Ara sedang tes ujian yaitu Surah Al-mulk berhadapan dengan Ustadz Arifin, ditengah hafalannya Ustad Arifin selalu membenarkan lafadz yang salah diucapkan. Ara selalu bikin kesal jika sedang melafalkan ayat, Ustadz Arifin menghentikan.
"Is, Ustadz jangan dipotong dong 'kan jadi lupa lagi," rengeknya.
"Masa kamu salah gak dibenerin, banyak pengucapan kamu yang salah makanya saya benerin, lanjut!"
"25. وَيَقُولُونَ مَتَىٰ هَٰذَا ٱلۡوَعۡدُ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ
Wa yaquuluuna mataa haadzaal wa'du in kuntum shaadiqiin(a)
26. قُلۡ إِنَّمَا ٱلۡعِلۡمُ عِندَ ٱللَّهِ وَإِنَّمَآ أَنَا۠ نَذِيرٌ مُّبِينٌ
Qul innamaal 'ilmu 'indallahi wa innamaa anaa nadziirun mubiin(un)
27. فَلَمَّا رَأَوۡهُ زُلۡفَةٗ سِيَٓٔتۡ وُجُوهُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ وَقِيلَ هَٰذَا ٱلَّذِي كُنتُم بِهِۦ تَدَّعُونَ
Falammaa ra-auhu zulfatan sii-at wujuuhul ladziina kafaruu waqiila haadzaal ladzii kuntum bihii tadda'uun(a)
28. قُلۡ أَرَءَيۡتُمۡ إِنۡ أَهۡلَكَنِيَ ٱللَّهُ وَمَن مَّعِيَ أَوۡ رَحِمَنَا فَمَن يُجِيرُ ٱلۡكَٰفِرِينَ مِنۡ عَذَابٍ أَلِيمٍ
Qul ara-aitum in ahlakaniyallahu wa man ma'iya au rahimanaa faman yujiirul kaafiriina min 'adzaabin aliim(in)
29. قُلۡ هُوَ ٱلرَّحۡمَٰنُ ءَامَنَّا بِهِۦ وَعَلَيۡهِ تَوَكَّلۡنَاۖ فَسَتَعۡلَمُونَ مَنۡ هُوَ فِي ضَلَٰلٍ مُّبِينٍ
Qul huwar-rahmaanu aamannaa bihii wa 'alaihi tawakkalnaa, fasata'lamuuna man huwa fii dhalaalin mubiin(in)
30. قُلۡ أَرَءَيۡتُمۡ إِنۡ أَصۡبَحَ مَآؤُكُمۡ غَوۡرٗا فَمَن يَأۡتِيكُم بِمَآءٍ مَّعِينِۢ
Qul ara-aitum in ashbaha maa'ukum ghauran faman ya'tiikum bimaa-in ma'iin(in)."
"Lain kali kalo mau menghafal jangan asal liat dulu lafadz nya baru hafal, kamu sering murojaah tidak kalo dikobong?"
"Tidak, Ustadz," jawabnya cicit sambil menunduk.
"Ya Allah Ara kenapa kamu tidak murojaah? Temen kamu yang bernama Ziah suka mengajak gak?"
"Iya, dia sering mengajak, Ustadz."
"Lantas kenapa kamu tidak ikut?"
"Kadang males, Ustadz. Kadang juga keburu ngantuk jadi nggak ikut."
"Astaghfirullah Ara! Pantas saja lafal kamu salah, lain kali kalo diajak ikut paksain kalo lagi males juga, kapan kamu bisa kalo kamu ikut nafsu mu," ucapnya nada tegas nan wibawa, Ustad Arifin tidak mau jika Ara menjadi seorang pemalas.
Ara diam tak menjawabnya, mungkin hatinya sedikit tercubit.
"Ara!" panggilnya, Ara yang dipanggil menatapnya.
"Iya, Ustadz," jawabnya.
