Mas Denis sudah selesai bicara dengan Mama. Pria itu kemudian menghampiriku lagi dan kembali menghitung uang. Aku melihat suasana hatinya sedang bahagia, sepertinya ini waktu yang tepat untuk bicara.
"Mas, barusan Audrey kirim pesan sama aku," ucapku.
"Terus?" Tanggapan Mas Denis membuatku sangat terkejut.
"Ya, Audrey bilang Ayah lagi sakit sekarang dan perlu uang untuk berobat."
"Nanti saja tunggu kamu gajian," jawabnya.
"Gajianku masih tiga minggu lagi, Mas."
"Ya nggak apa-apa, itungan belajar sabar."
"Nggak bisa ya Mas, sedikit saja uang itu dipake untuk berobat Ayah? Lagian, rumah bukan hal yang urgent buat saat ini." Aku mulai kesal.
"Ya nggak bisa karena buat bayar DP semuanya pas, Dinda. Nanti Kiara bakalan makin gede, masa kita tinggal di rumah ini. Belum lagi nanti anak kita yang lain, kita butuh rumah besar loh," jawabnya.
"Ya. Tapi itu masih terlalu jauh Mas," bantahku.
"Segala sesuatu itu harus disiapkan dari sekarang, sayang. Kamu bagaimana sih, kita itu nggak akan selalu sehat. Aku juga ada sakitnya, aku juga ada tumbangnya, nggak mungkin dong nanti kamu sama Kiara bisa kelaparan atau kekurangan tempat tinggal. Mumpung aku bisa kerja, ya aku mau membahagiakan kalian berdua," ucap Mas Denis.
Mendengar ketulusan dari perkataan pria itu, hatiku sangat tersentuh. Ya memang aku sangat beruntung Mas Denis bertanggung jawab secara finansial. Apalagi untukku dan Kiara, aku mencoba memahami maksud dari Mas Denis. Walau saat ini hal itu bagiku terlalu berlebihan.
Tapi jika memang Mas Denis memiliki sudut pandang lain aku akan menghormatinya.
Aku hanya diam dan tidak bisa mengatakan apa-apa saking terharunya, dengan apa yang dilakukan oleh suamiku. Mungkinkah selama ini perasaanku terlalu berlebihan menilai Mas Denis buruk pikirku.
"Kok malah diem aja sih sayang. Kamu nggak seneng ya Mas mau beli rumah?" tanya Mas Denis.
"Enggak, bukan kayak gitu Mas. Aku memang nggak, hmmm nggak bisa ngomongnya deh aku terharu," jawabku menutup wajah dengan kedua tangan.
"Ya peluk suaminya dong kalau terharu," ucapnya lalu memintaku memeluknya.
Kami kemudian berpelukan dan larut dalam suasana yang haru. Aku menangis antara senang dan sedih. Pikiranku teringat pada Ayah yang sedang sakit. Tapi di lain sisi juga aku bahagia karena diberikan kejutan okeg Mas Denis.
***
Rencana Mas Denis yang ingin memiliki rumah membuatku semakin bersemangat menjalin hubungan rumah tangga. Hari ini, kami sedang sama-sama libur dan bisa leluasa mencari rumah yang ada di daerah dekat kantorku. Ya, walaupun agak jauh dari kantor Mas Denis, aku tidak masalah.
"Mas, kita cari rumah tipe berapa?" tanyaku.
"Mama sudah menentukan, sayang. Jadi, kita tinggal cek saja kondisi dalamnya," jawab Mas Denis.
"Mama? Maksud kamu, Mama Amberly?" tanyaku terkejut mendengar pernyataan Mas Denis.
"Ya Mama yang mana lagi Dinda. Emangnya Mama kamu bisa diajak diskusi?" sahutnya seraya tersenyum sinis.
"Sejak kapan kamu diskusi sama Mama soal rumah? Bukannya kamu baru ngomong sama aku?" tanyaku mencecarnya.
"Ya sebelum kamu, aku ngomong dulu sama Mama."
Kesenangan dalam hatiku lenyap seketika. Kukira Mas Denis sudah benar-benar menghargaiku sebagai istrinya. Tapi ternyata pria yang kucintai ini tetap saja mengutamakan keluarganya. Hatiku rasanya sangat sakit menerima kenyataan ini.
