Aku amat sangat kesal pada Habib yang lebih mementingkan Farida dari pada ikut mengantar Azka ke sekolah. Tapi penjelasannya membuat pikiranku terbuka, meski awalnya kesal tapi akhirnya aku bisa menerima alasan itu dengan lapang dada.
"Farida tidak mungkin pergi sendirian, lagi pula bimbingan konseling di sekolah Azka tidak mewajibkan kedua orang tua untuk pergi. Salah satu pun tak apa, asalkan ada yang datang. Mas rasa akan adil kalau Mas mengantar Farida, sementara kamu mengantar Azka ke sekolah."
Penjelasan Habib membuatku merasa ... yah, dia benar. Mungkin aku saja yang terlalu sensitif karena mood-ku yang tak terkendali selama awal-awal kehamilan ini. Di usia kandungan yang memasuki delapan minggu ini, aku harus lebih pandai menjaga emosi, jangan sampai itu berpengaruh buruk pada kesehatan bayiku.
Berangkatlah aku bersama Azka dengan menggunakan taksi, Habib tidak sempat mengantarku karena sudah harus berangkat ke rumah sakit sesuai dengan jadwal yang sudah di tentukan dengan dokter kandungan Farida.
"Ammah, kenapa Ammun tidak ikut bersama kita?" tanya Azka mendongak padaku ketika kami masih di dalam taksi.
"Karena Ammun harus mengantar Ammah Farida ke rumah sakit, sayang."
"Kenapa Ammah Farida sekarang jadi begitu?"
"Begitu bagaimana?" tanyaku sambil memegang dagu bocah tampan ini.
Bibir bawah Azka maju ke depan, dia kemudian memandang lurus ke depan sambil mulai menceritakan apa yang dia ketahui dari Farida. Sebenarnya ini agak mengganggu dan sudah lama ingin dia ceritakan, tapi baru sempat sekarang setelah dia teringat dengan cerita ini.
Katanya, Farida terlihat lebih sering menguntit Habib. Dia senyum-senyum sendiri sambil memandang Habib dari jauh. Bahkan ternyata, bukan hanya Mira saja yang melihat kejadian dimana Farida mencium bibir Habib, tapi Azka juga melihatnya.
Waktu itu dia ingin pergi ke kamar Mira, dia mengaku bangun lebih awal pagi itu dan teringat dengan tugas sekolahnya yang belum selesai. Dia ingin membangunkan pengasuhnya untuk membantu dia membuat tugas, tapi saat lewat ruang makan dia malah melihat kejadian yang tak seharusnya dia lihat.
"Azka melihatnya?"
"Iya, Ammah. Azka juga pernah melihat ammah Farida mendatangi kamar ammun Habib, dia memeluk ammun dari belakang!"
Aku tidak tahu kejadian itu terjadi saat kapan, yang jelas aku sedang tidak ada di kamar katanya. Mungkin aku sedang di dapur atau bersama Mira. Sebenarnya Azka mau masuk ke kamar, ya namanya juga anak kecil, tentu dia ingin tahu tentang apa yang dua orang dewasa itu lakukan.
Namun niat itu urung di lakukan saat Azka di panggil Mira ke kamar. Hal ini sungguh membuatku kepikiran, meski Azka mengaku jika Habib berontak dan berusaha melepaskan diri dari pelukan Farida, tapi tetap saja itu sebuah pelukan.
Ketika sampai di sekolah, kami langsung pergi ke ruang Bimbingan Konseling yang Azka maksud. Ini bukan karena Azka mendapat masalah di sekolah, tapi hanya mengenai bimbingan saja, berhubung sekarang sudah memasuki tahun ajaran baru.
Singkat cerita, bimbingan pun selesai dan aku bisa keluar. Azka terus menggandeng tanganku sampai kami keluar ruangan. Dia mendadak melambaikan tangan ke arah depan, dimana ada seorang anak seumurannya datang dengan menggandeng tangan seorang lelaki dewasa. Kurasa itu ayahnya.
"Umar! Kamu baru datang?" tanya Azka ramah pada anak itu.
