Habib membantuku membereskan peralatan setelah makan malam tadi. Tanpa diminta, dia langsung membantuku membersihkan piring kotor, memindahkan sisa makanan ke lemari makanan juga membereskan meja makan.
Sementara Farida tetap di meja makan sambil menikmati susu yang sudah dia buat sebelumnya. Kali ini dia mandiri, membuat susu sendiri tanpa meminta bantuan orang lain. Lagi pula umur kandungannya sudah termasuk kuat untuk beraktivitas, bukan sepertiku yang masih rentan.
Sesekali aku merasa sakit, atau keram ketika terlalu banyak bergerak. Dan itu membuatku benar-benar tidak nyaman. Sebisa mungkin kutahan, karena tidak ingin membuat Habib khawatir terhadap kondisiku.
"Ada apa, El? Perutmu keram?" tanya Habib saat aku terdiam.
"Tidak," jawabku cepat lalu kembali menyusun piring di rak seperti biasa.
Sebaiknya masalah ini tidak usah terlalu kupikirkan sampai sejauh ini. Habib dan Farida juga tidak lagi mempermasalahkannya, tapi jangan sampai aku mendengar Farida berbuat sesuatu yang lebih keterlaluan dari ini. Karena aku tidak akan tinggal diam.
Kalau memang Farida ingin mendapat simpati dari Habib dengan bersikap cuek, maka aku akan melakukan hal yang sebaliknya. Akan kubuat Habib kehilangan rasa simpatinya terhadap Farida, hingga dia lupa bagaimana rasanya jatuh cinta pada seorang wanita, karena cintanya sudah berlabuh padaku.
"Mas, ini sekalian, ya? Aku mau langsung sholat," kata Farida memberikan gelas kotor bekas dia minum susu pada Habib untuk sekalian di cuci.
"Iya," balas Habib seperlunya.
Melihat bagaimana Farida menatapku, membuatku ingin mengajukan satu pertanyaan pada Habib. Jika memang Farida mencintai suamiku, maka hanya menunggu cinta dari Habib saja untuk bisa membuat mereka bersatu.
Bagaimana jika Habib pelan-pelan jatuh cinta pada Farida? Apa itu mungkin terjadi? Tapi tidak ada yang tidak mungkin, 'kan? Karena Habib sendiri pernah mencintai Aisyah karena terlalu lama saling kenal, hingga mereka dewasa dan saling menaruh rasa. Mereka terbiasa bersama.
Oh, Elyana jangan coba cari penyakit. Aku tidak mau pertanyaan itu membuat Habib semakin tak suka padaku. Tapi ini sungguh mengganggu pikiran, dan aku tidak akan tenang sebelum mendapat jawabannya.
"Mas, boleh aku bertanya sesuatu?" tanyaku pada Habib ketika kami sudah berada di kamar. Saat itu baby Rizky terbangun dan tampak sedang bermain dengan Azka di box-nya.
"Tentu saja, apa itu?" Habib terdengar begitu tertarik dengan pertanyaanku.
Lelaki yang sedang mencukur brewoknya di depan cermin itu tampak fokus mendengarkanku, meski tangannya sibuk bergerak memainkan pisau cukup di dagu dan sekitar wajah lainnya. Ini sudah dua tahun berlalu setelah pernikahan kami, bisa-bisanya dia tidak bertambah tua sedikit pun.
"Aku mohon Mas jangan marah, karena aku hanya ingin tahu saja."
"Katakanlah, apa yang ingin kamu tanyakan?"
"Apa alasan Mas Habib mencintai Aisyah? Bukankah kalian hanya berteman?"
Habib menoleh bingung padaku. Mungkin ini sedikit janggal baginya, apa lagi dia tahu kalau seseorang yang kutanyakan itu sudah tidak lagi bersama kami. Tapi jujur, aku hanya ingin tahu, dan ini tentu berhubungan dengan Farida.
Lelaki itu kemudian tersenyum dan kembali menatap cermin untuk melanjutkan mencukur kumisnya. "Untuk apa kamu menanyakan hal itu?"
"Aku hanya ingin tahu. Mendadak aku penasaran dengan hal itu," balasku sekenanya.
"Tidak ada alasan untuk Mas mencintai Aisyah. Dia wanita yang baik, bahkan terlalu baik. Tapi Mas mencintainya, karena ... kamu tahu? Cinta tanpa alasan. Cinta itu sebuah perasaan, dan perasaan tidak bisa di jelaskan dengan kata-kata," tutur Habib dengan bahasanya yang selalu terdengar halus.