"Saya ingin bicara, boleh?" tanyanya dan diangguki oleh Ara.
"Saya ingin menikahimu bukan karena apa-apa karena niat Allah SWT," ucapnya lembut.
Ara tersentak kaget keningnya mengerut tanda dia sedang bingung, maksudnya apa kata ustadznya ini? Seriuskah? Atau hanya omong kosong.
Ara melihat mata Ustadz Arifin mencari kebohongan dari setiap kata yang baru dia keluarkan, tapi nihil yang dia liat hanya keseriusan dan ketegasan.
"Se-riuskah, Ustadz?" tanyanya.
"Iya Ara, saya ingin menikahi kamu jika kamu siap saya akan memintamu ke kyai."
"Ta-pi aku belum lulus, Ustadz."
"Saya akan menikahi kamu setelah Ziah dan Ustad Daffa menikah, bagaimana?"
"Emm a-ku ma-sih ragu, Ustadz," ucapnya gugup.
"Ragu kenapa Ara? tampang saya terlihat yang sedang bercanda kah?"
Ara hanya menggelengkan kepala.
"Lantas?"
"Seperti mustahil saja ustadz, aku hanya orang biasa dan diluar sana masih banyak yang lebih-lebih dari aku tapi, ustadz ingin menikahiku."
"Bukankah menikah itu saling menyempurnakan? Setiap orang mempunyai kekurangan dan kelebihan, kekurangan yang ada pada dirimu akan saya disempurnakan, hilangkan tentang kekurangan padamu karena saya mencintaimu karena Allah, saya akan menerimamu apa adanya jadi bagaimana bersediakah menikah dengan saya membangun rumah tangga bersama dan menuju syurganya bersama?"
Penurutan ustadz Arifin dapat membuat hati Ara terpukau, inikah diri ustadz Arifin sebenarnya? Depan orang terlihat biasa dan banyak bercanda namun dibalik sikapnya itu jago dramatis.
"Jika niat ustadz baik atas izin Allah aku terima," ucapnya menatap ustadz Arifin dan memperlihatkan senyum manisnya.
Hati ustadz pun ikut tersentuh, orang yang 2 hari lalu ia cintai menerimanya.
"Saya akan segera menemui kyai dan berbicara, semoga Allah meridhoi kita."
"Aamiin, aku sudah tes ustadz boleh aku keluar?"
"Ya silakan calon humairahku," ucapnya kekeh.
Ara tak menjawab, dia langsung lari keluar dengan tingkah seperti anak kecil dan itu mengundang gelak tawa ustadz Arifin.
"Heh gue tunggu lo kagak dateng abis ngapain lo?" sangkanya pasalnya ustadz Daffa melihat Ara baru keluar dari ruangan tes ujian, ustad Arifin hanya tersenyum menatap kosong.
Ustadz Daffa ngeri melihat sahabatnya senyam senyum sendiri, apa jangan-jangan dia sedang kesurupan pikirnya, karena ustad Daffa takut terjadi apa-apa dengan sahabatnya jadi Ustadz Daffa menyimpan tangannya di kening ustadz Arifin.
"Apaan sih ganggu mulu," kesalnya sambil mengibaskan tangan Ustadz Daffa.
"Eh kirain lo kesurupan nyatanya masih waras," cengirnya.
"Kalo ngomong kagak disaring dulu."
"Hahaha lo nya sih yang bikin aneh, kenapa senyam senyum sendiri sampe gue dateng lo gak sadar, mikirin apa lo?"
"Gue tadi udah ngomong sama Ara tentang niat baik gue, dia udah nerima tinggal gue bilang sama kyai," ucapnya tenang.
"Hah? berani juga lo, terus kapan lo bakal nikahin dia?" tanyanya masih tak percaya sambil ikut dudut.
"Rencananya setelah lo sama Ziah nikah."
"Wih masih gak nyangka gue."
