SANDI mendekatkan kursi itu ke meja di seberang sofa, dimana Hana duduk sambil bertopang dagu. Laki-laki itu membuka laptop, dan mulai menyalin beberapa file di flashdisknya ke notebook milik Hana Aura.
"Beberapa alamat web yang kamu butuhkan, ada di sini," katanya sambil terus mendonlot aplikasi.
"Hm, iya. Terima kasih," jawab Hana sopan.
"Isinya lengkap. Ada ilustrasi tempat dan foto-foto pendukung," lanjut Sandi menjelaskan.
"Aku paham, Mas." Hana menjawab sambil menganggukkan kepala.
Setelah cukup lama menunggu sistem memindahkan isi flashdisknya ke notebook Hana, Sandi melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Untuk aplikasi yang lain, nanti saja, ya? Butuh waktu agak lama sih, untuk menginstalnya," kata Sandi sambil mengira-ngira waktu.
"Oh, iya nggak usah buru-buru, Mas. Toh kita masih di sini sampai besok," jawab Hana dengan nada sungkan.
Sandi mengangguk, dia kembali menekuni pekerjaannya. Setelah semua data berhasil dipindahkan, dia pun membuat beberapa folder baru untuk menyimpan data yang telah berhasil terkirim.
"Setiap folder sudah kuberi judul, supaya mudah ditemukan saat kamu membutuhkannya." Sandi menjelaskan.
"Hm." Hana tercekat, tangan Sandi tanpa sengaja menyentuh jarinya yang ditelekan di pinggir meja. Sebuah sentuhan yang sama sekali tak disadari oleh lelaki itu.
Menyadari sikap Hana yang berubah kaku membuat Sandi mendongakkan kepala. "Ada apa, Han?" tanyanya tak mengerti dengan perubahan sikap wanita itu.
Hana tentu saja gelagapan ditanyai seperti itu. Untuk menetralkan suasana Sandi pun mengganti topik pembicaraan mereka. Namun, semakin lama Hana justru semakin diam dan terlihat gelisah.
"Kamu kenapa?" tanya Sandi bingung.
Hana hanya menjawab pertanyaan itu dengan seulas senyum penuh misteri. "Hei! what's wrong, Hana?" canda Sandi pada akhirnya.
"Aku ..., aku hanya masih belum percaya, bahwa saat ini kita benar-benar telah bertemu." Hana keceplosan. Mau meralat lagi, Sandi sudah terlanjur mendengar apa yang diucapkannya.
Dahi Sandi mengernyit, matanya menyipit. Dia terlihat mencoba menafsirkan sikap dan ucapan Hana Aura. "Begitukah?" tanyanya.
"Iya." Hana tergagap ditanya begitu.
Hening melintas di antara mereka. Hana pun makin canggung, dan makin sulit mengendalikan ucapannya sendiri.
"Aneh saja melihat mas Sandi ada di hadapanku." Hana mengucapkan kalimat yang justru ingin ditelannya kembali. Wajahnya memerah begitu melihat Sandi jadi serius dan menatap lurus ke arahnya.
"Eh, tentu saja. Bukankah selama ini kita hanya bertemu di layar monitor." Pungkasnya cepat. Tapi, kembali dia menyesali ucapannya sendiri.
"Hm, begitu ya?" Sandi bergumam tak jelas. Lelaki itu menggeser laptop yang sedang ditekuninya.
Tiba-tiba saja lengan kokohnya meraih wajah Hana. Perlahan jemarinya mengusap sisi wajah yang halus itu. Gerakan yang sama sekali tak diduga oleh Hana Aura. Lama mata mereka saling bertaut. Hana diam, Sandi pun bungkam.
Ketika dengan lembut Sandi menyentuh permukaan bibirnya, Hana tak sanggup untuk berkata-kata. Berusaha menepis pun tidak. Wanita itu hanya mampu memejamkan mata, menyambut keindahan dari dahaga yang bersambut.
"Aku merindukanmu," bisik Sandi sambil menyentuht bibir basah merekah milik Hana Aura.
"Mestinya kita bertemu jauh sebelum ini, sayang." Sandi terus-menerus mengungkapkan perasaannya.
Kata-kata yang tercetus akibat sensasi yang ditimbulkan oleh ciuman mereka membuat isi kepala laki-laki itu meletup-letup.
Cinta itu mereka rasakan meresap sampai ke jantung. Rasa yang membuncah kian mengobarkan rindu yang mulai membakar akal sehat.
Mereka tak lagi peduli tentang kepantasan dan kepatutan. Nafsu yang mencengkram, telah menyingkirkan kesadaran.
Keduanya saling memberi dan menerima untuk menggapai kehendak yang kian mendesak. Mereka saling menuang dan mereguk hingga nikmatnya dahaga asmara tuntas terasa.