"Kok, kamu diam sih? Kamu nggak senang ya?" tanya Mas Denis.
"Istri mana yang senang, jika posisinya di nomor duakan, Mas," jawabku sedikit ketus.
"Nomor dua gimana sih? Sudah kubelikan rumah saja seharusnya kamu bersyukur. Bukan malah seperti ini," kata Mas Denis.
"Ya aku juga bersyukur Mas. Tapi, wajar juga dong Mas. Kalau aku minta dihargai secara perasaan. Mas selalu bicara dan menawarkan sesuatu pada keluarga sendiri. Sementara aku?" Tidak sanggup lagi rasanya ku lanjutkan isi hatinya yang ingin meluap hari ini.
"Masalah kecil jangan dibesarkan. Kamu sedang sibuk di kantor. Mana ada waktu untuk ngobrol, harusnya kamu bersyukur dibantu Mama. Ya kalau tidak, nanti kita kelamaan cari rumah baru," kata Mas Denis.
Kuhela nafas dalam-dalam, rupanya Mas Denis tidak mengerti apa yang ku maksudkan. Baiklah, aku hanya tinggal diam sekarang. Di dalam hati, aku mengucapkan istighfar sebanyak mungkin. Demi meredakan hati yang saat ini dikuasai amarah.
Setelah perjalanan panjang mencari cluster rumah. Ternyata benar saja lokasinya dekat dengan kantorku. Kami berkeliling dari blok ke blok, suasana di sini lebih nyaman. Walau rumahnya tanpa pagar dan rapat dengan rumah satu dan lainnya.
Ternyata selera Mama cukup tinggi juga. Entah bagaimana nanti kehidupan kami. Jika pindah ke sini dan bertetangga dengan orang elit. Padahal, kondisi ekonomi keluarga kami saja belum begitu membaik.
"Ini dia rumahnya, kita sudah sampai," kata Mas Denis.
Mobil kami sudah parkir di sebuah rumah mewah dengan cat dominan orange. Di papan jalan tadi, kulihat rumahku ada di blok F nomor sembilan dan ada di jalan buntu. Hanya ada satu rumah disebelahku dengan warna cat hampir sama dan posisinya tepat menempel di tembok pembatas.
Di depan halaman rumah itu, terlihat seorang ibu-ibu yang sibuk dengan tanaman kuping gajah dengan berbagai jenis. Wanita itu sempat menoleh seraya menyunggingkan senyum ke arah kami. Aku membalas hal yang sama padanya. Sepertinya ibu itu akan menjadi teman yang asyik nantinya.
"Hallo selamat siang Pak Denis dan Bu Dinda." Seorang pria berpakaian rapi datang menghampiri dan menyalami kami.
"Hallo Revan, kok, telat datang sih," sahut Mas Denis memanggil nama pria itu.
"Maaf, Pak, biasa macet di jalan. Mari, kita masuk ke dalam dan melihat ruangannya," kata pria bernama Revan.
"Ayo sayang kita masuk." Mas Denis menggandeng tanganku dengan erat.
Mendapat sentuhan darinya yang begitu lembut dan tulus. Amarahku kembali luntur, kami pun masuk ke dalam rumah untuk melakukan room tour. Revan sepertinya memang sudah ahli dalam marketing perumahan.
Buktinya, dia bisa begitu menjelaskan pada kami. Bagaimana isi rumah, setiap ruangan dari mulai lantai bawah sampai atas dan menawarkan barang lainnya. Aku hanya diam mendengarkan Mas Denis dan Revan bicara.
Karena suasana rumah yang nyaman, itu jauh lebih membuatku tertarik. Dari lantai atas ke bawah, terlihat jelas pemandangan di sana. Karena hanya dihalangi kaca yang cukup tebal.
Cat yang ada di dalam rumah sangat kontras dengan yang ada di luar. Di dalam, nuansa putih mendominasi. Aku sangat menyukai rumah ini tanpa kecuali. Apalagi di belakangnya ada kolam renang mini. Tempat itu bisa digunakan untuk Kiara bermain.
"Sayang, apa kamu suka?" tanya Mas Denis sambil memelukku dari belakang.
Aku kaget karena di sana ada Revan. "Mas, malu ih lepasin," bisikku.