Sampai sore sikap Mama tetap saja ketus padaku. Namanya baru bertemu setelah sekian lama, rasanya tidak enak diberi sikap seperti itu oleh mertua. Akhirnya, aku mengalah dan mendatangi Mama di kamarnya. Saat itu Mama sedang menggendong Kiara, tapi ketika melihatku. Mama memberikan Kiara pada papa dan Papa keluar dari kamar.
"Ada apa kamu nyamperin Mama?" tanya Mama Amberly.
"Ma, maaf jika aku lancang. Aku hanya ingin bertanya. Sikap Mama beda sejak tadi pagi, apakah aku ada salah, Ma?" tanyaku ragu-ragu.
"Tidak," jawab Mama ketus.
"Kita baru bertemu setelah sekian lama. Jujur, Dinda merasa tidak enak jika suasana seperti ini, Ma," kataku.
"Perasaan kamu aja itu mah yang suka baper," jawabnya dengan santai.
"Ya sudah Ma, kalau memang tidak ada apa-apa. Aku lega Ma," ucapku tersenyum lebar.
"Mama cuman lagi bete aja. Karena kepikiran sama omongan warga komplek tadi," kata Mama Amberly.
Aku hanya diam saja tidak berani membantah. Sebab, jika aku angkat suara sekarang. mama akan lebih parah marahnya. Aku mengelus dada pelan, menahan rasa hati yang tidak karuan.
"Kalau dipikir Dinda, memang agak janggal. Mana bisa kamu menyembunyikan kehamilan selama sembilan bulan. Oke kalau misalkan Mama jauh, tapi orang-orang di sini juga nggak tahu kamu hamil ini. Ini sih aneh pake banget," kata Mama Amberly menebak-nebak.
"Ya maaf Ma, karena memang Dinda tidak pernah keluar dari rumah. Kalau Mama tidak percaya, silakan tanya pada Mas Denis langsung. Mas Denis yang minta aku buat nggak keluar dari rumah," jawabku berusaha menutupi rasa gugup yang mulai menyerang.
"Apa kalian mengadakan acara 4 dan 7 bulan ketika hamil? Kenapa Mama tidak dikirim fotonya?" cecarnya terus menyelidik.
Aku menghela napas sejenak sebelum menjawab. "Tidak Ma, karena Mas Denis yang tidak mau mengadakan acara seperti itu. Mama tahu bukan kalau Mas Denis tidak suka," jawabku beralasan sebisanya.
"Iya mama tahu kok, tapi enggak mungkin juga Dinda. Kalau Denis nggak mau, apalagi ini anak pertama kalian," bantah Mama Amberly menyangkal ucapanku.
"Ya sudah, nanti kita diskusikan saja dengan Mas Denis kalau memang Mama tidak percaya," kataku. Ya sengaja memang aku terus menyebut nama Mas Denis untuk membuat Mama diam tidak banyak bertanya.
"Oke, nanti malam kita sekeluarga aja ya biar enak," kata Mama Amberly.
"Baik Ma, tapi Mama lupa ya kalau Mas Denis sedang keluar kota. Nanti kita ngobrol ya, tunggu Mas Denis pulang," kataku.
Mama menganggukkan kepalanya, lalu aku keluar dari kamar. Hati rasanya gelisah seakan menunggu bom waktu yang akan meledak. Sampai kapan kami harus menutup rapat kebohongan ini. Aku sangat sadar suatu saat nanti, ini akan menjadi bumerang untuk kami .
Kali ini aku sangat berharap kalau Mas Denis tidak pulang dan terus ada di luar kota demi menghindari sidang keluarga. Setidaknya sampai Mas Denis punya jawaban, juga akta kelahiran dari Kiara sebagai bukti. Bahwa bocah itu secara resmi menjadi anak kami berdua, hanya harap pada Tuhan yang menyertai diriku semoga segalanya dilancarkan.
***
Beberapa hari berlalu, semua kesalahpahaman antara aku dan Mama Amberly sudah selesai. Saat Mas Denis pulang dari dinas dan memberikan akta kelahiran dari Kiara. Mama tersenyum senang, karena terbukti kalau Kiara adalah keturunannya. Ya aku sedikit lega walaupun masih deg-degan karena takut mama meminta hal lebih seperti tes DNA.
