"Waalaikumsalam Mas," jawabku seraya mencium tangan Mas Denis dengan khidmat.
"Kok, pertanyaan Mas, nggak dijawab sih?" Dahi Mas Denis berkerut.
"O yah, maaf Mas. Itu Sonia lagi beli obat buat Kiara."
"Apa? Sonia pergi keluar rumah malam-malam?" pekik Mas Denis, matanya berpendar ke garasi." Pakai motor? Dia tidak naik mobil? Kamu gila ya dek!" sambungnya.
"Ya maaf Mas, aku nggak maksa dia. Tapi Sonia yang mau belikan," kataku.
"Ya kenapa nggak kamu yang keluar aja. Kok kamu tega sih sama adikku, kalau nanti dia kenapa-napa di luar gimana? Dia pakai motor pula." Raut wajah Mas Denis nampak khawatir.
"Aku sudah suruh dia pakai mobil, tapi Sonia nggak mau malah tetep pakai motor."
"Banyak alasan banget ya kamu nyalahin adikku! Anak perempuan dibiarin tengah malam keluar rumah. Nggak punya perasaan kamu." Mas Denis terlihat marah padaku, suaranya sedikit ia tekan.
Kuhela nafas dalam-dalam dan tidak bisa menjawab perkataan suamiku mau bagaimana lagi. Mas Denis jika sedang begini juga keras kepalanya kumat. Tidak ada jalan lain, selain sabar dan mengalah ketika dia marah.
"Sekarang di mana Sonia, Dek? Beli obat ke mana?" tanya Mas Denis.
"Aku tidak tahu, Mas. Tadi, aku hanya memintanya membelikan obat untuk Kiara di apotek depan komplek. Tapi sudah sudah jam Sonia masih belum kembali," jawabku.
Plaak!
Mas Denis tiba-tiba melayangkan tamparan, tepat mengenai pipi kananku. Demi apapun aku sangat terkejut dengan tindakan Mas Denis. Aku merasa tidak bersalah ingin melawan, tapi mas Denis saat ini sedang emosi. Priia itu mengatakan jika terjadi apa-apa pada adiknya, maka dia akan memulangkan diriku kepada orang tuaku.
"Mas, jangan membicarakan itu nanti jatuhnya talak, Mas," kataku memperingatkan.
"Banyak omong kamu! Sekarang juga, kamu yang keluar cari Sonia!" serunya.
"Tapi Kiara gimana Mas?" tanyaku.
"Biar aku yang ngurus, kamu sekarang cari Sonia sampai dia ketemu. Sebelum dia ketemu, kamu tidak boleh pulang," tegasnya.
Rasanya hatiku sakit mendengar perintah Mas Denis, ini sungguh tidak adil. Setelah berkata demikian, Mas Denis masuk begitu saja ke dalam rumah. Dia melemparkan kunci mobil dari depan pintu kepadaku seperti menyuruh seorang pelayan. Rasanya menjadi pelayar saja tidak sehina ini, apalagi Aku istrinya yang patut untuk diperlakukan dengan baik. Tidak ada pilihan lagi selain harus mencari Sonia sekarang. Walau hati Masih kepikiran Kiara yang sedang sakit dan terdengar menangis di kamarnya.
Aku mau memakai mobil Mas Denis untuk bisa mencari Sonia. Apotek yang aku suruh ternyata sudah tutup, mungkin ini alasannya kenapa Sonia belum pulang. Akhirnya aku terus menyusuri jalanan, menemukan Apotek selanjutnya tapi Sonia tidak ada di sana. Tiba-tiba aku ingat kalau Sonia mengatakan dia akan mencari makan malam.
Sambil berjalan pulang, aku menatap sepanjang jalan. Takut jika ada satu senti jalan yang terlewatkan. Namun emosiku bergejolak seketika, saat melihat Sonia malah duduk nongkrong sambil tertawa dengan dua orang pria di dekat abang tukang nasi goreng. Aku tidak turun dari mobil dan hanya membuka jendela, aku tatap tajam gadis itu. Tapi sepertinya Sonia memang tidak merasa bersalah, buktinya dia tetap saja santai.