Setahuku, cinta bukan hanya sekedar kata ungkapan, tapi juga kata kerja. Seseorang yang mencintai orang lain atau sesuatu, akan menunjukkan rasa cintanya melalui tindakan. Dan aku juga sudah merasa begitu dicintai, buktinya Habib menghadirkan benih di perutku.
"Mungkin kamu tidak bisa membedakan yang mana cinta, dan yang mana suka. Suka itu karena ada alasannya, sementara cinta tidak butuh alasan. Kamu mencintai seseorang, tapi kamu tidak tahu alasannya, karena cinta bekerja dengan hati, bukan logika. Beda halnya dengan rasa suka yang selalu punya alasan. Ketika kamu menyukai seseorang, itu karena kamu menyukai sesuatu dari orang itu. Begitu juga dengan benda, mengerti 'kan?"
Teori yang masuk akal dan cukup logis. Habib memang selalu pandai mencari kata-kata untuk menjawab pertanyaanku. Tak heran, dia selalu menang debat jika ada seminar dan dia menjadi pengisi acaranya. Setiap kali ada orang yang bertanya, dia selalu bisa mematahkan anggapan dan pertanyaan orang itu dengan jawabannya yang begitu meyakinkan.
"Lalu apa Mas mencintaiku?" tanyaku pula.
"Untuk apa bertanya sesuatu yang sudah pasti?" Dia malah balik bertanya.
"Bagaimana dengan Farida? Apa Mas mencintainya?"
Tangan Habib berhenti bergerak. Kebetulan rambut di sekitar wajahnya juga sudah selesai di cukur, hanya menyisakan sedikit bulu halus di area bawah hidung saja. Itu sudah cukup membuatnya jauh lebih muda.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?"
"Jawab saja, Mas. Apa Mas mencintai Farida?"
"Hentikan pemikiran itu, El. Mas hanya mencintaimu." Jawaban Habib yang tidak langsung to the point dan terus mengelak membuatku merasa kalau dia memang mencintai Farida.
Aku terus bertanya dan mendesak Habib untuk menjawab. Sepertinya sulit sekali baginya untuk menjawab antara 'iya' atau 'tidak'. Apa sesulit itu menjawab pertanyaanku? Atau rasa cintanya sudah mulai tumbuh, hingga dia ragu untuk menjawab karena tidak sesuai dengan apa yang ada di pikirannya.
Bahkan Habib malah menuduhku dengan pemikiran yang sangat jauh. Dia menyebutku terlalu overthinking lah, sensitif, hingga terlalu takut kehilangan dia. Jujur, aku memang takut. Tapi aku akan jauh lebih takut, jika dia jatuh cinta pada adik tiriku itu.
"Jawab saja, Mas. Iya atau tidak? Kenapa kamu malah bicara berputar-putar?" tanyaku yang sudah kelewatan kesal.
Mata Habib seperti mencari objek untuk di pandang, mulai dari tempat tidur, Azka dan bayi kami, sampai celah pintu yang sedikit terbuka. Sedikit lama dia memandang ke sana, sampai aku pun kepo dengan apa yang dia lihat.
Itu samar, tapi aku tahu betul itu adalah warna baju yang Farida pakai terakhir kali saat kami makan malam tadi. Pundak Farida, aku yakin itu dia. Tidak mungkin aku salah lihat, dan ini juga yang membuat Habib lama menjawab.
"Tidak, Mas sama sekali tidak mencintai Farida. Orang yang sudah merenggut calon keturunan Mas tidak pantas mendapatkan cinta dari Mas. Kamu sendiri tahu pernikahan kami ini atas kemauan siapa, jadi Mas mohon jangan pernah bertanya seperti ini lagi. Semuanya sudah jelas, Mas hanya mencintaimu!" jawab Habib pada akhirnya sambil menatapku dengan tegas.
Dia pergi ke tempat tidur setelahnya, lalu memintaku untuk mengantar Azka ke kamarnya dan mulai tidur. Ini sudah malam, dan tentunya Habib butuh istirahat. Aku menurut, kulihat baby Rizky sudah tertidur pulas di box tidurnya, ini waktunya aku mengantar Azka ke kamarnya.
Dan ketika aku membuka pintu, Farida tampak sedang berdiri tak jauh dari pintu kamarku. Dia tampak berdiri membelakangiku sambil menghadap ke ruang tengah di pinggir tiang. Dari lantai dua, tentunya siapapun bisa melihat ke bawah.
"Azka, pergilah ke kamar, ya? Ammah ingin bicara sebentar dengan Ammah Farida," pintaku pada bocah manis ini.
"Iya, Ammah."