Chereads / Bayi di Depan Rumahku / Chapter 15 - 15. Serangan Geng Kepo

Chapter 15 - 15. Serangan Geng Kepo

Papa mertua melotot pada Sonia. Gadis itu cuek saja dan meneruskan makannya. Papa melirik padaku seraya mengedipkan matanya, bibir ini terpaksa menyunggingkan senyum menahan perih.

"Den, kamu ganteng banget sepagi ini. Emang mau ke kantor ya?" tanya Mama.

"Ya, Ma, aku lagi ada tender. Beruntung Mama ke sini, karena aku akan menitipkan anak dan istriku," seloroh Mas Denis.

"Loh, kami baru datang Denis. Kenapa kamu udah mau ninggalin lagi?" tanya Papa dengan nada protes.

"Aku ada tender baru Pa, proyeknya ada di luar kota. Jadi kalau tidak dikejar, kan, lumayan untuk masa depan Kiara," jawab Mas Denis.

"Oh ya, kamu harus semangat bekerja demi mereka. Biar semangat kerjanya, kamu makan masakan Mama ya," kata Mama.

"Pasti dong Ma, karena masakan Mama jarang ada dan masakan Mama terenak di dunia. Tidak tergantikan oleh siapapun," ucap Mas Denis seraya melirik padaku.

Entah apa maksudnya, tapi menurutku itu sangat janggal. Biar sajalah, takutnya aku dibilang baperan lagi seperti kemarin. Mereka berempat berbincang bertukar cerita, sama seperti semalam dengan tema yang berbeda. Namun tetap saja saat bagian menceritakan ku, Mas Denis tidak segan mengatakan pada ibunya. Apa kekurangan selama kami berumah tangga.

Aku hanya diam dan tidak membantah, sebab Mama mertua juga sama akan marahnya seperti Mas Denis. Ketika mendapat bantahan dari siapapun, namun di dalam hati kecilku. Aku merasa Ini semua tidak benar. Apakah artinya seorang istri yang baik dan sejati harus diam ketika harga dirinya diinjak dan dipermalukan oleh suaminya sendiri di depan orang tuanya.

Padahal selama ini aku tidak pernah membuka sedikitpun kekurangan Mas Denis pada keluargaku. Wajarkah bila hati ini sakit mendengar nama baik dan rumah tangga yang selama ini dijaga, tapi dibuka aibnya oleh orang yang paling dipercaya.

Walau hati sangat kesal pada Mas Denis. Sesuai perjanjian semalam, aku menurut untuk menjadi menantu baik dan sempurna. Seperti biasanya ku antarkan suami dengan penuh cinta, hingga pria itu memasuki mobil dan pergi mencari nafkah.

Karena hari ini aku libur. Jadi, aku ajak mama mertua untuk berkeliling kompleks. Mama terlihat senang mendorong stroller Kiara, sambil sesekali mengajak anak itu bicara bahasa bayi. Padahal Kiara belum bisa merespon apapun, selain diam dan memperhatikan ekspresi orang yang mengajaknya main.

"Dinda, apa akta kelahiran Kiara sudah kalian urus?" tanya Mama mertua.

"Kata Mas Denis sudah Ma. Aku bilang kok sudah lama," jawabku.

"Kenapa harus semua Denis yang urus sih, Din? Kan, kamu bisa ngurus sendiri soal akta. Biarkan aja Denis kerja, jadi istri itu jangan manja loh," kata Mama.

"Mas Denis tidak mengizinkan, katanya itu sebagai bentuk tanggung jawabnya menjadi kepala rumah tangga," jawabku datar.

"Ya bener sih, anakku memang dia itu terbaik. Kamu tuh beruntunglah Dinda, dapat suami yang baik, perhatian ,dan sempurna seperti Denis," kata Mama mertua lagi lagi memuji anaknya.

"Iya Ma, aku memang sangat beruntung," jawabku singkat daripada memperpanjang masalah.

"Kamu waktu hamil Kiara gimana sih Din? Memangnya kamu nggak ngerasa gimana gitu?" tanya Mama mertua.

Mataku terbelalak mendengar pertanyaan Mama. Bagaimana sekarang aku menjawab wanita ini. Sedangkan aku tidak hamil dan hanya tahu cerita dari teman-teman saja.

