Jam tujuh malam, pak Yanto baru saja selesai di makamkan setelah proses panjang di rumah kami, mulai dari pengajian, pembacaan yasin, menunggu tukang selesai menggali kubur dan berbagai hal yang perlu di urus lainnya.
Semua orang di rumah sangat terkejut melihat aku dan Habib pulang dengan membawa mobil jenazah. Farida yang melihat mobil itu masuk ke rumah malah sudah mengira yang tidak-tidak saja, bahkan dia sampai panik duluan dan mengira jika mobil itu membawa jenazahku dan Habib.
"Memang maut tidak ada yang tahu, ya? Bahkan orang yang sudah di penjara pun bisa meninggal dengan kondisi mengenaskan seperti ini," ujar bunda melihat kuburan yang sudah di taburi bunga.
"Mengerikan sekali, Bunda. Aku yang baru masuk beberapa hari di penjara saja sudah tidak tahan, apa lagi pak Yanto. Pasti sangat menyedihkan menjadi dirinya," balas Farida yang di rangkul hangat bunda.
Kami berempat memang masih berdiri di samping kuburan pak Yanto sambil menunggu para pelayat lain untuk pulang. Habib sendiri berdiri dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana, dia tampak memperhatikan papan nisan pak Yanto dengan mata sayu-nya.
Dia kemudian tertunduk, seperti ikut bersedih atas meninggalnya pak Yanto. Ada sebuah helaan napas yang kudengar begitu berat, apa dia benar-benar sedih? Tanganku bergerak pelan mengusap punggungnya, berusaha memberi kesabaran jika memang dia bersedih.
"Tidak perlu melakukan itu, Mas baik-baik saja," katanya pula.
"Tapi Mas kelihatan sedih."
"Mas hanya merasa ... ini tidak adil. Kamu tahu 'kan bagaimana penderitaan Aisyah semasa hidupnya, dia bahkan tidak pernah merasa bahagia, tapi ketika lelaki yang seharusnya mendapat balasan atas perbuatannya, dia malah meninggal dengan cara seperti ini."
Yang Habib kesalkan adalah, hukuman pak Yanto belum selesai. Dia belum merasakan bagaimana susahnya menjadi Aisyah, tapi sekarang lelaki itu sudah meninggal tanpa bisa mempertanggung jawabkan perbuatannya di dunia.
"Tidak semua dosa bisa di pertanggung jawabkan di dunia, Mas. Allah punya cara sendiri untuk membalas perbuatannya," kataku membuatnya mengerti.
"Kamu pernah dengar pepatah, dunia tidak pernah adil untuk orang yang ikhlas?" Aku menggeleng. "Itulah dia, orang yang ikhlas, tidak akan pernah mendapat keadilan. Bukan masalah hukuman dari Allah, tapi ini tentang keadilan dunia. Keadilan pada setiap manusia yang harus mereka dapatkan, bahkan sudah ada undang-undangnya juga 'kan?"
"Sudahlah, semuanya sudah terjadi. Kita memang manusia dan punya rasa tidak puas, tapi kalau terus berfokus pada satu titik, kita tidak akan pernah merasa puas. Sebaiknya kita pulang, sekarang sudah malam dan Farida butuh istirahat," seloroh bunda pula mengajak Farida pergi dari sana.
Kondisi pemakaman di malam hari jelas jauh lebih horor dari pada siang, apa lagi pencahayaannya juga kurang terang, selain dari senter ponsel. Aku masih membujuk Habib untuk ikut pulang bersamaku, hanya saja dia menolak.
"Pergilah duluan, Mas ingin jadi orang terakhir yang meninggalkan pak Yanto sebelum dia di tanyai malaikat," katanya.
Cukup seram, tapi ya sudahlah. Aku pergi saja duluan ke mobil, menunggu Habib bersama bunda dan Farida yang sudah pergi lebih dulu tadi. Sekitar lima menit menunggu, akhirnya Habib pun datang dan kami langsung pulang.
***
Ketika sampai di rumah, Habib tidak mau tidur. Bukan tidak mau, tapi tidak bisa. Aku tidak tahu kenapa, dia hanya memintaku membuatkannya teh hangat untuk menemani dia bekerja bersama laptop dan beberapa lembar kertas putih di meja makan yang kosong.
