Chereads / ELYANA SEASON 2 : Air Mata Pernikahan / Chapter 11 - PENTAS SENI

Chapter 11 - PENTAS SENI

Sekolah Azka termasuk sekolah elit. Di dalamnya ada banyak gedung dengan fungsi yang berbeda-beda. Dulu aku sering sekali ke sini untuk mengantarnya sekolah, itu sebelum aku menikah dengan Habib dan masih menumpang tinggal di rumah bang Fahri.

Tidak pernah berkeliling sekolah, tapi yang kutahu di sekolah ini terdapat ruang seni, ruang musik, ruang aula, musholah, dan juga perpustakaan. Mungkin masih ada ruangan khusus lainnya seperti lab, atau ruang kesehatan. Tapi aku tidak tahu letaknya dimana.

Acara pentas seni di adakan di aula. Letaknya cukup jauh dari gerbang dan kami harus menelusuri beberapa ruang kelas sebelum sampai di sana. Pentas seni ini selalu di adakan setiap satu tahun sekali sebelum kenaikan kelas, dan biasanya ada penampilan dari para murid berprestasi nantinya.

Pandangan Azka mendadak sayu saat melihat temannya sedang bicara bersama seorang lelaki yang kurasa adalah ayahnya. Bibirnya mendadak melengkung ke bawah sambil menampung air mata di pelupuk.

"Azka, kita cari tempat duduk, yuk!" ajakku menarik tangannya.

Dia mendongak dengan mata berkaca-kaca. Tanpa kata, tanpa ucapan, aku pun bisa mengerti tentang apa yang dia rasakan sekarang. Dari gerbang sampai ke depan aula, semua murid terlihat mesra bersama kedua orang tuanya, kecuali Azka.

"Hei, ada apa?" tanyaku pula berjongkok di depannya.

"Dulu ayah selalu datang bersama Azka, dia pasti menggandeng tangan Azka sampai masuk ke aula seperti itu," tunjuknya pada salah satu teman yang datang bersama ayahnya.

Aku tidak menyebutnya lebay, karena kerinduan seorang anak kelas empat SD adalah kerinduan murni yang dia rasakan. Pasti sulit menjadi Azka, harus merasa berbeda di kalangan teman-temannya karena paksaan.

"Ayo genggam tangan Ammun." Habib mengulurkan tangannya. "Ammun juga sudah jadi ayah, kenapa tidak di genggam?"

"Tapi Azka mau menggenggam tangan ayah Fahri, bukan Ammun Habib."

"Azka, sedih boleh, rindu juga boleh. Tapi kesedihan yang terlalu berlebihan itu tidak baik. Sedih sewajarnya, dan rindulah sewajarnya. Apa kata ayah nanti kalau melihat Azka terus-terusan bersedih seperti ini?"

Mungkin tidak ada yang bisa mengobati rasa rindu Azka terhadap kedua orang tuanya. Tapi tugasku dan Habib di sini hanya untuk menghiburnya, berusaha membuatnya lupa untuk sesaat tentang bang Fahri.

Kami pergi duduk di tempat yang sudah di sediakan. Hingga acara di mulai, Habib terus merangkul Azka dengan pelukan hangatnya. Sesayang itu Habib pada Azka, sampai-sampai dia terus menjaga agar bocah itu tidak merasa kesepian.

Tak lama acara berlangsung, Azka di panggil ke panggung untuk membacakan puisi mewakili kelasnya. Dengan senyuman, Habib menyuruh Azka segera naik. Disisi lain aku bangga terhadap Azka, tapi di satu sisi lagi aku merasa kasihan.

"Azka itu anak yang kuat, kesedihan ini tidak berlangsung lama," kata Habib mengelus tanganku.

"Bahkan setelah berminggu-minggu, Azka masih belum bisa melupakan kedua orang tuanya, Mas. Aku merasa kasihan padanya."

"Tidak ada yang perlu di kasihani. Azka hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Ini belum sampai dua bulan, jadi kamu juga harus bersabar. Tugas kita untuk menghiburnya, bukan begitu Nyonya Habib?"

Aku tersenyum mendengar panggilan yang dia sematkan padaku. Menyenggol pelan bahunya, sampai dia pada akhirnya merangkul pundakku. Di saat seperti ini, bisa-bisanya dia mengucap kata gombalan yang membuatku tersenyum.

