Chereads / ELYANA SEASON 2 : Air Mata Pernikahan / Chapter 16 - FARIDA MENCINTAI HABIB 2

Chapter 16 - FARIDA MENCINTAI HABIB 2

Plak.!

Aku menampar Farida dengan tanganku sendiri hingga menimbulkan tanda merah di pipinya. "Itu balasan untuk perempuan yang tidak tahu malu sepertimu!" hardikku pula.

Jelas saja aku marah, karena apa yang Habib lakukan pada Farida bukan atas dasar cinta. Bisa-bisanya Farida mengira Habib mencintainya sampai dia kegeeran setengah mati. Kalau aku jadi dia, mungkin sudah tidak punya rasa malu lagi setelah mengatakan hal itu.

Wanita yang kini masih berdiri di depanku ini memegangi pipinya setelah kuberi cap merah. Pandangannya mengarah ke lantai, namun perlahan kembali mendongak agar bisa menatapku. Matanya memberi sebuah isyarat bahwa dia sama sekali tidak takut dengan bentakanku.

"Kenapa, Mbak? Kenapa kamu menamparku? Salahku apa?" tanyanya sok polos dan semakin membuatku muak.

"Jelas saja kamu salah! Kamu mencintai mas Habib, kenapa masih bertanya salahmu dimana?!" bentakku dengan suara semakin besar.

"Apa yang salah dengan itu? Mas Habib juga suamiku, kami terikat dengan pernikahan yang sah. Bukan sebuah dosa kalau aku mencintai suamiku sendiri!"

"Tutup mulutmu!" Bentakku sembari menunjuk wajah Farida. Telinga ini rasanya panas setiap kali mendengar kata cinta yang terucap dari bibirnya.

Mungkin akan menjadi sebuah pahala bagi istri ketika mencintai suami dan melayaninya dengan baik, tapi tidak begitu konsep yang terjadi dalam pernikahan kami. Bukannya aku melarang, tapi tolong mengertilah bahwa status pernikahan itu hanya kedok untuk menutupi kehamilan Farida yang di hasilkan dari perzinaan.

Aku tidak mau Farida malah jatuh cinta pada Habib karena hal ini, sebab aku tidak suka milikku di miliki orang lain. Jangan salah paham dengan kebaikanku yang menyuruh Habib menikahinya, karena aku melakukannya hanya karena kasihan.

"Dasar perempuan tidak tahu malu! Aku meminta mas Habib untuk menikahimu agar bisa menutupi aib keluarga dari anak yang kamu bawa dari hubungan gelap ini! Bukan untuk mencintai mas Habib, karena dia suamiku!" kataku dengan penuh emosi.

"Dia juga suamiku, Mbak! Aku istrinya!"

"Farida berhenti."

"Aku istrinya, aku mencintainya!"

"Farida."

"Aku mencintainya, Mbak!"

"Farida hentikan!" Sekali lagi aku menampar pipinya untuk membuat dia berhenti membuat pengakuan bahwa dia mencintai Habib.

Itu seperti suara hembusan yang begitu panas di telingaku. Bahkan setelah di tutupi jilbab sekalipun, aku tetap tidak bisa menghalangi setiap perkataan yang terucap dari mulutnya masuk ke telinga.

Benci kumendengarnya, rasanya ingin tutup telinga tapi tak bisa. Farida hanya diam menahan tangis saat pipinya kembali terasa berdenyut setelah kutampar untuk yang kedua kalinya. Dan percekcokan kami membuat Habib juga Mira yang sedang ada di ruangan lain ikut terusik. Mereka datang dengan panik menuju kamar Farida.

"El, ada apa ini?" tanya Habib yang membuka pintu dengan paksa hingga membuat pintu seperti terbanting.

"Ya Allah, Bu El. Ada apa ini? Kenapa kalian ribut-ribut begini? Suaranya sampai terdengar ke bawah, lho!" Mira ikutan panik.

"Mas Habib!" Farida langsung berlari ke belakangku, mendatangi Habib yang kebetulan berdiri tak jauh dariku.

Sebenarnya enggan menoleh, tapi keberadaan Habib menjadi magnet untukku menoleh ke belakang dan melihat apa yang Farida lakukan padanya. Wanita itu memeluk Habib sambil mengadu kalau aku menamparnya dengan keras tadi.

Air mata yang sempat terbendung di pelupuk matanya pun tumpah saat dia menerima pelukan dari suamiku. Mira terkejut melihat itu, dia sampai menutup mulut dengan rasa tak percaya. Matanya berlarian melihatku dan Farida secara bergantian, pemandangan ini sungguh membuatku muak.

"El, kenapa kamu menampar Farida?" tanya Habib bingung.

Aku melihat telapak tangan kanan yang tadi sudah menampar Farida dua kali. Tanganku juga merah, tapi pipinya jauh lebih terlihat merah. Apa yang kulakukan? Aku menampar Farida? Tanpa sadar aku sudah menampar adikku sendiri, sepertinya aku memang terlalu terbakar cemburu.

