Farida datang mengetuk pintu kamar dengan pelan. Saat itu posisiku masih berbaring di samping Azka sambil memeluknya. Setelah makan malam tadi, dia benar-benar terlihat sedih. Mungkin sempat tersenyum, tapi itu tak lantas menghilangkan rasa rindunya pada kedua orang tua.
Kehadiranku disini untuk menenangkan dia, berharap dia bisa terhibur dan melupakan rasa rindunya untuk sejenak. Kasihan Azka, di usia sekarang yang harusnya masih butuh kedua orang tua, kini malah di tinggal sendirian.
Sebagai anak tunggal, Azka tentu tidak punya siapa-siapa lagi kecuali kami. Ya, setidaknya dia masih punya aku sebagai ammah-nya yang akan selalu menjaga, sekaligus menggantikan bang Fahri dan mbak Anisa.
"Mbak, mas Habib sudah menunggu di kamar," info Farida bicara dengan nada lembut.
"Malam ini kamu saja yang tidur bersama mas Habib, Mbak mau menemani Azka," balasku.
"Apakah itu tidak apa-apa?"
"Tidak apa-apa. Azka butuh Mbak disini, kamu pergilah ke kamar dan temani mas Habib."
Farida mengangguk dan segera keluar. Untuk sekarang aku tidak bisa mengedepankan ego-ku untuk Habib. Ada Azka yang jauh lebih membutuhkanku disini. Dia adalah malaikat kecil titipan bang Fahri.
Melihat matanya yang terlelap dengan berat, membatku begitu sedih. Mengelus pipinya yang lembut, membuatku terus teringat akan momen kebersamaan keluarga Fahri dulu. Kamar ini pasti menyimpan banyak kenangan. Terutama di beberapa foto yang di pajang di dinding.
"Aku tidak tahu jika kepergian kalian akan secepat ini, dan ternyata itu jauh lebih menyakitkan dari pada yang di bayangkan," lirihku menatap foto sepasang suami istri yang terletak di atas nakas.
Saking asiknya berlarut dalam kerinduan, aku sampai tak sadar jam berapa aku tertidur. Saat bangun, waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Segeralah aku bangun untuk melaksanakan sholat tahajud. Mungkin sudah terlambat, tapi masih ada sedikit waktu sebelum waktu subuh.
Habib mendatangiku setelah selesai sholat. Langkah kakinya terdengar begitu jelas saat menghampiriku yang masih duduk di lantai beralaskan sajadah. Tampak dari wajahnya yang masih basah, sepertinya dia juga baru selesai sholat tahajud.
"Ada yang ingin Mas bicarakan," ucapnya menepuk pundak.
"Tentang apa?"
"Buka mukena-mu. Kita bicara di kamar saja," pesannya lalu segera berdiri.
Tanpa menunggu lagi, aku langsung membuka mukena dan mengikuti langkah Habib menuju ke kamar kami. Tidak ada Farida disana, karena Habib mengaku wanita itu sedang di dapur untuk membuatkannya segelas teh hangat.
Dia menutup pintu rapat-rapat. Membuatku bingung dan penasaran dengan apa yang akan dia bicarakan.
"Ada apa?" tanyaku lagi setelah kami duduk berhadapan di pinggir tempat tidur.
"Saat makan malam kemarin, Mas di telepon oleh pihak kepolisian. Mereka bilang kalau pak Yanto di keroyok para tahanan di sana dan sekarang ada di rumah sakit," info Habib membuatku terkejut.
Kalian tidak lupa dengan pak Yanto, bukan? Dia adalah ayah tiri Aisyah yang beberapa bulan lalu di vonis penjara setelah melakukan penyerangan dan menghilangkan nyawa anak tirinya sendiri di pom bensin.
Aku tidak tahu alasan pak Yanto di hajar habis-habisan di penjara, tapi yang pasti keadaannya cukup parah. Bahkan polisi juga tidak mau memberitahu kabar ini, tapi karena kondisi pak Yanto yang tidak sadarkan diri selama lebih dari enam jam, membuat mereka harus menyampaikan informasi ini.
"Lalu, sekarang bagaimana?"
"Nanti siang, setelah kita kembali dari sekolah Azka, Mas mau mengunjungi pak Yanto di rumah sakit. Biar bagaimanapun dia juga masih keluarga kita, jadi sudah seharusnya Mas peduli padanya." Jawaban Habib sungguh di luar dugaan.
