanyanya dengan segurat senyum tipis di wajahnya.
"Dia suamiku, tentu saja aku percaya padanya."
"Jangan terlalu percaya omongan lelaki, mereka bisa berdusta, karena itu sudah menjadi sifat sejatinya lelaki," bisik Farida mendekatkan bibirnya ke telingaku yang tertutup khimar.
Sebuah desiran aneh menggerayang di dadaku, rasanya seperti sesuatu yang mengganggu dengan segerombol sel darah merah yang mengalir begitu cepat ketika mendengarnya. Seluruh tubuhku serasa lemas, seolah takut jika apa yang Farida katakan itu memang terjadi.
Menelan saliva pun sulit di buatnya, sampai Farida kembali menjauhkan wajahnya dengan senyum tipis penuh percaya diri. Kalian tahu? Farida selalu tersenyum seperti itu, tenang dan damai. Tapi di balik senyumnya, selalu ada maksud tersembunyi yang jarang kuketahui.
"Besok adalah jadwalku cek kandungan ke dokter, aku yakin mas Habib akan mengantarku," katanya lagi.
"Jangan terlalu percaya diri, dia tidak akan mengantarmu. Ingat kejadian bulan lalu? Kamu di suruh pergi ke cek kandungan sendirian." Aku ikut tersenyum sebagaimana dia tersenyum padaku.
Bulan lalu, Farida mendapat jadwal cek kandungan ke rumah sakit yang cukup jauh dari rumah. Sebenarnya tidak jauh kalau dari rumah lamaku, tapi ini rumah almarhum bang Fahri, jadi jaraknya sedikit lebih jauh.
Tanpa ada niat sedikitpun, Habib langsung menolak mengantar Farida. Dia bahkan lebih memilih untuk memesan sebuah taksi untuk mengantar jemput Farida. Padahal hari itu Habib sama sekali tidak kerja, dia hanya menemaniku di rumah bersama Azka dan baby Rizky.
"Begitu, ya? Tapi aku bisa pastikan, kali ini mas Habib akan mengantarku, karena dia tidak mau terjadi sesuatu yang buruk padaku. Itu karena dia mencintaiku," seloroh Farida lagi.
"Apa yang membuatmu begitu yakin kalau mas Habib juga mencintaimu? Selama ini berusaha mati-matian untuk jauh darimu, apa kamu tidak merasa terlalu kepedean?"
Lagi-lagi, Farida hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku. Senyumnya manis, tapi itu membuatku sebal. "Kita lihat saja besok. Kalau mas Habib mau mengantarku, itu artinya dia sudah mulai peduli padaku," jawabnya sembari menepuk pundakku.
Dia melangkah pergi menuju kamarnya, tapi baru sekitar tiga langkah dia berjalan, aku kembali bersuara untuk menghentikannya. "Aku yakin Habib menolak," kataku lalu berbalik badan.
Farida berdiri membelakangiku dengan jarak tiga langkah. Aku bisa melihat punggungnya berhenti bergerak setelah langkahnya ikut berhenti. Maju satu langkah lebih dekat, aku pun memperhatikan dia yang terus membuka telinga.
"Jangan terlalu percaya diri, karena itu tidak baik," pesanku dan hanya di balas dengan senyuman.
Dia kemudian masuk ke kamarnya dan menutup pintu dengan rapat. Tak lupa sekelibat senyum dia tinggalkan sebelum menutup pintu. Ah, aku sangat sebal melihat senyumnya. Dia tampak begitu yakin kalau Habib mau mengantarnya, lalu bagaimana jika itu benar-benar terjadi?
Aku hanya bisa berdecih sebal sambil memandang pintu kamarnya dengan mengepal tangan kuat. Alasan apa yang bisa kubuat untuk menahan Habib agar dia tetap di rumah? Sepertinya besok tidak ada acara apapun selain mengantar Azka ke sekolah.
Hal ini membuatku kepikiran sampai susah tidur. Bagaimana cara Farida bicara, menatap sampai tersenyum sangatlah terbayang di pandanganku. Entah kenapa aku mulai meragukan Habib, kulihat punggungnya yang sedang berbaring di hadapanku, dia memang berubah belakangan ini.
Tapi ... apa benar dia mulai peduli pada Farida?
"Mas, kamu sibuk hari ini?" tanya Farida ketika kami semua menikmati sarapan pagi.