Sandi kian kalap. Dia menyelipkan satu lengannya ke bawah lutut Hana. Lengannya yang lain menyangga di bawah bahu wanita itu.
Sekali ayun, tubuh ramping Hana Aura dibopongnya menuju suite room di balik pintu kaca besar transparan itu.
"Sabar sayang, sabar," desahnya setengah menceracau.
Pikiran Sandi benar-benar buntu. Dia tak bisa lagi membedakan mana yang lebih menuntut, tubuh Hana atau tubuhnya sendiri.
Sandi meraba perut yang rata di balik gaun Hana, tangannya dilingkarkan pada pinggang yang ramping itu.
"Mas," rintih Hana.
"Sssst, diamlah. Aku hanya ingin membahagiakanmu." Sandi merasakan tubuh Hana bergetar dalam pagutannya.
"Kau tak akan bisa," suara Hana nyaris mencericit.
"Kenapa?" tanya Sandi berbasa-basi.
"Karena aku, ah.... uh." Hana kehilangan tenaga untuk bicara.
Gerakan tangan Sandi kian liar di tubuhnya. Otak Hana tak bisa lagi berfikir jernih. Bahkan untuk memikirkan sepatah kata pun, Hana sudah tak sanggup lagi.
"Mas Sandi. Oh, mas Sandi ...." Hanya kata itu saja yang mampu diucapkannya berulang kali.
***
GORDEN di kamar itu masih tertutup rapat. Cahaya matahari sama sekali tidak bisa masuk, untuk berbagi cahaya. Sandi masih tertidur pulas.
Dering alarm yang berulang, akhirnya berhasil membangunkannya. Sandi menggeliat dan merentangkan kedua tangan. Sesaat ia membuka mata, tapi kemudian menutupnya kembali.
Walau kantuk masih menggelayutinya, namun tubuh Sandi sudah tak bisa diajak tidur kembali. Akhirnya dia pun memutuskan untuk sedikit bermalas-malasan saja di pagi itu.
Tiba-tiba wajah Sandi terlihat gelisah. Sesuatu menyentakkan kesadarannya. Dengan panik, dia mengedarkan padangan ke sekeliling ruangan.
'Kamar ini ...! Kenapa cuma ada dirinya ...? Bukankah sebelumnya ada, Hana ...? Ya, ampun Hana. Di mana Hana ...?' batin lelaki itu.
'Apa yang telah terjadi?' Berbagai pertanyaan yang tiba-tiba mengusik, melenyapkan semua kemalasan di tubuhnya.
Sandi hendak melompat turun dari ranjang. Gerakannya segera terhenti. Tak ada apa-apa lagi yang menutupi tubuhnya, di balik selimut tebal itu.
'Jadi, dia benar-benar telah melakukan sesuatu yang buruk bersama Hana Aura?'
Sandi bukan orang yang terbiasa tidur tanpa mengenakan pakaian. Bila sekarang menemukan dirinya tak mengenakan sehelai benangpun, maka artinya semua yang tadi dirasakannya sebagai mimpi itu adalah sebuah kenyataan.
Kepalanya berdenyut, dadanya berdegub. Akal sehatnya menuntut. 'Apa jadinya bila ada yang tahu, kalau dia dan Hana baru saja melakukan perbuatan tak senonoh?'
'Bagaimana kalau ternyata perbuatan terkutuk yang mereka lakukan berbuntut panjang, dan mempengaruhi kehidupan mereka ke depannya?'
Sandi mencoba mengenyahkan kecamuk pikirannya. Dengan sebelah tangan dipungutnya pakaian yang tergeletak di sisi tempat tidur tempatnya berbaring.
Dikenakannya kembali pakaian itu satu per satu, lalu terduduk lama di tepi ranjang.
Sandi menutup wajah dengan kedua tangan. Pikirannya masih kacau karena terus menerus membayangkan akibat dari semua hal yang baru saja terjadi.
'Terkutuk! Ya, ini benar-benar perbuatan terkutuk,' lenguhnya putus asa. Tubuh laki-laki itu bergetar, memikirkan dosa zina yang telah mengotori kesuciannya sebagai laki-laki sekaligus sebagai seorang suami.
Bagaimana mungkin dia bisa ceroboh semacam itu. Namun, setelah semuanya terjadi, bagaimana mungkin dia bisa melupakan Hana Aura.
Tanpa diminta, semua detail peristiwa antara dia dan Hana terpatri permanen dalam rongga kepalanya.
Sandi mengutuk diri berkali-kali. Bagaimana tidak, pada saat dimana dia seharusnya menyesali diri, otaknya justru merespon lain perbuatan dosa yang terlanjur terjadi.*
~ Happy readiang Beib ~