"Lo sama Ara sama-sama gak nyangka ya, emang tampang gue gak ada seriusnya?"
"Dih galak, tenang aja kali gue mah becanda, jangan galak-galak ah nanti Ara takut lagi."
"Daff nanti anter ke rumah kyai ya?" pintanya tiba-tiba.
"Dih ogah ah lo tuh laki masa mau dianter kayak bocah mau pipis aja."
"Ayolah bantu gue Daff," pintanya memelas.
"Kagak lo aja sendiri, dah ah gue mau balik mau menghafal ijab qobul buat bersanding sama Ziah," ucapnya pergi meninggalkan dan sukses membuat ustadz Arifin jengkel.
"Ck dasar temen laknat, gue nikahin Ziah nangis lo Daff."
"Heh apa lo bilang?" ucapnya dibalik pintu, ustadz Arifin kaget dikiranya sahabatnya itu sudah menghilang.
"Kagak Daff, gue cinta mati sama Ara," teriaknya.
***
"Aaaaaaaa Ziah," teriak bahagia sampai Ziah membekap mulutnya.
"Is apaan sih? datang itu salam ini malah teriak-teriak, apa coba cerita?" tanyanya, Ara langsung menuntun tangan Ziah agar ikut duduk bersamanya, mereka saling berhadapan dan Ara akan memulai ceritanya.
"Huh bentar Zi, aku tarik nafas dulu soalnya tadi senam jantung nggak ada berhentinya."
"Ih lama," ucap Ziah dengan nada tak bergairah sambil mukanya ditekuk.
"Bentar dong Zi, tarik keluar oke jadi gini sesudah aku tes tadi itu ustadz Arifin bilang bakal ngelamar aku, dan nikahnya setelah kamu sama ustadz Daffa aaaaaaaa bahagia nyaaaa akuuuu Ziahhhhh," teriaknya.
"Is Ara! bisa gak sih biasa aja jangan gitu, sakit kupingku denger kamu teriak," gerutunya sambil mengusap-ngusap kupingnya.
"Hehe maaf saking bahagia nya Zi, aku gak percaya aduh kalo tau gini mah dulu kita gak usah marah-marahan tinggal cus kesini."
"Ih itumah kali aku mah nggak ngerasa marah-marahan."
"Hehe iya juga sih."
"Jadi gimana? Kamu dilamar sama ustadz Arifin pantes aja lama tes nya kirain kamu dihukum karena nggk hafal," kekehnya.
"Heuh kamu mah Zi mau aja aku dihukum," ucap Ara pura-pura marah.
"Hehe kan perkiraan Ra, terus kata dia kapan mau ngelamar kamu?"
"Aku nggak tau Zi tapi katanya mau ngelamar aku sama kyai, ya moga aja besok gituh lamarnya, biar cepet prosesnya hehe."
"Matamu Ra emangnya mudah gituh lamaran."
"Emang gimana sih Zi rasanya dilamar? kasih tau dong kan kamu pernah berpengalaman," ucap Ara, Ziah yang tau kemana arah topiknya langsung mengalihkan pembicaran.
"Huam dah Ra, aku ngantuk ah bye-bye Ara," ucapnya berbaring menghiraukan pertanyaan Ara.
"Heuh kebiasaan banget ni curut eh," gerutu Ara sambil menutup mulutnya pada kata 'eh' dan melirik ke arah dimana Ziah sudah tidur karena ingin memastikan kondisi Ziah, Ara memanggil dan menepuk pundaknya beberapa kali.
"Zi! Zi! Alhamdulillah gak kedengeran cepet amat tidurnya kayak kebo hihi," ucapnya lagi ikut berbaring, memejamkan mata dan bermimpi.
Ya sebenarnya Ziah belum terlalu tidur dia menguping semua ledekkan yang Ara keluarkan rasanya Ziah ingin membekap mulut Ara tapi dia hiraukan karena Ziah juga sudah ngantuk berat.