"Tidak, kenapa?"
"Bisa antar aku ke rumah sakit? Hari ini ada jadwal cek kandungan, aku ingin kamu menemaniku, karena begitu sedih rasanya ketika dokter bertanya dimana suamiku, tapi kamu tidak ada bersamaku," lirihnya memasang wajah sedih.
Habib tidak langsung menjawab, baik aku atau Farida masih sama-sama menunggu jawabannya. Aku takut, benar-benar takut. Apa mungkin Habib akan menurutinya atau menolaknya? Dua jawaban yang membuat senam jantung.
"Kenapa tidak naik taksi saja? Mas mau mengantar Azka ke sekolah," balas Habib membuat napas yang tertahan di paru-paruku bisa keluar dengan lega.
"Tapi aku istrimu, Mas. Bukankah sudah menjadi kewajiban seorang suami mengantar istrinya?"
"Tapi—"
"Mas Habib menolak, dan sebaiknya kamu pergi bersama Mira saja. Kebetulan Mbak dan Mas Habib harus mengantar Azka ke sekolah. Ada bimbingan konseling di sana," kataku menyela dialognya.
"Mbak El bisa pergi sendiri 'kan? Kenapa harus bersama mas Habib?"
Percekcokan pun di mulai. Baik aku atau pun Farida sama-sama meminta hak untuk pergi bersama Habib, sementara yang di perebutkan malah memejamkan mata sambil menundukkan kepala. Apa dia terlalu bingung memilih? Padahal sudah jelas, pilihan itu seharusnya jatuh padaku.
"Jika kamu tidak berlaku adil, sebaiknya tidak usah menikahiku, Mas. Ini jauh lebih menyiksa dari pada saat di penjara," kata Farida pula menatap Habib dengan mata berkaca-kaca.
Drama dimulai ketika Farida pergi dari meja makan begitu saja. Dia pergi ke area kolam renang yang letaknya tak jauh dari ruang tangah, hanya melewati sebuah pintu kaca saja. Habib ingin berdiri, tapi kemudian aku menahan tangannya.
"Sebentar, El." Habib melepaskan tanganku dari pergelangan tangannya dan tetap mengejar Farida.
Aku tercengang melihatnya, untuk pertama kalinya Habib menolak tanganku. Hei! Ini tanganku, kenapa dia menolak seperti itu? Aku hanya bisa menatap punggungnya yang berjalan menyusuk Farida, dadaku mendadak sesak di buatnya.
Penasaran dengan apa yang terjadi disana, aku pun menyusul mereka. Kutitipkan Azka yang masih menikmati sarapannya pada Mira sebentar, sementara wanita itu menggendong Rizky bersamanya.
"Jangan bersandiwara, kamu seharusnya mandiri. Kamu bisa pergi ke rumah sakit sendiri," kata Habib.
"Begitu sulit bagiku untuk mendapat perhatian dari seorang suami, baik mas Umar atau kamu, kalian berdua sama saja. Apa aku seburuk itu sampai tidak bisa mendapat kasih sayang dari suamiku sendiri?" Farida memulai dramanya.
"Bu—bukan begitu, tapi—"
"Mas, ini sudah lebih dari sebulan kita menikah. Aku selalu berusaha menjadi istri yang baik, aku mau bertoba dengan mencari pahala darimu. Tapi dimana hak-ku? Kamu selalu memperlakukanku berbeda dengan mbak El, kami berdua istrimu dan seharusnya kamu bisa berlaku adil."
Terlihat mata Farida meneteskan beberapa tetes air asin, sungguh aktris yang jago berakting.
"Seharusnya kamu tanya pada dirimu sendiri, bagaimana Mas bisa memperlakukanmu lebih baik dari El, jika kamu saja masih seperti ini?"
"Aku minta maaf, aku pernah membuat rumah tangga kalian hampir hancur. Tapi ... bukankah semua orang berhak mendapat kesempatan kedua untuk memperbaiki diri?" Farida mulai menangis dengan menundukkan kepala.
Aku kira Habib tidak akan luluh, tapi ternyata dia mendekat ke arah Farida dan memeluk wanita itu. Dengan entengnya, Habib menuruti kemauannya untuk mengantar wanita itu ke rumah sakit. Dan disitu aku merasa begitu kecewa pada Habib. Di tambah lagi dengan senyuman penuh kemenangan Farida, membuatku semakin kesal.