Aku pergi dari sana dan memutuskan kembali ke rumah. Kulihat, dibelakang Sonia mengejar. Ketika semakin dekat dengan mobilku. Sonia menepuk kaca mobil memintaku untuk berhenti akhirnya aku pun harus berhenti. Sonia tidak turun dari motornya, terpaksa aku menariknya ke pinggir jalan karena bahaya.
"Kamu gila ya Sonia, tindakan kamu itu membahayakan orang lain!" seruku menegurnya keras.
"Kenapa Mbak bikin aku malu sihh? Aku masih mau main, lagian nanti juga aku bakalan pulang," jawab Sonia.
"Ya kamu gimana Dek, aku minta tolong belikan obat untuk Kiara. Tadi kamu bilang aku nggak bisa ngurus anak, tapi kamu suruh beli obatnya aja kamu nggak mau."
"Ya aku lupa," jawabnya dengan santai seakan merasa tidak bersalah.
"Lupa kamu bilang Dek? Di sana keponakanmu sedang sakit dan kamu bilang lupa? Terus kamu nongkrong sama dua cowok di sini, kamu pikir Kalau Mas Denis tahu bagaimana?"
"Berani aja Mbak bilang sama Mas Denis. Ya lihat aja badai yang akan aku ciptakan dalam rumah tangga kalian," kata Sonia menjawab.
Aku sangat marah, bagaimana bisa Sonia yang selalu terlihat baik di depan orang tua dan keluarganya. Tapi dibelakang kelakuannya sangat jahat, entah karena aku atau dia yang memang berwatak seperti itu. Aku menghela nafas panjang, membuang sesak yang menyesakkan dada.
Ya, aku memahami Sonia masih dalam masa pencarian jati diri. Tapi bukankah wajar jika aku pun kadang merasa kesal dengan sikap lancang dan beraninya mulut Sonia ketika berkata.
"Pulang sekarang Dek, karena Mas Denis sudah ada di rumah," kataku lalu berjalan ke mobil.
"Oke, aku pulang sekarang. Tapi Mbak Dinda jangan katakan apapun sama Mas Denis tentang apa yang dilihat tadi," ucapnya.
Bola mataku berputar malas, tidak ada pilihan selain setuju. Karena jalanan semakin sepi dan itu membuat bulu kudukku merinding, jam segini sangat rawan untuk kejahatan. Akhirnya kami berdua segera pulang ke rumah, setelah membeli obat panas untuk Kiara.
***
Hari ini kami bersiap menyambut Mama dan Papa yang baru pulang dari luar negeri. Setelah satu tahun setengah mereka ada di sana. Aku tidak menyiapkan sesuatu yang khusus, karena memang mereka bukan mertua yang terlibat matre. Suamiku sangat bahagia, begitu juga Sonia, namun yang aneh kenapa Nita juga terlihat ikut bahagia, seolah ingin menyambut kedatangan mertuanya.
Sejak tadi aku mendengar, kalau wanita itu terus bicara sangat akrab dengan Sonia maupun Mas Denis. Di sini aku seperti dianggap tidak ada, karena mereka tidak melibatkan ku dalam topik obrolan yang diciptakan. Aku hanya bermain dengan Kiara berdua saja, sebelum mereka datang. Aku sudah memandikan Kiara terlebih dulu.
"Aduh sayang anak bunda. Kamu cantik sekali," kataku memuji penampilan Kiara yang comel.
"Ya cantik dong anak Papanya. Kiara Mirip banget kan sama Papa," kata Mas Denis.
"Mana ada anak cewek mirip bapaknya, Mas. Sudah pasti mirip ibunya lah," kataku tidak terima.
"Ada kok, banyak yang mirip sama ayahnya. Kiara itu anakku ya." Mas Denis bersikeras.
Perkataan Mas Denis begitu tajam. Iya walaupun aku tahu itu hanya nada candaan. Tapi tetap saja rasanya hati ini tertusuk belati. Saat kami tengah berdebat tentang Kiara mirip siapa, bel rumah berbunyi yaitu mama dan papa dari luar Negeri sudah datang. Kami pun beranjak menyambut mereka dan keduanya langsung memeluk hangat anak-anaknya.