Farida itu memang tidak jago memasak, tapi hanya untuk memasak gulai ayam, itu tidak terlalu sulit baginya. Yang membuatku merasa aneh adalah, kenapa dia harus meminta bantuan kepada Habib? Padahal, ketika menjadi anak tunggal yang tinggal bersama ayah dan bunda, Farida selalu memasak gulai ayam di akhir minggu.
Baiklah, lupakan masalah gulai ayam dan nikmati saja makan malamnya. Kami semua berkumpul di meja makan sambil berbincang-bincang masalah keluarga dan pembicaraan ringan lainnya. Bunda bilang, dia akan pulang ke Bandung besok lusa.
Itu artinya, hanya tersisa dua malam lagi untuknya menginap di rumah ini. Menurut kabar, bunda ingin menghadiri acara syukuran salah satu tetangganya yang baru saja menyambut kepulangan putra mereka.
Aku tidak tahu itu siapa, yang jelas dia baru saja kembali dari luar kota setelah satu tahun lamanya. Tidak terlalu meriah, hanya acara makan-makan keluarga dan tetangga terdekat saja.
"Setelah Bunda pulang nanti, kalian tetap seperti ini, ya? Jangan sampai Bunda mendengar ada masalah dari rumah tangga kalian. Apa lagi El, kamu juga harus mengerti keadaan Farida sekarang. Perhatikan jadwal makannya, jangan sampai dia telat makan, ya!" pesan bunda menatapku.
Bukan hanya aku saja, Habib juga di beri pesan yang sama. Semakin tua usia kandungan Farida, maka dia akan semakin memiliki sedikit aktivitas. Perutnya juga pasti semakin sesak, akan beresiko kalau dia harus mengerjakan terlalu banyak pekerjaan rumah.
"Bunda, aku sudah besar. Aku bisa menjaga diriku sendiri," kata Farida menyela.
"Kamu memang sudah besar, tapi pikiranmu masih kekanak-kanakan. Intinya, Bunda tidak mau kehamilanmu yang kali ini keguguran. Bunda sudah ingin menimang cucu, Farida."
"Bunda tenang saja, Habib akan menjaga Farida dan El dengan baik. Mereka berdua istri Habib, jadi sudah menjadi tanggung jawab Habib untuk menjaga mereka," sela Habib berhenti mengunyah untuk beberapa saat.
Bukan apa-apa. Tapi bukankah di awal kehamilan yang lebih membutuhkan banyak perhatian? Maksudku, kehamilanku masih memasuki minggu ke-enam. Masih rentan dan perlu banyak penjagaan, kenapa hanya Farida yang di beri perhatian?
Berusaha berpikir positif, karena memang keguguran yang Farida alami tahun lalu itu karena kelainan. Untuk kali ini bunda dan Habib pasti tidak ingin hal itu kembali terjadi. Dan sejauh ini kandungan Farida terpantau sehat.
"Mir, ayo gabung makan bersama kami. Baby Rizky sudah tidur, bukan?" ajakku pada Mira yang baru saja turun dari tangga.
"Ah, tidak perlu, Bu. Saya bisa makan nanti," tolaknya halus.
"Tidak apa-apa, kamu juga keluarga kami. Tidak ada salahnya bergabung makan bersama kami."
"Iya, Bu Mira makan bersama kami saja! Kursi ini masih kosong," imbuh Azka menambahkan.
Aku tahu, Mira pasti enggan bergabung bersama kami karena keberadaan bunda. Bunda memang sudah kelihatan tidak menyukai Mira sejak awal mereka bertemu, tapi itu tak lantas membuat mereka bermusuhan.
Bunda bahkan menyuruh Mira untuk tetap duduk dan menikmati makan malam. Aku juga tidak memperlakukan Mira seperti pembantu. Dia tinggal di rumah ini dengan tugas mengurus baby Rizky, bukan sebagai pembantu. Dia juga keluarga bagiku.
"Sebentar, ya? Mas angkat telepon dulu," pamit Habib berbisik padaku.
Entah siapa yang meneleponnya. Dia tampak menjauh dari meja makan untuk bicara. Raut wajahnya terlihat begitu serius. Tapi aku tidak mau terlalu kepo, karena jika Habib mau, maka dia akan memberitahuku nanti.
Menoleh ke arah kiri, ada Farida yang sedang menikmati makananya. Di sebelahnya ada bunda, sementara di sebelah kanan Farida ada Mira yang duduk tepat di sebelah Azka. Bocah itu mendadak terdiam ketika dia menatap nasi yang masih tersisa setengah di piringnya.