"Aku ikut, ya?"
"Jangan, Mas akan mengantarmu dan Azka pulang dulu. Lalu setelah itu Mas pergi ke rumah sakit."
"Apa salahnya kalau aku ikut? Pak Yanto ayah tiri Aisyah, adikku. Itu artinya dia juga ayah tiriku. Seburuk apapun perlakuannya terhadapku, aku tidak bisa membiarkan dia sendirian di rumah sakit."
Akhirnya Habib pun setuju dan membiarkanku ikut dengannya. Entah bagaimana dengan Azka nanti, yang jelas kami berdua sudah sepakat untuk pergi bersama.
Matahari pun terbit. Kami bersiap-siap untuk pergi ke sekolah Azka. Aku bingung harus memakai baju apa, karena semua baju di dalam lemari sudah kupakai semua. Hari ini aku ingin terlihat cantik, tapi tidak terlalu mewah.
Beberapa gamis dan baju potongan sudah kukeluarkan, tapi masih juga belum menemukan baju yang cocok untuk di pakai. Sementara Habib sudah menunggu dengan baju rapi di pinggir ranjang.
"Ayolah, El. Kenapa lama sekali? Kasihan Azka menunggu kita di bawah," desak Habib membuatku semakin panik.
"Tunggu dulu, Mas. Aku sedang mencari baju yang pas."
"Sebanyak ini baju dari lemarimu, masih belum menemukan yang cocok?"
Ucapan Habib membuatku mendengus kesal. Lagi pula apa salahnya kalau aku lama memilih, toh aku juga memilih baju untuk terlihat cantik di depan suamiku. Mana mungkin aku mempermalukan dia di depan orang, yang ada orang-orang bisa mengira Habib masih single.
"Pak, maklum saja. Bu El pasti ingin terlihat cantik untuk bisa menyamai penampilan Pak Habib. Namanya juga perempuan, harap maklum," kata Mira mewakili perasaanku.
"Mas, lebih bagus yang ini atau yang ini?" tanyaku pada Habib sambil menunjukkan dua baju gamis padanya.
Baju gamis pertama warnanya hitam putih, dengan dua warna berbeda di kedua bahunya. Modelnya simpel, dengan tali di bagian pinggang. Sementara gamis kedua, warnanya cokelat dengan motif kotak-kotak. Di bagian lengan di pasang model terompet dengan bagian dada yang polos.
"Yang ini bagus," katanya menunjuk gamis pertama.
"Tapi yang cokelat juga cantik!"
"Ya sudah, kalau begitu pakai saja yang cokelat."
"Tapi baju Mas temanya hitam putih, tidak nyambung kalau aku pakai gamis cokelat," keluhku lagi.
"Maka dari itu, pakai yang pertama saja."
"Ish, katanya lebih bagus yang cokelat. Gimana, sih?!"
Bertanya pada Habib membuatku semakin bingung saja. Dan Mira hanya tertawa melihatku menggerutu sebal pada Habib. Kata Mira, aku sedang dalam fase moody-an, alias gampang berubah mood-nya.
Mungkin karena pengaruh bawaan hamil juga. Di awal-awal kehamilan aku memang selalu seperti ini, suka berubah mood dengan tiba-tiba. Dan seharusnya Habib paham, karena ini bukan pertama kalinya dia menghadapi ibu hamil.
"Pakai baju yang membuatmu nyaman, tidak perlu terlihat cantik, karena kamu hanya berhak cantik ketika di hadapan suamimu saja," bisik Habib sambil memelukku dari belakang.
"Tapi bagaimana jika nanti ada yang mencibirku karena berpenampilan jelek?"
"Tidak masalah. Dimata mereka kamu biasa saja, tapi dimata Mas kamu luar biasa. Lagi pula kamu tetap cantik memakai apapun, percayalah!"
Perkataan Habib benar-benar membuatku merasa bahagia. Senyum ini pun terbit degan malu-malu sampai akhirnya Habib tertawa dan menciumi pipiku dengan gemas. Dia mengaku pipiku semakin tebal, tapi itu malah membuatnya semakin gemas.
"Baiklah, aku pakai yang ini saja," kataku yang akhirnya memutuskan untuk memakai gamis yang pertama.
"Bagus, Mas tunggu di depan, ya?"
"Iya."