Ziah turun dari kamar setelah menunaikan ibadah sholatnya dan disana ada Ummi sedang menonton televisi dan Ziah bergabung duduk.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh."
Ziah mengambil remote mengalihkan siaran tv namun setelah ditemukan siaran yang dia suka umminya malah mengajak ke dapur untuk masak makanan dan Ziah mengangguk lesu.
"Ummi ini ayam di lemari es goreng ya?"
"Iya boleh."
Ziah mengambil ayam membawanya ke tempat pemotongan dan langsung memotong ayamnya lalu dicuci.
"Jangan lupa kalo udah di cuci pake garem dikit."
Ziah langsung menambahkan garam pada ayamnya, dia menyalakan kompor lalu menuangkan minyak ke wajan.
"Ummi ini beledag-beledag gak mi? Ziah takut."
"Api nya kecilin aja sayang," ucap Ummi sedang memotong bayam. Ziah menurut, dia mengambil ayam dengan pelan-pelan.
Tak lama suara pintu terbuka menampakkan dua lelaki yang gagah dengan wajah tampannya.
"Assalamu'alaikum," ucapnya serempak menghampiri dua wanita nan cantik yang sedang masak.
"Wa'alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh," ucap juga serempak tanpa mengalihkan pandangan mereka dari aktivitasnya.
Ustadz Daffa menghampiri Ziah dan abi sudah kembali ke ruang tamu.
"Lagi masak apa? Sampe jawab salam nggak ngelirik."
"Diem dulu ustadz! Aku lagi masak ayam goreng," ucapnya terus mengamati ayamnya karena takut gosong.
"Lebih tampan ayam ya dari pada suaminya?"
"Paan sih diem ah, ayamnya takut gosong kalo ngelirik dulu sama ustadz."
Tangan ustadz Daffa ngelus kepala sambil terkekeh dan tangannya turun ke pinggangnya. Ziah yang merasa susah bergerak menjauh, namun ustadz Daffa mendekat dan meraih pinggang istrinya.
"Is ustadz awasin tangannya," ucapnya menjahit ayam.
"Kenapa emang nya?" tanya Ustadz Daffa dengan nada manja seperti anak kecil dan sambil menempelkan dagu di bahu istrinya. Karena sudah selesai masak Ziah mematikan lampunya dan melepaskan tangan lalu berbalik menghadap suaminya.
"Kalo lagi masak jangan ganggu soalnya susah," peringatnya.
"Gapapa romantis tau," ucapnya dengan nada manja.
"Kayak anak kecil manja banget sih," kekehnya.
"Ya gapapa sama istri sendiri," mendekat dan memegang pinggang. Ziah yang sudah terbiasa dengan tingkah laku Ustadz Daffa merasa sudah tidak gerogi, tapi untuk rasa malu masih sedikit ada.
"Hmm terserah, Ustadz saja. Ummi mana?"
"Dari tadi juga,Ummi udah nggak ada sayang," ucapnya sambil mencuri ciuman pipi istrinya.
"Dih genit," judesnya tapi dibarengi kekehan.
"Gapapa dong sama istri sendiri dari pada sama orang lain atau saya dibolehin ya sama yang lain?" godanya menaikkan alis, Ziah melirik membulatkan dua bola matanya dengan sempurna. Secepat kilat dia memalingkan pandangannya ke berbagai arah.
"Kenapa tuh mukanya kok jelek?"
"Tau," ketusnya.
"Cie cemburu," mencolek pipinya.
"Gak."
"Masa?"
"Gak ih."
Ustadz Daffa tahu jika istrinya itu cemburu, dia mengelitik pingga istrinya. Awalnya Ziah berusaha melepaskan tangan suaminya namun tenaga Ustadz Daffa lebih besar membuat Ziah pasrah dan itu sukses membuat Ziah tertawa lepas.
"Hahahaha Ustadz diem geli ih."
Ustadz Daffa terus melakukan itu supaya Ziahnya tertawa.
"Hahaha udah ah itu, Ummi sama abi nungguin," peringatnya dan Ustadz Daffa menghentikan aktivitasnya.
"Bantuin bawain ya," ucapnya sambil mengambil semangkuk sayur.
"Aaaasiyapppp," ucapnya juga sambil mengambil lauk pauk lainnya.
"Emangnya paket."
Hahaha
Ziah dan ustadz Daffa membawakan nasi dan dan lauk pauknya lalu disimpankan satu persatu ke meja makan.
"Ummi abi, makanannya udah jadi," teriaknya dengan nada sedang.
Ummi dan abi langsung keluar dari dalam kamar menghampiri.
"Hihi maaf ya lama," cengir Ziah.
"Gapapa pengantin baru mah dimaklum," ucap abi sambil kekeh
Ustadz Daffa menjadi malu saking banyak bergurau membuat mertuanya menunggu.
"Hehe maaf ya buat kalian menunggu," pinta maaf Ustadz Daffa.
