Chereads / Sahabatku Mencintai Kekasihku / Chapter 13 - Bab 13 Kecelakaan

Chapter 13 - Bab 13 Kecelakaan

Aku dan Nada bergegas menyusul Dion yang memberi kabar bahwa Andra mengalami kecelakaan. Aku menangis di tengah jalan, sementara Nada mencoba menangkanku. "Sabar, Nad. Semua pasti akan baik-baik saja. Kita bantu doa ya. Kamu tenang dulu, jangan menangis terus."

"Bagaimana bisa tenang, Nad. Dion bilang Andra masuk ICU, berarti kecelakaan yang dialaminya sangatlah parah," ungkapku khawatir.

"Iya, setidaknya dia sudah mendapat penanganan dari para ahli," kata Nada.

"Semoga dia segera baikan dan pulih kembali," harapku dengan penuh cemas. Akhirnya Aku dan Nada tiba di RS Kasih Hati. Dion telah menunggu kedatangan kami. Dia menjelaskan kronologi kejadian bagaimana Andra kecelakaan.

"Andra tadi mengantarku beli kopi. Dia menunggu di pinggir jalan karena aku pesan take away. Tiba-tiba selang beberapa saat setelah Aku masuk ke dalam kafe, ada suara brak …, Ketika kutoleh, ternyata Andra sudah tidak ada di posisi semula. Dia terseret sampai sekitar 10 meter bersama motornya. Dan parahnya lagi, yang menabraknya kabur," cerita Dion.

Tangisanku semakin keras, sampai nafasku terengah-engah. "Sabar, Yum!" ucap Nada sambil mengelus punggungku. Tak lama setelah mendengar cerita dari Dion, ponselku berdering. "Halo, Assalamu'alaikum. Maaf ini siapa ya?" tanyaku pada nomor yang tidak kukenal itu.

"Tanpa memperkenalkan siapa Saya, Kamu pasti mengenal suara Saya," jawab orang yang meneleponku tersebut. Aku langsung mengenali suara itu. Kalau dugaanku benar, itu adalah suara om Danu.

"Om Danu?" jawabku.

"Benar! Aku Danu, papanya Dito, suami dari Lidya. Apa yang terjadi dengan temanmu hari ini, hanyalah sebuah peringatan dariku. Agar Kamu tidak berani lagi mencampuri urusan keluargaku!" ancamnya.

"Maksudnya, Andra berada di ICU sekarang gara-gara ulah, Om?" tanyaku kaget.

"Hahaha … nah, itu pintar. Jadi kalau Kamu memang pintar, jangan sekali-kali mengulangi kesalahanmu lagi dengan ikut campur ke dalam urusan keluargaku. Urusanku dengan Lidya, juga Isabela. Ingat itu baik-baik!" Om Danu mengancamku lagi.

Aku tidak habis pikir, mengapa om Danu dan Isabela berpikir tante Lidya tahu tentang hubungan mereka dariku. Padahal tante Lidya tahu sendiri tentang hubungan gelap mereka. Sampai-sampai Andra pun jadi kena getahnya. "Maafkan Aku, Ndra," tangisku dalam hati.

Aku tidak akan lagi berurusan dengan mereka. Meskipun aku kasihan dengan tante Lidya, tapi aku tidak ingin membahayakan orang-orang terdekatku lagi gara-gara masalah ini. "Dito, kapan Kamu kembali ke sini? Kelakuan papamu sudah separah ini. Kamu harus menjaga dan melindungi mamamu," ungkapku dalam hati.

"Dito … Nada … kalian pulang saja. Biar Aku saja yang menunggu Andra di sini," pintaku pada mereka.

"Enggaklah Yum, Aku akan menemanimu di sini," jawab Nada.

"Jangan, Kamu pulang saja dengan Dion. Besok saja kita gantian. Kalau kelas kalian sudah selesai, kalian susul Aku ke sini," balasku.

"Kamu yakin enggak apa-apa sendirian?" tanya Nada khawatir.

"Iya, enggak apa-apa kok. Aku sudah mulai tenang sekarang. Sembari menunggu keluarga Andra sampai sini, biar Aku saja yang menjaganya dari luar," jelasku.

Dion dan Nada sudah pulang, akhirnya tinggal aku sendiri yang menunggu Andra sadar. Aku sangat merasa bersalah padanya, jadi aku pikir untuk biaya rumah sakitnya, aku yang akan bayar. Tapi dari mana aku bisa mendapat uang sebanyak itu.

Setelah berpikir sejenak, aku teringat Sintia. Dia satu-satunya orang yang bisa menolongku saat ini. "Halo Sin, Kamu lagi sibuk, enggak?" tanyaku memastikan.

"Enggak juga, memangnya kenapa Yum?" tanya Sintia.

"Maaf mengganggumu malam-malam begini. Jadi, sekarang Andra lagi di ICU dan aku butuh banget uang untuk biaya rumah sakitnya." Aku mencoba mengutarakan maksudku pada Sintia.

