Tiga hari Sonia tinggal di sini, rasanya hidupku seperti di neraka. Setiap saat ada saja omongan dari gadis itu yang mencela tentang perilaku sebagai tuan rumah. Kadang dia mencela cara mengasuh Kiara, kadang masakanku yang katanya tidak enak dan ada saja sampai urusan dapur urusan rumah segalanya dikomentari oleh Sonia.
Mas Denis semakin sibuk saja dengan pekerjaan di kantor, sampai dia tidak ada waktu untuk bersama kami. Kadang dia pulang tengah malam, bahkan malam ini dia tidak pulang sama sekali. Sebagai istri yang baik, ak berusaha mengerti pekerjaannya. Aku memberikan makanan dan suplemen yang dikirimkan melalui ojek online untuk nya, supaya Mas Denis tetap sehat.
Walau tidak dapat ucapan terima kasih sebagai tanda apresiasi, aku tidak masalah dan membiarkan Mas Denis sibuk sendiri. Malam ini Kiara sedikit rewel, saat aku periksa ternyata Kiara demam. Aku bingung harus bagaimana, karena Mas Denis tidak ada di rumah.
"Bu, Dede panas banget, gimana Ini," kata Nita.
"Saya juga bingung, ini kalau mau keluar rumah harus izin Mas Denis. Dari tadi Mas Denis nggak bisa dihubungin. Kenapa ya ampun." Aku melihat ke layar ponsel, tapi Mas Denis masih saja terlihat tidak aktif.
"Apa pekerjaan bapak sampai sebanyak itu ya Bu? S tengah malam begini belum pulang juga," kata Nita.
"Mungkin sih Nit, karena tender juga lagi naik biasanya," jawabku berbohong.
"Aneh aja sih Bu, justru biasanya kan, orang kaya gitu lebih ngandelin karyawan daripada bosnya langsung."
Lagi lagi apa yang diucapkan oleh Nita benar, mana mungkin Mas Denis terus lembur selama tiga hari. Bahkan tidak pulang, apa sepenting itu proyeknya. Kalau mungkin ke luar kota, itu lebih jelas karena ada banyak temannya yang pasti ikut. Aku juga bisa memantau kegiatan Mas Denis melalui status WhatsApp yang di-upload oleh teman-temannya ketika berkegiatan.
"Bu, beli obat pertolongan pertama saja, kalau tidak salah Paracetamol," kata Nita.
"Benarkah? Apa itu tidak berbahaya untuk anak-anak? Maksudku kan, Kiara masih bayi NIt," tanyaku.
"Biasanya sih seperti itu Bu, ada dosisnya itu di kertas," jawab Nita.
"Ya kamu benar juga sih. Bentar ya saya minta keluar dulu."
"Ada adik iparnya Bu, kalau misalkan tidak bisa keluar atau saya saja Bu," kata Nita menawarkan jasanya.
"Oh, iya juga ya ada Sonia. Ya sudah aku ke kamarnya dulu," jawabku lalu keluar dari kamar Kiara.
Sesuai saran Nita, aku beranjak ke kamar Sonia. Kulihat lampu kamarnya masih menyala dan berpikir bahwa Sonia masih bangun. Akhirnya aku mengetuk pintu, namun tidak ada jawaban dari dalam. Lima menit menunggu, Sonia masih tidak merespon. Aku terpaksa membuka pintu dan ternyata tidak dikunci.
"Astaga! Mbak Dinda ngapain tiba-tiba masuk! Aku kan jadi kaget!" seru Sonia sambil menutupi tubuhnya.
"Astaghfirullahaladzim." Aku membalikkan badan dan membiarkan Sonia merapikan diri.
Saat aku masuk, kulihat Sonia sedang memakai pakaian seksi. Namun bukan karena pakaiannya yang aku permasalahkan, tapi apa yang dia lakukan tadi sungguh mengejutkan.
"Bukan urusan kamu Mbak. Untuk apa kamu bertanya, Ini kamarku dari privasiku," jawabnya. Sonia turun dari ranjang setelah pakaiannya rapi.
"Maaf kalau mbak mengganggu, tapi Mbak butuh bantuan kamu."
"Bantuan apa sih?" tanya Sonia.