"Gapapa tenang aja, Daff meskipun perut berdangdut gak akan mengusik kebahagian pengantin baru In Syaa Allah kami maklum," ucap penuh perhatian pada pengantin baru itu.
"Hehe iya, Abi makasih."
Semuanya menjadi hening hanya suara sendok yang beradu dengan piring. Sudah 15 menit makan bersama mereka telah kembali ke habitatnya dan kini hanyalah ustadz Daffa dan Ziah yang sedang membereskan sisa makan.
Pasangan itu sangatlah romantis apa-apa bekerja berdua tanpa ada pihak yang berleha-leha membiarkan pasangannya kerja keras sendirian.
Seorang wanita bukanlah untuk dijadikan ratu bukan pula dijadikan babu melainkan hidup beriringan berpegang tangan dan saling menguatkan. Begitu pula lelaki bukan dijadikan babu bukan pula dijadikan raja melainkan dijadikan pemimpin didepan untuk memimpin kearah mana jalan ke surga.
"Alhamdulillah selesai, istirahatnya dikamar yu," ajak suaminya sambil membungkukkan badannya.
"Digendong?"
"Iya yu, pasti kamu cape aku gak mau kamu cape jadi digendong."
Ziah tak naik melainkan ikut mensejajarkan dan membungkukkan badannya sambil mengulurkan tangan.
"Ustadz juga cape jadi aku juga gak mau ustadz cape karena gendong aku jadi kita sama berjalan."
Ustadz Daffa menerima uluran tangan Ziah berdiri dan langsung dipeluk istrinya.
"Terimakasih sayang humairahku, Allah sangat baik kepadaku sehingga aku ditakdirkan dengan wanita sholihah seperti mu yang tidak pernah membebankan meskipun hanya secuil saja," ucapnya lemah.
Ziah menguraikan pelukan melihat wajah tampan sang suami ada jejak air yang mengalir dari matanya Ziah menghapus dengan ibu jari yang mungil.
"Allah sangat baik kepadaku sehingga apa yang aku lakukan selalu dibantu memperingankan keringatku, aku sangat bahagia mempunyai suami seperti ustadz," ucapnya sambil senyum manis.
Dicium kening Ziah, setelahnya memegang tangan digandeng bersama-sama pergi ke kamar untuk beristirahat dari jiwa yang penuh penat dan dibanjiri keringat.
Mereka berdua telah tiba dan ustadz Daffa masih memegang mengajak duduk ditepi tempat tidur.
"Jangan disitu duduknya tapi disini," ucapnya supaya duduk dipangkuan.
"Jangan membelakangi hadapnya ke samping."
Ziah menghadap samping dan mengalungkan tangannya dileher sang suami. Tak ada ucapan hanya mata yang saling pandang seolah-olah sedang memberi isyarat dan hati pun ikut bicara.
Ustadz Daffa melihat bibir Ziah yang sudah menjadi candu, tangan ustadz Daffa menahan tengkurapnya dan disatukan bibirnya dengan Ziah.
Ziah tak bertolak dia hanya diam, karena tidak ada pergerakan ustadz Daffa sedikit menggigit bibir bawahnya dan Ziah meringis, lama-kelamaan ustadz Daffa mengetuk bibir Ziah dengan lidah dan Ziah membukakan seolah-olah seperti mempersilahkan masuk, lama mereka berciuman akhirnya berhenti dan saling berpandangan lagi.
"Ziah," panggilnya dan Ziah hanya menengadah.
"Sebenarnya aku sudah mencintaimu sejak pertama kali kamu masuk mondok dan saya pernah terpuruk karena kamu akan dijodohkan. Saya pikir kamu akan dijodohkan dengan yang lain nyatanya jarak kita semakin dekat sehingga seperti ini, tolong jangan pergi bersamalah dengan saya sampai ajal memisahkan."
Ziah menyimpan telunjuk di bibir ustadz Daffa dan menggelengkan kepala.
"Jangan berpikiran seperti itu, aku nggak akan ninggalin ustadz jika boleh jujur aku sebelum menikah ketika dekat ustadz hatiku berdebar kencang, aku nggak tau apakah itu jatuh cinta atau hanya perasaanku saja karena aku sebelumnya aku nggak pernah merasakan hal seperti ini, jadi bagaimana aku meninggalkan dekat denganmu saja membuat hatiku nyaman."
"Benarkah? Saya kira kamu biasa saja hehe aku sekarang udah tau perasaan kamu jadi perasaan aku terbalaskan. Semoga kita bisa bersama-sama ke jannahnya."
"Aamiin, ustadz udah malem bobo yu."
Ustadz Daffa langsung menggendong dan menidurkan ustadz Daffa. Sebelum tidur ustadz Daffa mencium kening dan bibirnya.
"Selamat malam humairahku."
"Selamat malam imamku," Mereka sama-sama menutup mata dan tidur menjemput mimpi.