Tepat pukul sembilan, semua pekerjaan baru beres. Tadi bukan hanya karena ada pekerjaan inti. Tapi beberapa tugas yang bukan pekerjaan asliku harus dilakukan karena permintaan dari Pak Anton yang tidak masuk akal. Walau sedikit kesal, mau bagaimana lagi. Nasib orang baru pasti akan diperlakukan seperti ini di setiap kantor. Untung saja yang melakukan adalah Bos sendiri, jika orang lain mungkin aku bisa menolak.
Sesampainya di rumah, kulihat Mas Denis sudah berdiri di depan pintu dengan raut wajah yang kesal. Aku tahu dia pasti marah karena pulang larut malam, sampai di rumah waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Saat akan mengucap salam, Mas Denis tiba-tiba mencengkram tanganku erat lalu menyeretku masuk kedalam rumah. Aku sangat terkejut dengan tindakannya, karena ini sangat kasar dan Mas Denis tidak pernah melakukan hal semacam ini selama kami menikah.
"Mas, sakit tolong lepaskan," kataku.
"Kau bilang sakit? Dinda, lebih sakit mana dengan menunggumu. Bukankah sudah kubilang kau jangan lembur, tapi kenapa kau pulang larut malam!" serunya.
"Aku karyawan baru dan Ini akhir bulan, mana bisa aku menolak untuk tidak lembur, Mas."
"Alasan saja kamu, ngapain di sana dengan atasanmu, hah! Apa cuman berduaan di dalam kamar?" tuduh Mas Denis.
"Mas!"
"Apa? Kamu berani bentak aku, hah? Emang kamu di sana pasti berduaan sama Bos kamu kan?" cecarnya semakin tidak karuan.
"Ya, tapi kami bekerja, bukan macam-macam, Mas. Kamu jangan cari masalah deh please ya. Aku capek banget Mas."
"Oh, sekarang karena udah kerja kamu berani ya bantah aku." Mas Denis berkacak pinggang.
"Ya tidak begitu juga. Tapi tuduhan kamu ini tidak beralasan, Mas. Wajar aku sakit hati."
"Kamu memang pintar akting. Kamu yang salah, tapi seolah aku pelaku yang menyakiti hatimu."
"Oke baik maaf, aku yang salah. Aku yang telat pulang ke rumah, sekarang apa yang harus aku lakukan supaya kamu memaafkanku?"
"Tidak ada yang perlu kamu lakukan selain berhenti bekerja," jawab Mas Denis.
Mas Denis masuk ke dalam kamar Kiara dan meninggalkanku yang masih berdiri mematung. Mencerna ucapannya, apa yang dia katakan barusan. Apa aku tidak salah dengar? Bukankah katanya aku ini beban untuknya dan keluarganya. Tapi kenapa ketika, sesudah mendapat pekerjaan dia seolah takut penghasilannya tersaingi.
Karena tubuh yang sangat lelah, aku tidak begitu mempedulikan kemarahan Mas Denis. Aku segera beranjak masuk ke dalam kamar dan membersihkan diri. Setelah itu aku melihat Kiara di kamarnya yang Sudah terlelap, Mas Denis melemparkan tatapan yang begitu tajam seakan membenciku.
"Jangan tidur di tempat anakku, itu hanya akan mengotori Kiara," ucap Mas Denis lalu keluar dari sana dan pergi ke kamar kami.
Selesai makan aku langsung mencuci piring lalu beranjak ke kamar kami. Ketika aku membuka pintu dan masuk ke dalam kamar, Mas Denis mendadak gugup dan terkejut. Ponsel yang sedang menempel di telinganya langsung ia simpan kembali ke dalam saku. Aku tidak ingin bertanya, karena nanti Mas Denis akan semakin marah padaku.
"Telepon dari Pak Pras, katanya ada masalah di pabrik ,"ucap Mas Dennis tanpa aku minta.
Aku hanya mengangguk pelan lalu tersenyum tipis." Aku ya Mas, karena aku capek.''
"Ya sudah kamu istirahat saja sayang."
"Mas masih marah enggak sama aku ?" tanyaku kepada Mas Denis.