Padahal aku sudah sangat mengantuk, tapi Habib tetap membuka matanya sambil berkutat dengan laptop dan keyboard. Sepertinya dia sengaja menyibukkan diri dengan pekerjaan, padahal sebenarnya dia masih kepikiran tentang pak Yanto yang baru saja meninggal.
"Kalau ngantuk tidur saja, biar Mas disini sendirian," katanya mengelus kepalaku.
"Aku ingin menemani Mas Habib disini," balasku sambil merebahkan kepala ke atas tangan yang di lipat di atas meja makan.
"Baiklah, terserah kamu saja."
Sepuluh menti melihat tangan Habib bergerak ke sana kemari, membuatku sangat mengantuk dan akhirnya tertidur. Tanpa kusadari mata ini tertutup dan memulai sebuah mimpi. Perlahan aku melihat bayangan, seorang lelaki gagah, tampan dan cukup tinggi tengah duduk di hadapanku.
Dia begitu tampan, tapi entah kenapa aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Kalian tahu 'kan definisi memimpikan pria tampan, tanpa terlihat wajahnya? Meskipun tidak terlihat jelas, tapi aku tahu dia tampan.
Seorang wanita datang menghampiri lelaki itu dengan senyuman manis di wajahnya. Dengan senang hati, lelaki itu menyambut wanita itu di pangkuannya. Mereka tampak tersenyum bahagia seperti pasangan suami istri, dan sang wanita membelai manja rambut lelakinya.
Namun kemudian mereka saling berciuman. Aku melihatnya dengan mataku sendiri, aku cukup terkejut ketika menyadari bahwa mereka yang kulihat dalam mimpi adalah Habib dan juga Farida. Aku sampai terbangun dengan kaget sambil duduk.
"Kenapa, El?" tanya Habib yang kaget melihat ekspresiku saat terbangun.
Kulihat Habib masih bersama laptopnya, tidak ada Farida atau bayangan apapun yang kulihat dalam mimpi. Semua tampak normal, sama seperti sebelum aku tidur tadi. Hanya saja teh Habib sudah berkurang setengah.
"Eum ... aku mimpi buruk," kataku menyeka keringat di dahi.
"Makanya, kalau tidur baca do'a dulu. Lagi pula kenapa kamu tidur disini, 'kan Mas sudah bilang kalau kamu mau tidur pergi ke kamar saja. Tidak usah menunggu Mas," timpalnya.
Tapi mimpi itu benar-benar terasa nyata. Bahkan aku rasa kagetnya sampai terasa ke dunia nyata saat wajah kabur si lelaki perlahan-lahan mulai jelas hingga aku bisa melihat wajah Habib di sana. Ini seperti mimpi buruk bagiku.
"Bu El, masih belum tidur juga jam segini? Padahal baby Rizky sudah tidur sejak tadi," kata Mira yang memasuki dapur untuk mengambil air.
"Bagaimana dengan Azka?"
"Azka juga sudah tidur. Saya juga mau pamit tidur dulu, Bu El sebaiknya tidur. Karena besok kita harus belanja ke super market, isi kulkas sudah habis karena tadi di pakai semua saat pengajian," pesannya sebelum pergi ke kamarnya yang tak jauh dari dapur.
Aku hanya mengangguk membalasnya sambil masih berusaha mengumpulkan nyawa untuk benar-benar tersadar, Mimpi itu sangat mengguncangku, sampai aku merasa sesak yang nyata di dada ini.
"Pergilah tidur, Mas masih lama. Ini sudah hampir tengah malam, tidak baik tidur terlalu larut."
"Iya, Mas. Kamu juga jangan tidur terlalu malam."
"Iya."
Segeralah aku pergi ke kamar, menutup pintu dan langsung merebahkan diri di atas kasur. Menatap langit-langit kamar, membuatku kembali teringat akan mimpi barusan yang terlihat benar-benar nyata.
Itu hanya mimpi, 'kan? Tidak mungkin juga Habib mau mencium Farida dengan penuh hasrat seperti yang kulihat dalam mimpi. Aku tidak mau over thinking tentang ini, tapi aku sangat takut jika Habib benar-benar akan jatuh cinta pada Farida.
Ingat, cinta itu datang karena terbiasa. Itu juga yang Habib dan Farida lewati, bukan?