"Kenapa sih Dinda, orang suaminya lagi mau mesra juga." Mas Denis marah dan langusng menjauhkan tubuhku darinya.
"Bukan begitu Mas, tapi ada Revan di sini. Kalau tidak ada dia, sudah pasti aku ya akan melayani kamu," bisikku mencoba membujuknya.
"Ah kamu mah gitu memang gitu. Baik sama aku cuman karena mau dikasih uang, aja kalau nggak dikasih uang. Ya gitu deh sama kaya ibu-ibu lain marahan sama suami," kata Mas Denis.
"Ya Allah Mas. Kenapa pikirannya sampai sejauh itu, sumpah loh aku, nggak maksudku Mas." Melihat kemarahan Mas Denis aku mulai panik.
"Kalau enggak gitu, ya gimana maksudnya?" kata Mas Denis dengan nada sengit.
"Kamu kok sensitif banget, Mas, belakangan ini dikit-dikit aku yang disalahin. Ini kan, cuman hal sepele, aku nggak enak nanti kalau tiba-tiba Revan datang. Terus lihat kita perukan, bukankah kemesraan tidak patut untuk diperlihatkan di muka umum?" kataku membela diri.
"Kamu yang cari alasan dan pembelaan diri terus. Padahal kamu yang salah. Sudahlah, kamu bikin mood aku jadi rusak. Padahal aku baru aja seneng bisa beliin kamu sama Kiara," kata Mas Denis. Setelah itu dia pergi meninggalkanku.
Aku menghela napas dalam-dalam, tidak menduga jika Mas Denis semakin kekanakan. Padahal itu hanya hal sepele. Apa salahnya jika aku menjaga Marwah rumahtangga kami, karena memang rasanya tidak patut juga menunjukkan kemesraan di depan umum. Apalagi Revan yang tidak aku kenal sebelumnya, sebab dia hanya Agency yang menjual rumah pada kami.
Sepanjang jalan menuju rumah, Mas Denis masih saja marah. Jika sudah begitu, tidak ada yang bisa kulakukan selain diam menerima kemarahannya. Meski sudah mengatakan terima kasih telah memberikan rumah untukku dan Kiara. Tetapi Mas Denis tidak bergeming dengan sikapnya.
***
Kesokan harinya sikap Mas Denis sudah lebih baik, aku pamitan kerja padanya dan Mas Denis memintaku untuk tidak lembur. Aku sempat menolak karena seperti biasanya di setiap kantor akan ada jatah lembur dan aku juga tidak yakin kalau Pak Anton bisa sebaik itu memberikan izin. Apalagi aku adalah karyawan baru di kantor tersebut, sungguh situasi ini dilema bagiku.
Sesampainya di kantor, kulihat Pak Anton ada di sana. Cukup kaget karena pagi hari, pria itu sudah stay di depan meja. Aku menyapa seperti biasa, meski sudah ku panggil dan ku Sapa dengan benar, pria itu nampak melamun.
Selamat pagi Pak Anton Apa kabar Anda tanya aku
Pak Anton nampak terkejut lalu membetulkan posisi duduknya. " pagi juga Dinda Selamat bekerja sahutnya.
Baik Pak saya akan bekerja dengan sepenuh hati dalam jawab aku dalam hati
Oh ya kamu jangan lupa hari ini kamu harus Lembur karena ada pekerjaan tambahan sebab Nanti siang kamu akan pergi bersama saya menemani meeting kata Pak Anton
Tapi Pak saya tidak bisa Lembur karena saya punya anak kecil di rumah
Kamu bilang dia dengan pengasuh Ya sudah berikan saja dia pada pengasuhnya yang kamu tetap fokus bekerja dengan profesionalitas kamu Saya tidak mau tahu apapun
Sikap Anton membuatku ilfil karena dia terkesan tidak punya hati. Bagaimana mungkin Pak Anton tega, mengatakan hal demikian seolah dia pria yang tidak punya hati.
"Maaf Pak, tapi jika lembur sampai malam. Saya kehilangan waktu bersama anak, saya bekerja bukan berarti melupakan dia Pak," jawabku.