"Nggak, udah biasa aja. Lagian ada mama sama papa ,nggak enak kalau kita berantem," jawabnya.
Dalam hati ku ucapkan terima kasih karena Mas Denis tidak mempermalukan ku seperti biasanya. Malam ini kami lewati hanya dengan kebisuan,M as Denis sibuk dengan laptop sementara aku tidur beristirahat.
Pagi harinya, truk untuk mengangkut barang sudah sampai di depan rumah. Karena punya uang, Mas Denis menyewa orang untuk membereskan barang ke dalam truk. Nanti malam, hanya aku yang akan ada di rumah sana. Sebelumnya kami juga sudah berunding bahwa semua yang ada di rumah sana, aku yang akan mengatur.
Terserah mau bagaimana kata Mas Denis, dia hanya membeli rumah itu. Walau sejujurnya aku keberatan karena lebih nyaman di sini, tapi dengan barter rumah di sana menjadi namaku dan disini atas nama Mas Denis Aku pun tidak masalah.
"Dek, kamu nanti lembur lagi ya kerjanya?" tanya Mas Denis sebelum aku masuk ke mobil.
"Nggak tahu Mas. Emang kenapa gitu?" Aku balik bertanya.
"Kalau mau lembur enggak papa sih. Maaf ya atas sikapku semalam sama kamu," kata Mas Denis, mengusap pipiku dengan lembut.
"Enggak apa-apa Mas, aku yang salah kok," sahutku yang sekarang semakin merasa lega.
"Enggak, aku yang tempramen banget. Maafin aku ya Din. Aku bukan suami yang sempurna," bisik Mas Denis.
"Ibu mertua, apa mau disiapkan sesuatu lagi?" Tiba-tiba suara Nita mengejutkanku. Kenapa dia memanggil nama Mama Amberly dengan sebutan ibu mertua. Sungguh itu suatu tindakan yang lancang, aku emosi mendengarnya. Lalu ku hampiri Nita yang berdiri di ambang pintu.
Kutatap tajam Nita sambil melipat tangan ke depan. Gadis itu hanya diam sambil cengengesan seakan tidak merasa apapun apalagi menyadari kemarahanku saat ini. Nita terlihat gusar berdiri dihadapanku.
"Kamu ngomong apa barusan NIta? Kok kurang ajar sekali ya," kataku.
"Apa ya Bu? Saya kan, cuman bilang mamah mertua," jawabnya dengan raut muka yang polos.
"Itu masalahnya Nita, kenapa kamu berani memanggil Mama Anberly dengan sebutan ibu mertua? Kamu tahu tidak gelar itu suatu kehormatan," kataku.
"Sayang, sudahlah jangan ribut pagi hari. Nita kan hanya bercanda," bela Mas Denis.
"Ya nggak bisa gitu Mas, panggilan mertua itu sangat mahal loh. Itu panggilanku buat mama jangan berani Nita mengatakan itu selain aku
"Ini cuma hal sepele. Kenapa kamu besar-besarkan sih Dinda," kata Mas Denis.
"Maaf Bu, jika memang tidak suka. Saya kan cuman ikutin, kalau ibu manggil Bu Amberly saja. maaf sekali lagi jika memang Ibu tidak berkenan," ucap Nita.
"Ya jelas saja saya tidak berkenan, karena kamu disini hanya orang lain dan di sini saya nyonya ," kataku dengan tegas sambil menekan kata Nyonya pada Nita.
"Sudah-sudah, masih pagi kenapa harus bertengkar sih. Sekarang lebih baik kamu pergi ke kantor dan segera selesaikan pekerjaan kamu. Jangan sampai pulang larut malam lagi." Mas Denis meninggikan suaranya."
Aku mengernyit keheranan seharusnya dia membela aku sebagai istrinya. Tapi kenapa malah membela Nita, kesal dengan sikap Mas Denis. Akhirnya aku memilih pergi dari rumah segera berangkat ke kantor semangat untuk pindah rumah jadi hilang karena hal ini.
Aku sempat menoleh ke belakang, Mas Denis masih bicara dengan Nita. Mereka entah membicarakan apa karena terlihat saling senyum dan tertawa lepas.l