"Kiara panas Dek, bisa tolong antar Mbak ke dokter atau belikan Paracetamol untuk menurunkan panasnya?"
"GItu aja kan bisa ketuk pintu dulu, kenapa sih Mbak malah main masuk aja. Itu nggak sopan tahu," kata Sonia.
"Mbak tadi sudah ketuk pintu, tapi kamu tidak dengar. Ya Maaf, terpaksa harus masuk dengan cara seperti ini," jelasku menahan kesal.
"Lagian jadi ibu nggak becus banget sih Mbak. Sampai anaknya sakit begitu, Kiara panas pasti gara-gara Mbak. Jarang ngasih hadia, Mbak sibuk banget di kantor sampai lupa sama anak," ucap Sonia, ia mengambil jaketnya.
Ya Tuhan, kenapa disaat seperti ini Sonia masih saja tidak mengerti. Ibu mana yang tega melihat anak kesakitan. Omongan Sonia memang tidak nyambung, tapi menyakitkan hati. Rasanya ku menyesal telah mendatangi kamar Sonia dan meminta bantuan padanya.
"Ya sudah, maaf kalau memang kamu tidak mau membelikan obat untuk Kiara. Biar Mbak saja yang keluar rumah," kataku, siap berbalik meninggalkan kamar Sonia.
"Siapa bilang nggak mau, aku kan nggak nolak juga. Ya udah sini duitnya mana," kata Sonia sambil berdiri dan menengadahkan tangan.
Kuberikan uang selembar Rp50.000 yang ada di saku. Tapi dia meminta lebih, katanya untuk beli makanan di jalan. Karena sangat tertolong dengan kebaikannya, aku tidak masalah memberikan satu lembar lagi uang Rp50.000 lagi. Ttapi ternyata itu masih kurang, Sonia masih saja meminta hingga jumlah uang yang dipegang nya ada Rp200.000.
"Makanya Mbak, kalau jadi istri itu yang becus. Jangan cuman kejar karir di kantor. Tapi urusan rumah tangga juga diurusin ya," kata Sonia.
Hatiku panas dan marah, tapi aku tidak bisa berbuat apapun, karena jika sepatah kata saja keluar dari mulut untuk menegur. Gadis ini akan membuat drama kepada Mas Denis dan aku cukup lelah menghadapi hari ini.
"Iya mbak akan lebih baik mengurus rumah tangga," jawabku.
"Ya udah, aku jalan dulu. Tapi aku pakai motor, aku nggak mau naik mobil."
"Loh jangan Sonia, kamu kan bisa pakai mobil. Bahaya lah malam-malam pakai motor," kataku.
"Wah Mbak Dinda lebay, orang aku udah biasa sendiri kok naik motor malam-malam. Dh ya ini mau beli obat anakmu nggak?" kata Sonia dengan ada sengak.
"Tapi nanti kalau kamu kenapa-napa. Aku disalahin sama Mas Denis," kataku tak enak hati.
"Ya belum jalan aja udah didoain gak bener. Gimana nanti di jalan," jawab Sonia. Gadis itu tidak mengindahkan perkataan ko dan tetap pergi memakai motor meninggalkan rumah.
Aku sangat khawatir karena takutnya apa yang dipikirkan terjadi. Bukan mau sok tahu atau mendahului Tuhan. Tapi ketika melihat sikon tengah malam, di daerah sini itu sangat tidak baik untuk anak perempuan keluar rumah memakai motor. Tapi karena Sonia bersikeras, ya sudah aku pun tidak dapat melarangnya daripada tidak ada orang yang mau membeli obat.
Satu jam berlalu, Sonia masih belum kembali. Aku mulai khawatir. karena jarak Apotek ke rumah itu tidak terlalu jauh. Entah ke mana gadis itu pergi, aku mencoba meneleponnya. Tapi ponsel Sonia tertinggal di dalam kamar, tidak lama kemudian Mas Denis pulang. Hatiku mulai gelisah, apalagi jika Mas Deni sudah melihat motor Sonia tidak ada di depan garasi.
"Assalamualaikum Dek, kok kamu belum tidur?" sapa Mas Denis begitu turun dari mobil dinasnya.