"Merasa gimana ya Ma? Memang pada umumnya orang hamil harus sama?" tanyaku balik menatap lurus pada Mama.

"Ya nggak juga sih, tapi kan satu hal yang sama itu. Mual dan muntah, itu sudah gejala awal orang hamil. Emangnya kamu nggak ngerasain?" tanya Mama mertua seakan menyelidik.

Pertanyaan Mama sangat menohok. Bagaimana mungkin aku menjawab, tapi aku belum merasakan apa itu kehamilan seperti yang orang ceritakan orang. Kehadiran Kiara yang begitu cepat, seperti anugerah dan musibah yang datang bersamaan, karena harus menutupi semua kebohongan besar dari keluarga.

"Enggak ada sih Ma, tiba-tiba aku di USG udah telat dua bulan. Dokter bilang itu sudah masuk tiga bulan. Ya gitulah," jawabku mengarang cerita. Untung saja aku pernah membaca sebuah novel tentang kehamilan yang seperti itu.

"Oh gitu ya.Kalau orang tua bilang, itu hamil kebo Dinda. Karena kamu nggak ngerasain apa-apa, jadinya begitu deh. Padahal nikmat loh, rasain muntah-muntah, ngerasain pusing pagi hari," ucapnya.

"Mungkin kondisi badan setiap orang beda ya Ma. Jadi nggak bisa disamakan."

"Iya, tapi menurut Mama wanita yang sempurna itu. Wanita yang sudah merasakan segalanya dari mulai hamil, repot menyusui melahirkan secara normal."

"Apa harus hal itu yang menjadi tolak ukur untuk dikatakan kalau wanita itu sempurna, Ma?" tanyaku.

"Lantas harus diukur dari mana? Cantik dan uang itu relatif Dinda," jawab Mama mertua.

"Kalau orang yang ditakdirkan mandul dan tidak bisa mengandung anak. Tapi dia berjuang keras untuk kehidupan, rasanya mereka tidak adil kalau tidak disebut wanita sempurna."

"Itu sih sudah takdirnya, apa urusan kita," kata Mama.

"Lalu bagaimana jika dari pihak pria juga yang merasakan kemandulan?"

"Sudah, kenapa kamu jadi banyak tanya sih. Intinya begitu aja, siapapun yang jadi menantu di keluarga Mama. Harus sangat sempurna dan segala bisa. Ketika suaminya tidak bisa, istrinya dong yang harus bisa ngasih apapun sih," kata Mama mertua.

Kami terus berkeliling di komplek, karena geng kepo baru saja momong anaknya. Kami berpapasan di sana, Mama mertua yang sangat ramah dan santun menyapa mereka dan bersalaman. Aku memperkenalkan Mama kepada mereka, ya walaupun sebenarnya sangat malas.

Aku sempat khawatir karena takutnya mereka membahas soal Kiara dan kehamilanku yang tidak terlihat. Ketika mereka sedang bicara, bu RT menyinggung soal Kiara, aku segera menarik Mama mertua untuk pergi dari sana. Khawatir akan ada banyak pertanyaan lagi yang tidak bisa aku jawab nanti di rumah. Awalnya Mama mertua menolak pulang, karena mungkin masih penasaran juga dengan keterangan para tetangga dan kepo.

Tapi aku bilang kalau Kiara tidak bisa berada di luar dalam waktu lama. Apalagi sebentar lagi di matahari akan semakin meninggi, akhirnya mertua mau pulang bersamaku. Walau wajahnya ditekuk, mungkin karena kesal dipaksa pulang. Melihat Mama yang mendorong stroller Kiara dengan cepat, aku merasa ngeri. Tapi, Aku tidak bisa berbuat apapun, hanya bisa menjaga dari kejauhan.

Sesampainya di rumah, sikap Mama mertua langsung berubah. Ketika aku bertanya, jawabannya ketus saat aku tawarkan sesuatu, Mama mertua tidak mau merespon. Mungkinkah karena omongan bu RT tadi yang menanyakan soal Kiara dan kehamilanku yang tidak diketahui mereka, menimbulkan curiga di dalam hatinya. Aku jadi tidak tenang dan gelisah, terpaksa ku kirimkan sebuah pesan pada Mas Denis, agar menelpon mamanya dan menenangkan.