"Iya. Kamu sudah selesai?"
"Sudah."
Tunggu, ini adalah anak yang pernah kulihat di taman komplek bersama Mira beberapa hari yang lalu. Ya, aku tidak mungkin salah. Bocah dengan kulit putih dan tinggi yang tak jauh beda dengan Azka ini adalah bocah yang sama.
Mendongak sedikit ke atas, aku bisa melihat seorang lelaki tampan nan gagah memakai baju rapi dan jas hitam ala orang kantoran. Dia juga lelaki yang menemani bocah ini main bola di taman saat itu.
Dunia begitu sempit, sampai-sampai aku bisa bertemu lagi dengan mereka di sekolah Azka. Tak kusangka, bocah itu sekolah disini juga.
"Sudah selesai, Mbak?" tanyanya dengan suara berat nan ramah.
"I—iya, sudah."
"Kalau begitu saya masuk dulu," pamitnya lalu mengajak Umar, bocah berambut lurus itu masuk ke dalam ruangan yang ada di belakangku.
Dengan senang hati aku mempersilahkan mereka masuk. Nama itu, dadaku selalu saja berdesir setiap kali mendengar nama itu di sebut. Kira-kira siapa nama panjangnya? Apa mungkin mereka sama-sama anak pemilik pesantren, dan nama mereka juga sama?
Kudengar cerita dari Azka, katanya Umar itu adalah anak baru. Dia pindahan dari Aceh. Mungkin Azka tidak tahu kalau teman sekelasnya itu tinggal di komplek perumahan yang sama dengan kami, karena katanya dia ingin sekali main bersama Umar, hanya saja belum tahu rumahnya.
"Baiklah, ayo kita pulang! Ammah harus masak makan siang untuk semua orang," ajakku pada Azka.
"Iya, Ammah!"
Lagi-lagi kami harus menunggu taksi, karena Habib ternyata belum membalas pesanku yang sebelumnya minta di jemput saat pulang dari sekolah. Apa mungkin mereka masih belum selesai? Tapi kenapa lama sekali?
Sekitar dua puluh menit kami menunggu, taksi yang di tunggu tak juga datang. Ingin memesan taksi, tapi aku kehabisan kuota internet untuk membuka aplikasinya. Terpaksa harus menunggu, dan tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti di depanku.
"Maaf, sedang menunggu jemputan atau taksi?" tanya seorang pria yang ternyata adalah ayah Umar.
"Kami sedang menunggu taksi, tapi belum datang," jawabku seadanya sambil menutupi kepala Azka dari terik matahari dengan tas selempang yang kubawa.
Tiba-tiba Umar muncul dari kaca pintu mobil bagian belakang dengan menawarkan Azka untuk pulang bersamanya. Dengan senang, Azka pun tentu tidak menolak tawaran itu karena akhirnya dia bisa pulang bersama teman barunya.
"Eh, tidak usah, Pak. Kami menunggu taksi saja, kalian silahkan duluan," kataku pula menolak dengan halus.
Lagi pula untuk apa pulang bersama mereka? Aku tidak mau kalau sampai Habib melihatku turun dari mobil mereka saat sampai di rumah nanti. Dari pada harus salah paham, lebih baik aku menunggu taksi saja.
"Tidak usah sungkan, ikutlah bersama kami. Kebetulan kita tinggal di komplek yang sama 'kan?" Aku mengangguk lemah. "Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo masuk!"
"Ayo, Ammah! Azka sudah tidak tahan lagi, disini terlalu panas," keluh Azka membujukku untuk menerima tawaran temannya untuk ikut pulang bersama.
Kasihan juga kalau sampai Azka menunggu terlalu lama, matahari juga menyorot tajam di atas kepala kami karena memang sudah memasuki waktu zuhur. Perutku mulai terasa keram, mungkin memang sebaiknya aku pulang bersama mereka saja. Lagi pula aku akan duduk di jok belakang, tidak mungkin dia berani berbuat macam-macam padaku di depan anak-anak, 'kan?
"Baiklah, kami ikut," jawabku pada akhirnya.