"Hah, ICU? Memangnya dia kenpa? Tadi sore sepertinya dia masih baik-baik saja di telepon," kata Sintia terkejut.

"Iya, dia kecelakaan malam ini," jawabku.

"Aduh … ada-ada saja. Jadi Kamu butuh berapa? Tapi tunggu dulu … kenapa harus Kamu yang membayar biaya rumah sakitnya?" tanya Sintia heran.

"Panjang ceritanya. Nanti kalau ketemu Aku ceritain ya, Sin. Sementara Aku minta tolong Kamu transfer uang ke rekeningku ya," pintaku.

"Oke, rekening biasanya, kan?" tanya Sintia.

"Iya, kabarin ya kalau sudah transfer," pintaku.

"Siap! Tapi bukannya bisa pakai asuransi ya? Coba tanya dulu saja ke pihak rumah sakitnya, siapa tahu kan bisa pakai asuransi. Dan pastikan juga Andra punya asuransinya. Lumayan kan bisa mengurangi biaya perawatan. Tapi Aku akan tetap transfer kok, tenang saja." Sintia mengingatkanku.

"Oh iya juga ya. Gara-gara panik, aku sampai kelupaan. Terima kasih Sin, sudah mengingatkan," ucapku.

"Mau Aku transfer berapa? Rp 20.000.000,00 cukup? Rp 10.000.000,00 dulu saja, Sin. Nanti kalau kurang, Aku kabari lagi ya," jawabku.

"Baiklah, kalau butuh apa-apa lagi bilang ya, Yum. Tidak perlu sungkan," pinta Sintia.

"Baik, Ibu Suri," candaku.

Orang tua Andra masih dalam perjalanan. Dion bilang, dia sudah menghubungi keluarga Andra. Namun karena keluarganya berasal dari luar kota, jadi membutuhkan waktu yang cukup lama hingga bisa sampai ke Bandung. Kemungkinan besok pagi mereka baru sampai.

Aku tidak akan kuat menjelaskan kenyataan bahwa anak mereka kecelakaan dan masuk ICU gara-gara terlibat masalahku. Cukup aku saja yang mengetahui semua itu. Dan pelan-pelan, aku akan memperbaiki keadaan yang mulai kacau ini.

Lagi-lagi aku berharap saat ini, Dito ada bersamaku. Padahal Andra sedang berbaring lemah di ruang ICU, tapi aku malah memikirkan laki-laki lain. Bahkan dia berbaring lemah gara-gara terlibat masalahku.

"Teh, bangun. Sudah pagi," kata petugas kebersihan yang sedang membangunkanku. Ternyata Aku ketiduran semalaman menunggu Andra dari luar ruang ICU. Aku tersadar dan buru-buru memastikan keadaan terbaru Andra.

"Pasien atas nama Andra sudah melewati masa kritisnya," jelas dokter Andra yang baru saja selesai berkunjung ke ruangan.

"Alhamdulillah … terima kasih, Dok," ucapku.

"Kami akan segera memindahkan pasien ke ruang rawat inap, jadi mohon Ibu bersiap-siap," pesan dokter Andra padaku.

Mendengar pesan dokter tersebut, aku buru-buru menghubungi Dion untuk memintanya membawa pakaian dan perlengkapan yang sekiranya dibutuhkan Andra selama di rawat di rumah sakit. Siang setelah selesai kelas, dia akan menyusulku bersama Nada ke rumah sakit. Aku juga menghubungi Nada untuk membawakanku pakaian dan alat mandi agar bisa membersihkan diri selama di rumah sakit.

"Di mana ruang anakku, Andra?" tanya salah satu pengunjung yang terdengar sampai ke depan ruang ICU tempatku menunggu Andra. Firasatku mengatakan, itu adalah orang tua Andra.

"Nak, Kamu teman Andra, anak kami?" tanya Ibu Andra padaku dengan penuh uraian air mata.

"Benar, Tan," jawabku lemas tidak mampu menatap wajah Ibu Andra dengan penuh rasa bersalah.

"Bagaimana keadaan anakku?" tanyanya padaku.

"Alhamdulillah sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat inap. Namun ruangannya masih dipersiapkan, jadi Saya diminta menunggu dulu, Tante," jelasku kepada Andra yang terlihat sangat khawatir.

"Terima kasih ya, Nak. Sudah mau menjaga anak kami," ucap Ibu Andra.

"Sama-sama, Tante. Tidak perlu sungkan. Sudah semestinya Saya berada di sini, terlebih Andra jauh dari keluarga," jelasku.

Rasa bersalahku semakin memuncak, melihat air mata Ibu Andra yang tak berhenti mengalir. Aku hanya bisa memeluknya sambil berkata dalam hati, "Maafkan Saya, Tante. Gara-gara Saya, anak Tante tergeletak lemah di ruang ICU. Bahkan Om dan Tante sampai jauh-jauh datang dari Yogyakarta ke Bandung untuk melihat langsung keadaan Andra saat ini."