Saat ini kami sedang berada di kamar Mama. Semenjak kedatangannya ke rumah, Kiara terus dikuasai oleh Mama. Antara senang dan tidak, aku hanya bisa merasakan kebingungan. Senang karena Mama bisa dekat dengan Kiara, tidak senang karena Kiara terus dikuasai.
"Mama pengen banget deh jalan-jalan sama Kiara ke mall. Boleh nggak Dinda, Denis, kalau Mama pergi sama itu pengasuhnya?" tanya Mama Amberly.
"Boleh dong Ma, kenapa nggak sih? Mau jalan sama cucunya ini," sahut Mas Denis terlihat bahagia.
"Tapi Mama lagi nggak punya uang nih. Mama lagi bokek Denis," kata Mama seraya mengedipkan sebelah matanya pada Mas Denis.
"Ya udah nih, Denis transfer ya. Kemarin dapat bonus agak lumayan." Mas Denis mengetik di ponselnya. Aku tidak melihat berapa nominal, tapi cukup tau biasa Mas Denis memberikan uang dalam jumlah berapa.
"Oh udah masuk ya Denis. Terimakasih anak ganteng Mama," ucap Mama Amberly.
"Ya udah, kalau gitu Mama siap-siap. Nanti aku panggil Nita ya. Au sama Dinda ada perlu sebentar di kamar," pamit Mas Denis.
"Oke makasih anak mama yang ganteng," kata Mama Amberly.
"Mas, aku siapkan keperluan Kiara dulu ya," kataku sambil menyerahkan Kiara pada Mama.
"Nggak usah Dinda, biar Nita saja yang siapkan. Kamu layani saja suamimu," sahut Mama Amberly yang menjawab.
"Oh, ya sudah kalau begitu."
"Iya Dek, ayo kita ke kamar sekarang," ajak Mas Denis. Kami pun pergi dari kamar Kiara dan masuk ke kamar kami.
Aku pikir Mas Denis memintaku masuk ke kamar seperti biasa melayaninya sebagai istri. Tapi ternyata Mas Denis malah membuka lemari pakaian dan mengeluarkan sebuah koper kecil.
"Apa ini Mas?" tanyaku.
"Mas dapat rezeki sayang. Ini cukup untuk kita membeli sebuah apartemen atau mungkin rumah di tempat yang lebih luas lagi dari rumah ini," jawab Mas Denis.
"Apa? Beli rumah? Apa Mas tidak salah, memang rumah ini nggak cukup besar untuk kita bertiga, Mas?" Aku terhenyak mendengar perkataan Mas Denis.
Ada apa dengan Mas Denis yang tiba-tiba ingin pindah. Padahal rumah ini saja masih cukup luas untuk kami bertiga tinggal. Malah masih banyak ruangan kosong yang tidak terpakai. Baru juga punya gaji dan naik sedikit, Mas Denis sudah mulai bertingkah.
Rasanya hatiku jadi mulai takut, kenapa Mas Denis semakin berubah saja. Apa memang ini watak asli yang selama ini tersembunyi dari dirinya. Cukup lama aku terdiam sambil melihat Mas Denis menghitung uang.
"Denis!" Suara Mama mengejutkan kami, hingga kami menoleh serempak.
"Ada apa Ma?" tanya Mas Denis.
"Uangnya kurang deh, sepuluh juta mah cuma buat Kiara," kata Mama Amberly sambil tersenyum lebar.
Astaga! Masa sepuluh juta tidak cukup, Mama mau belanja apa sih pikirku.
"Oh, ya udah Ma. Nanti Denis kirimkan lagi," kata Mas Denis.
"Makasih lagi sayang," ucap Mama Amberly.
"Sama-sama Mama sayang," jawab Mas Denis.
Di saat bersamaan, ponselku menerima sebuah pesan. Kulihat pesan itu dari Audrey, adik bungsuku yang saat ini akan lepas dari bangku SMA. Saat ku buka pesan, Audrey mengatakan kalau Ayah sedang sakit dan butuh biaya banyak.
[Ya udah, nanti Mbak bilang dulu sama Mas Denis.] Jawabku.
Mas Denis sedang banyak uang, jadi kupikir akan mudah mengirimkan uang untuk berobat Ayah.