Chereads / Bayi di Depan Rumahku / Chapter 14 - 14. Tergantikan

Chapter 14 - 14. Tergantikan

"Apa kabar, Ma, Pah?" tanyaku pada keduanya. Ku cium punggung tangan mereka secara bergantian lalu memeluk erat Mama mertua.

"Makasih lho ya Dinda, kamu udah kasih Mama cucu. Senang banget deh, cucu Mama cantik pula. Hmm kayak siapa ya Pah?" Mama mertua melirik pada Papa mertua.

"Ya jelas mirip Mamanya lah. Mana mungkin Papanya," jawab Papa mertua.

"Yah, Papa jangan bilang gitu dong. Nanti Dinda makin seneng," protes Mas Denis.

"Sudah, ayo masuk saja. Kita capek ni,h masa mau debat masalah anak diluar," kata Mama mertua.

"Maaf ya Ma, karena tadi sebelum kalian datang. Kami juga debat hal yang sama, Kiara lebih mirip siapa," jawabku.

"Yang mirip siapa aja, yang penting anak kalian. Bukan anak adopsi atau anak pungut," sahut Mama mertua.

Jleb! Hatiku langsung tersindir mendengar perkataan Mama, karena Kenyataannya memang Kiara hanya anak yang kami temukan di depan rumah. Kami semua masuk ke dalam rumah, sementara aku sibuk menata barang Mama. Wanita itu sibuk bermain dengan Kiara, bocah mungil itu mendadak jadi pusat perhatian semua orang.

Usai makan malam, Mama mertua memberikanku satu hadiah gendongan dengan harga yang cukup fantastis mahal. Itu terlihat dari bandrol yang masih menempel di sana, untuk ukuranku yang masih belajar rumah tangga, uang sebanyak ini sangat disayangkan. Tapi begitulah Mama mertua, memang orangnya Royal soal membeli barang brandid.

Sejak kedatangan mereka tadi, Kiara tidak pernah lepas dari gendongan Mama dan Papa. Aku senang tapi sekaligus sedih, karena tak bisa ku tampik di dalam hati. Ada rasa iri pada Kiara, kenapa dia dengan cepat menjadi dunia bagi mereka. Yang biasanya Mama akan bercengkrama denganku melepas rindu. Ah, ibu macam apa aku ini, kenapa cemburu pada anak sendiri.

"Dek, Mas mau ngomong sebentar." Mas Denis memanggilku dari ambang pintu.

Ya, saat ini aku sedang ada di kamar Mama dan Papa. Menemani Kiara yang sedang bermain.

"Ada apa Mas?" tanyaku.

"Kita keluar sebentar yuk, enggak enak kalau ngomong di sini. Ada Mama sama Papa," jawab Mas Denis

seraya melirik kedua orang tuanya.

"Tapi, mereka baru datang kan, nggak enak Mas. Masa udah ditinggal aja," kataku.

"Nggak apa-apa, cuman sebentar kok," kata Mas Denis.

"Den, pulangnya bawa martabak ya," kata Papa mertua.

"Ok Bos," jawab Mas Denis mengacungkan jempolnya.

Karena Mas Denis memaksa, aku pun menuruti permintaannya setelah pamitan kepada keduanya. Akhirnya kami jalan keluar rumah. Entah akan kemana pria itu membawaku, sepanjang jalan Mas Denis hanya diam. Tidak seperti apa yang diucapkannya tadi, aku pun memberanikan diri bertanya.

"Ada apa sih Mas, kok kayaknya penting banget," tanyaku.

"Ada yang harus aku omongin dengan kamu mengenai Kiara," jawabnya.

"Kamu takut mama papa nanya soal kehamilanku yang selama ini dirahasiakan?" Ku lirik Mas Denis yang sedang fokus menyetir.

"Ya salah satunya itu, jujur belakangan ini aku Sedang muak dengan segala tingkah lakumu Dinda. Jadi, aku harap kamu tidak membuat masalah, selama ada orang tuaku di rumah," kata Mas Denis dengan nada menekan.

"Maaf ya Mas, kenapa belakangan ini kayaknya Mas berubah sama aku. Terus Mas juga sering banget nyalahin aku. Jujur ya Mas, aku juga tersinggung lama-lama, kalau kamu giniin terus."