Kami pun kembali fokus ke panggung. Di sana, Azka berdiri sambil memegang kertas berisi bait puisi yang sudah dia tulis sebelumnya. Puisi itu berjudul 'ayah'. Sebesar itu rasa rindunya sampai dia menulis puisi untuk sang ayah.

Bait demi bait di baca, baris demi baris menyemat makna, membuat siapapun yang mendengar ikut merasa. Maknanya begitu dalam, bahkan aku sendiri jadi teringat pada ayah yang sudah tiada satu tahun lalu.

"Ayah itu seperti superhero, ayah selalu ada untuk Azka. Di saat bunda lelah mengurus rumah, ayah selalu ada untuk menghibur, di saat Azka bingung dengan pekerjaan rumah, ayah selalu membantu. Sekarang ayah tidak ada, Azka kehilangan superhero itu," kata Azka saat tadi malam bercerita sebelum tidur.

Isi puisinya juga begitu nyata degan apa yang Azka rasakan sekarang. Benar-benar menyentuh hati.

"Wah, puisi yang bagus, Azka!" puji Habib setelah Azka turun.

"Terima kasih, Ammun. Azka buatkan puisi khusus untuk ayah, dia pasti suka 'kan?"

"Dia pasti suka. Sangat suka! Nanti malam Azka bisa cerita pada Allah, kalau hari ini Azka sudah membuatkan puisi untuk ayah, biar Allah yang sampaikan pada ayah. Hm?" sahutku yang dia angguki.

Tidak ada yang bisa menutupi kesedihan seseorang, tapi seseorang punya cara sendiri untuk menghilangkan kesedihan dari dirinya. Itulah yang Azka lakukan. Selesai pentas seni, dia pamit untuk bermain bersama teman-temannya di luar aula.

Sementara dia bermain, aku dan Habib hanya duduk di jejeran kursi sambil menikmati waktu istirahat kami sebelum pulang. Suamiku tampak sibuk memandang ponsel, membuatku kepo akan akitivas yang dia lakukan.

"Ammun merekam Azka?" Bocah itu mendadak muncul dari belakang Habib, rupanya dia sudah berdiri di sana sejak tadi.

"Iya, bagaimana? Bagus, bukan? Ini jagoan Ammun!" balas Habib menujukkan sesuatu di ponselnya.

Ternyata Habib sengaja merekam Azka yang sedang membaca puisi tadi. Meski sempat tersendat karena menangis, tapi itu membuat puisi yang dia bacakan terasa nyata dengan akting yang tampak natural.

"Dulu ayah juga selalu merekam Azka saat tampil di panggung."

"Kalau begitu ini tambahan untuk koleksi video Azka, ya?"

"Iya!" Bocah itu tampak bersemangat sekali.

Aku bahkan tak sadar kalau Habib sempat merekam aksi Azka di atas panggung tadi. Mungkin karena terlalu sibuk menatap ke depan sambil menghayati puisinya, sampai-sampai aku tidak sadar akan hal itu.

"Ini orang tuanya Azka?" tanya seorang guru yang datang menghampiri kami.

"Bukan, Bu. Ini Ammah dan Ammun Azka, mereka datang mewakili ayah, karena ayah sudah meninggal," jawab Azka cepat dengan senyum miris di wajahnya.

"Oh, begitu. Maaf, Ibu tidak tahu, Azka."

"Iya, Bu. Tidak apa-apa. Ada apa mencari kami?" timpal Habib pula ikut berdiri.

"Ah, tidak ada apa-apa. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih pada kalian karena sudah mau datang ke acara tahunan sekolah ini. Penampilan Azka sangat bagus tadi, saya yakin kalian sangat berbakat menjadi orang tua," tutur guru wanita itu dengan ekspresi wajah yang mendadak berubah.

Mungkin tidak ada yang tersinggung dengan perkataannya, tapi aku merasa begitu sedih saat mendengar jawaban Azka. 'ayah sudah meninggal'. Kata-kata itu terus melekat di benakku, rasanya seperti penuh kesedihan bercampur rindu.

"Iya, Bu. Sama-sama, kalau begitu kami pamit pulang dulu. Assalamu'alaikum," pamit Habib yang langsung membawaku dan Azka pergi.

"Kenapa, Mas?"

"Tidak apa-apa. Mas hanya takut pembahasannya semakin merembet kemana-mana, dan itu akan membuat Azka semakin teringat dengan ayahnya."