"Bu El? Ibu baik-baik saja?" tanya Mira menghampiriku.

"Mbak El menamparku, Mira. Lihat ini, dia menampar pipiku sampai merah! Apa kamu tidak lihat ini?" sahut Farida sambil menunjukkan pipinya.

Mira masih tidak percaya melihat bukti itu sebelum dia mendengar pengakuan dari mulutku sendiri. Tapi entah kenapa, aku mendadak bisu ketika Habib dan Mira bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi diantara kami.

"Ah ... ah! Perutku sakit!" Mendadak Farida memegangi perutnya sambil meringis kesakitan.

"Farida, kamu kenapa?"

"Perutku sakit, Mas! Sepertinya keram," keluhnya.

Habib buru-buru menyuruh Farida untuk berbaring di tempat tidur. Tapi kemudian aku melihat seulas senyum yang Farida berikan hanya padaku. Senyum itu seperti sebuah senyum licik yang menggambarkan kemenangannya sekarang.

Oh, jadi dia pura-pura sakit?

"Lepaskan, Mas! Dia tidak sakit, dia hanya pura-pura!" sergahku menyuruh Habib melepas rangkulannya di pinggang Farida dengan paksa.

"El, kamu ini kenapa, sih?! Perut Farida keram, kenapa kamu malah melarang Mas untuk membantunya?" protes Habib tak terima.

"Dia hanya pura-pura, Mas! Apa kamu tidak mengerti itu?!"

Kesal dengan sikapku, Habib pun menarik tanganku keluar dari kamar itu. Tugas mengurus Farida pun di serahkan pada Mira yang kebetulan sedang tidak menjaga baby Rizky. Sepertinya dia sedang tidur di kamar.

Habib membawaku ke lorong yang sedikit jauh dari kamar Farida, tepatnya di depan pintu kamar kami sendiri. Dia tidak ingin masuk karena di dalam ada baby Rizky yang tertidur lelap. Sementara di bawah ada Azka yang sedang bermain.

"Lepaskan aku, Mas! Ini menyakitkan!" kataku menarik tangan dari cengkramannya.

"El, tenanglah. Jangan marah-marah seperti ini, kita bisa bicara baik-baik."

Menarik napas, berusaha menstabilkan detak jantung, aku pun menghembuskan karbon dioksida dari mulut setelah berusaha tenang. Emosiku memang tidak terkontrol sekarang ini, apa lagi bawahaan hormon ibu hamil yang sangat berpengaruh padaku, membuat emosi kadang meletup-letup tanpa kendali.

"Sebenarnya ada apa? Kenapa kamu ada di kamar Farida dan menamparnya?"

"Seharusnya kamu tanya pada dirimu sendiri, Mas. Kenapa kamu diam saja ketika Farida datang dan mengecup bibirmu? Dan kamu tahu? Farida mengaku padaku, kalau dia sudah mencintaimu. Dia mencintaimu, Mas!" tunjukku pada dada bidang Habib.

"Apa maksudmu? Mas tidak mengerti."

"Saat kamu ketiduran di meja makan, Farida datang. Mira lihat dengan mata kepalanya sendiri kalau Farida datang dan menciummu. Setelah itu kamu terbangun dan dia pura-pura berdiri, seolah tidak terjadi apa-apa."

Habib tampak berusaha mengingat kejadian tadi malam, dimana dia tertidur setelah mengerjakan pekerjaannya yang ternyata juga belum selesai. Apakah selelap itu dia tidur sampai-sampai tidak sadar kalau Farida datang dan menciumnya?

"Farida tidak mungkin melakukan itu. Saat kami tidur berdua pun dia tidak mau tidur seranjang dengan Mas. Ini pasti salah," tegas Habib tampak berusaha melindungi Farida.

"Lalu, apa menurut Mas Mira berbohong?"

"Bu—bukan begitu, tapi—"

"Farida bilang sendiri padaku, kalau dia mencintaimu. Tanpa pengakuan Mira pun, dia berkata jujur padaku. Sekarang jelaskan alasan kenapa aku tidak boleh menamparnya?! Jelaskan!"

Habib tampak bingung menjawab, diamnya sudah menjadi jawaban untukku tidak berkomentar lebih panjang lagi. Kuputuskan untuk masuk ke kamar dan menemui baby Rizky. Sepertinya dia baru saja terbangun.

Saat berbalik badan, aku tidak sengaja melihat Mira yang berdiri di depan pintu kamar Farida. Tampaknya dia baru saja menutup pintu dan hendak keluar. Dia memasang wajah datar, begitu juga denganku.

Tanpa kata, aku masuk ke kamar, meninggalkan Habib di luar bersama Mira dengan posisi berdiri yang saling berhadapan.