"Namanya juga perempuan, selalu main perasaan. Beda sama kami pria yang main logika," jawabnya mulai tidak nyambung.

"Ya tapi hubungannya. Kenapa kamu belakangan ini egois sekali sih, kamu tahu enggak secara tidak langsung. Kamu itu sedang menekanku, Mas!" seruku.

"Ya aku tidak peduli, pokoknya kamu harus menjadi istri yang sempurna di depan orang tuaku. Mengurus rumah tangga, sekaligus berkarir itu harus kamu jalankan setiap harinya," tukasnya.

"Oke, kalau memang itu permintaan kamu. Tapi Mas, kalau ada kekuranganku, tolong jangan cela aku di depan orang lain. Cukup kita berdua duduk dan bicara!"

"Aku tidak pernah mencela apapun dari diri kamu. Tapi kadang kamu sendiri yang merasa seperti itu," jawabnya enteng.

Kuhela nafas panjang, sudah cukup perkataannya tidak akan bisa dibantah. Kami mampir sebentar di sebuah kafe dan menghabiskan secangkir kopi, lalu membeli martabak pesanan Papa. Kami pun pulang ke rumah, ternyata Kiara sudah tidur disampingnya Mama yang juga ikut tertidur pulas. Begitu juga dengan Papa yang berbaring di samping Kiara. Hatiku sangat bahagia dan tersenyum lebar, karena melihat kasih sayang yang besar untuk Kiara dari mereka, anak itu memang beruntung berada di keluarga yang sangat baik.

***

Pagi hari sesuai permintaan Mas Denis, aku langsung bangun dan menyiapkan sarapan untuk Mama dan Papa. Namun, beberapa bahan makanan ternyata sudah habis, jadi aku membuat sarapan seadanya saja. Sebab, jika menunggu Mang sayur lewat, itu memakan waktu cukup lama.

"Dinda, kenapa kamu cuman masa ini? Apa Denis kurang ngasih uang belanja?" tanya Mama mertua langsung menegurku yang masih berkutat di dapur. Matanya berpendar menatap satu persatu bahan masakan.

"Nggak Ma, bukan gitu kok. Ini stok sayuran habis, jadi aku belum ke pasar untuk belanja," jawabku.

"Oalah, Mama kira Denis belum ngasih uang atau kamu kekurangan hidup sama anakku."

"Tidak Mama sayang, aku tercukupi oleh Mas Denis," jawabku menahan getir di dalam hati.

"Ya, Mama tahu dong anak Mama itu tanggung jawab dan sangat baik. Tidak akan pernah menelantarkan atau menyakiti kamu lahir ataupun batin. Karena Mama mendidik Denis dengan sangat baik, sempurna, penuh kasih sayang," ucap Mama mertua.

Aku hanya bisa tersenyum getir mendengar pujian Mama. Mungkin jika secara materi Mas Denis mampu menafkahiku. Namun untuk keadilan batin, iya pria itu masih sangat banyak kekurangan. Sepanjang menyiapkan makanan Mama mertua mengkritik segala cara kerjaku, hingga membuat kepala ini terasa pusing. Tapi sebagai anak yang baik, aku menganggap bahwa apa yang dilakukan Mama adalah kasih sayang.

Semua hidangan kuperiksa yang sudah ada di meja, di sana berjajar rapi omelet telur dan nasi goreng juga nasi mandi yang Mama bawa dalam bentuk instan. Tidak lupa aku menyiapkan roti bakar dan teh tarik kesukaan Mas Denis, karena biasanya suamiku itu tidak makan berat untuk pagi hari.

Semua orang sudah berkumpul di meja makan, hari ini Mas Denis terlihat ganteng dan rapi wangi sekali. Aroma parfumnya sampai menusuk indera penciumanku. Karena ada Papa mertua, jadi Mas Denis memberikan singgasananya. Sonia melirikku terus, seakan mengintimidasi untuk tidak macam-macam padanya. Tapi biar sajalah, urusan Sonia hanya debu kecil yang tak perlu dikhawatirkan.

"Enak masakan kamu Dinda, nggak salah Papa milih kamu jadi menantu," kata Papa mertua.

"Enak gimana sih, Pa. Biasa aja kali," sahut Sonia. Matanya menatap tajam padaku.