"Azka, ada apa? Kamu tidak suka dengan makanannya?" tanya Farida.
"Bukan itu," jawab Azka tertunduk lesu.
"Lalu ada apa?"
Bocah itu tidak langsung menjawab. Dia malah tertunduk dan tampak menahan air mata di pelupuk matanya. Melihat cucunya tampak murung, bunda pun akhirnya angkat bicara.
"Cucu nenek kenapa? Tidak biasanya kamu bersedih seperti itu?"
"Besok ada acara pentas seni di sekolah Azka. Sebenarnya sudah dua hari yang lalu wali kelas Azka menyuruh memberikan surat undangan untuk orang tua, tapi Azka tidak tahu harus memberikan undangan itu pada siapa, karena ayah dan bunda sudah tidak ada," jelasnya dengan suara gemetar.
Hatiku ikut bergetar mendengar penuturannya. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengiris hati, hingga rasa pilu dan air mata ikut mendukungnya. Pandanganku beralih menatap Azka yang baru saja mengeluarkan undangan itu dari bawah meja.
Sepertinya dia sudah kepikiran masalah ini sejak dua hari yang lalu. Pasti bingung baginya untuk memberikan undangan itu pada siapa, karena biasanya bang Fahri yang selalu menghadiri undangan dari sekolahnya.
"Kenapa harus bingung, Azka? Ada Ammah El, berikan saja undangannya pada Ammah," kataku mengelus pundaknya.
"Azka ingin ayah yang datang. Biasanya kalau ada undangan dari sekolah, selalu ayah yang datang. Seperti tahun lalu, ada pentas seni di sekolah. Azka datang bersama ayah." Tangis bocah itu pecah ketika mengingat momen bahagianya bersama sang ayah.
Tubuhku merinding seketika. Begitu dekat hubungan antara Azka dan bang Fahri, hingga Azka tidak bisa melupakan semua kenangan itu. Aku tahu betapa sedihnya Azka saat ini, karena aku juga sudah lebih dulu merasakan yang namanya kehilangan seorang ayah.
Pasti rasanya sakit sekali. Bagaimana bisa dia datang ke sekolah tanpa ayah, sementara teman-temannya datang bersama ayah dan ibu mereka. Oh, bocah yang malang.
"Hei, Azka kenapa menangis?" tanya Habib yang baru saja kembali dan melihat keponakan kesayangannya menangis di pelukanku.
"Azka dapat undangan dari sekolahnya, tapi dia sedih karena ayahnya sudah tidak ada untuk menerima undangan itu, Mas," jelasku.
Habib tersenyum. Dia kemudian berjongkok di depan Azka untuk mensejajarkan posisi mereka. Meskipun Azka duduk di kursi, tapi setidaknya tinggi badan mereka masih bisa untuk saling bertatapan.
"Hei, Azka. Jangan menangis! Walaupun ayah sudah tidak ada, tapi 'kan ada Ammun. Biar Ammun Habib yang datang mewakili ayah ke sekolah Azka besok!" Habib mengelus kepala Azka dengan penuh kasih sayang.
"Azka rindu ayah, Ammun."
"Iya, Ammun tahu. Tapi Azka tidak boleh seperti ini. Ayah akan merasa sangat sedih kalau Azka menangis. Anak sholeh tidak boleh menangis, karena anak sholeh harus kuat! Sampaikan rindu Azka pada Allah, nanti biar Allah yang menyampaikannya pada ayah di surga, ya?"
Bocah itu mengangguk sambil mencibirkan bibir yang berusaha mengukir senyum di sana. Lelaki brewok ini mengusap sisa jejak air mata di pipi Azka, dia benar-benar sudah terlatih menjadi seorang ayah. Bahkan Azka pun bisa kembali tersenyum setelahnya.
"Tapi Azka mau Ammun Habib dan Ammah El datang bersama, bisa 'kan?" pintanya pula.
Aku menatap Habib dengan datar. "Bisa, sayang. Ammah dan Ammun akan datang besok!" jawabku pula, membuat Habib tersenyum.
"Duh, Bu El dan Pak Habib benar-benar sepasang orang tua yang baik! Saya yakin, pasti kalian bisa mendidik anak dengan baik nantinya!" puji Mira membuatku dan Habib tertawa.
Tawa itu keluar dari kami, terkecuali bunda yang memasang wajah datar. Sementara Farida tersenyum kikuk.