"Ssharusnya jika memang kamu belum siap bekerja di perusahaan ini. Lebih baik keluar saja sejak awal, daripada Sudah menandatangani kontrak, tapi kamu tidak profesional," kata Pak Anton, nada bicaranya terdengar tegas setengah menyindir.
" Baik Pak.Saya minta maaf
," ucapku tidak ingin banyak berdebat.
" Ya sudah cepat kerjakan pekerjaanmu."
Melihat raut Pak Anton yang menyeramkan. Aku takut untuk membantah dan langsung duduk di meja, satu persatu ku ambil berkas yang sudah ada di sana lalu memeriksanya dengan teliti.
Entah kenapa aku harus berada di dalam satu ruangan bersama pria ini. Padahal karyawan di divisi lain mereka tidak ada yang berada di dalam ruangan khusus seperti diriku. Jelas aja ada rasa tidak enak, apalagi di sini aku karyawan yang baru bekerja beberapa hari.
"Periksa berkas dengan benar sekali lagi, aku ingatkan Dinda," kata Pak Anton."
"Baik Pak."
"Tidak ada jawaban lain apa selain Baik Pak saja." Pak Anton tiba-tiba menggerutu.
Aku ingin menjawab tapi biarkan sajalah, punya bos sedikit aneh memang agak tricky. Ekor mataku sesekali melirik pada Pak Anton yang sibuk dengan ponselnya, terkadang pria itu tersenyum ataupun tertawa sendiri. Dari gejala yang kulihat dari mata telanjang, Pak Anton seperti sedang jatuh cinta.
Tapi bisa jadi kalau pria itu mendapatkan tender atau projek besar. Aku menepuk kepala kenapa begitu bisa memikirkan Pak Anton yang baru saja menjadi bos. Akhirnya aku fokus saja pada pekerjaan yang memang harus selesai sebelum pukul delapan malam.
Saatnya makan siang tiba, sebetulnya aku sangat ingin keluar dan makan bersama Casey. Tapi pekerjaan yang menumpuk membuatku takut untuk meninggalkan meja. Jadi aku lebih memilih menyelesaikan pekerjaan dan mengorbankan waktu istirahat.
Pak Anton tiba-tiba datang ke meja, lalu membanting markas di depanku. Sontak Aku menoleh padanya, melihat wajah Pak Anton sangat marah, aku jadi takut. Pria itu mengusap dagunya lalu menekan bekas yang tadi ia banting dan membukanya.
"Apakah kamu sangat ingin pulang, sampai kamu tidak bisa teliti dalam bekerja!" serunya.
"Maksud bapak bagaimana?" tanyaku.
"Periksa ulang lagi berkas ini dan sudah ku peringatkan. Jangan sembarangan Dinda! Ini laporan keuangan, bukan dairy yang bisa kamu tulis seenaknya."
Ya ampun apalagi ini, aku sudah memeriksa sebaik mungkin. Tapi kenapa masih saja ada kesalahan, tidak ada yang bisa aku katakan selain menjawab iya pak sambil membuka berkas dan melihatnya dengan teliti.
Perlahan mataku menelaaah setiap inci berkas tanpa terlewat satu spasi pun. Namun, aku belum ketemukan kesalahan seperti yang Pak Anton katakan. Aku tidak mau cepat berspekulasi dan terus memeriksa berkas hingga selesai sampai tiga kali.
"Sudah kamu lihat kesalahannya, Dinda?" tanya Pak Anton.
"Maaf, Pak, tapi tidak ada kesalahan apapun di dalam berkas ini," jawabku.
"Matamu minus atau buta ya! Sini aku perlihatkan," kata Pak Anton sambil merebut berkas dan membukanya lalu menunjukkan bagian yang menurutnya salah.
"Kau salah menulis nama, jadi perbaiki sekarang atau....' Pak Anton tidak melanjutkan ucapannya mendadak wajahnya pucat seperti menahan malu.
'Bukankah Ini yang kemarin anda setujui untuk pembelian produk ini Pak?"
Pak Anton keluar dari ruangan tanpa mengatakan apapun. Aku tersenyum puas sekaligus geli karena sikap Anton yang terlihat seakan menahan malu. Daripada memikirkan orang lain lebih baik aku menyelesaikan pekerjaan.