Mobil Kyra melaju dengan kecepatan tinggi. Cavero dan Harrison menepi dengan cepat. "Gila ya itu mobil!" ucap Cavero sambil mengelus dada.
"Sepertinya aku tau siapa itu." Harrison menyalakan mobilnya mengejar Kyra.
"Hari, teganya kamu meninggalkanku," kata Cavero sambil menatapnya kesal.
Harrison mengejar mobil itu. Ia menyamai kecepatannya. "Sial! Mau apa sih mereka ikuti aku?" gumam Kyra. Ia tak berpikir Harrison yang mengikutinya.
Kyra menancapkan gas dengan kecepatan penuh. Dia hampir saja menabrak seorang wanita yang sedang bersepeda. Jantungnya berdebar cukup kencang. Harrison mendekati mobil Kyra, seraya mengetuk kaca mobilnya. Gadis itu menoleh.
"Sial! Aku sampai lupa." Kyra ingin menancapkan gasnya kembali, namun mobil sport berada di depannya.
Harrison kembali mengetuk pintu mobil Kyra. Pria itu menyeringai, saat melihat wajah Kyra yang ketakutan. "Benar dugaanku. Ternyata itu kamu," batin Harrison.
Dia merasa diperhatikan Harrison. Kyra semakin terpojok. Lalu, mobil Kyra mundur secara perlahan. Dia memutar arah mobil. Dia beruntung di sekitarnya sepi. "Kamu tidak akan bisa lolos dariku, Cantik," gumam Harrison dengan senyumannya yang licik.
Harrison mengejar Kyra lagi. Ia tidak akan membiarkannya lolos. "Pria itu mau apa sih? Kenapa suka banget mengikutiku?" ucap Kyra pada dirinya sendiri.
Kecepatannya semakin tinggi. Namun, ia menurunkan kecepatan mobilnya seketika. Apa yang Kyra rencanakan? Harrison mengerutkan kening, mencoba menebak apa yang gadis itu lakukan.
"Apa kamu masih akan mengikutiku setelah ini?" Kyra memberanikan diri turun dari mobilnya. Setelah itu, ia berlarian menuju ke kantor polisi. Ketika Harrison kehilangan jejak Kyra, saat itu beberapa polisi datang ke arahnya.
Mereka mengarahkan senapan, namun Harrison berhasil bersembunyi. "Aku tidak menyangka, gadis kecil itu penuh trik. Lihat saja, aku tidak akan tinggal diam," ucapnya sambil tersenyum miring.
"Nona, tidak apa-apa?" tanya polisi laki-laki yang menghampirinya. Ia memberikan air minum agar membuat Kyra tenang.
"Terima kasih. Aku tidak tahu bagaimana kalau bukan karena bantuan bapak-bapak polisi sekalian."
"Kami adalah polisi, Nona. Itu telah menjadi tugas kami," kata seorang polisi seraya tersenyum lembut.
Beberapa polisi telah kembali dan mengatakan kehilangan jejak Harrison. Memang, tak mudah menangkap pria itu. Dia selalu pandai bersembunyi. Kyra menatap satu-persatu polisi yang ada di tempat itu.
"Kalau begitu, saya permisi dahulu," ucap Kyra sambil menundukkan kepala.
"Kalau nona butuh bantuan lagi, kami siap membantu."
"Terima kasih sekali lagi."
Kyra bergegas menaiki mobilnya. Ia menyandarkan kepala pada kursi mobil. Dia mengira segalanya telah usai dan tak ada sesuatu yang terjadi. Namun, suara berat seorang pria membuatnya menoleh.
"Kamu!"
"Kenapa? Kaget ya, cantik?"
"Kenapa kamu bisa ada disini? Bagaimana kamu bisa masuk?"
"Itu bukan hal yang sulit. Aku punya ribuan cara untuk masuk kemari." Harrison melompat hingga berada di sebelahnya. "Ayo kita jalan, Cantik."
"A-aku bukan sopirmu. Keluar!"
"Aku tidak akan keluar dari sini."
"Kamu…" Harrison mencium bibir Kyra dengan rakus. Gadis itu ingin mendorongnya, tetapi Harrison malah menangkap tangannya.
"Jika kamu tidak menurutiku, aku akan berbuat yang lebih gila dibandingkan ciuman ini," ancam Harrison. Kyra tak ingin nasibnya jatuh ditangan pria itu.
"Apa kamu tidak punya kerjaan?"
"Kenapa? Kamu ingin mengajakku kencan, Cantik?" goda Harrison.
"Aku tidak ingin melihatmu. Kamu…"
"Apa kamu segitu bencinya denganku?" Ekspresi wajah Harrison berubah mendadak.
"Aku tidak bisa melupakan insiden itu. Aku tidak akan menjadi mainan kalian lagi. Jadi, pergi sejauh mungkin!" Kyra membuka pintu sambil mendorong Harrison. Ia tak peduli suara klakson mobil lain yang mengganggunya. Dia berdecak kesal.
"Apa menurutmu kamu bisa membuangku seperti ini? Lihat saja, aku tidak akan memaafkanmu." Harrison mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang. Apa yang sebenarnya ia rencanakan?
*******
Jantung Kyra berdetak kencang. Entah sudah berapa lama kegugupannya tak kunjung usai. Vanny datang mengumbar senyuman. Ia duduk seraya memberikan secangkir kopi hitam yang menjadi kesukaan Kyra.
"Nih, minum dulu." Vanny menatap Kyra dengan tatapan bingung. "Kamu kenapa? Ada masalah?"
"Apa kamu sudah menghubungi Mandha?" tanya Kyra.
"Belum sih. Kenapa? Ada masalah?"
"Vanny, sebenarnya apa yang terjadi pada kemarin malam?"
"Kemarin malam? Maksudmu, saat kita berkaraoke?"
"Iya."
"Kamu beneran lupa saat itu?"
"Udah deh, Van, jangan main tebak-tebakan gitu. Jelaskan aja. Kepalaku lagi pusing."
"Oke. Aku akan jelasin. Kamu ingat tidak, ada perjamuan malam di rumah Mandha?"
"Perjamuan malam?"
"Iya. Rumah Mandha kedatangan banyak tamu."
"Ah, iya aku ingat. Kalau tidak salah, mereka adalah tamu dari orang tuanya Mandha."
"Betul."
"Kalau itu sih aku ingat. Saat itu, kita lagi mulai karaoke di kamar Mandha. Nah, setelah itu aku tidak ingat apa yang terjadi."
"Begini, waktu itu aku lagi pergi ke kamar mandi. Nah, pas aku kembali kamu udah enggak ada."
"Lalu, apa Mandha bilang sesuatu?"
"Dia bilang kalau kamu sudah pulang."
"Itu mustahil. Aku belum pulang. Kamu tahu, apa yang terjadi padaku saat itu?" Kyra meneteskan air mata. Hatinya teriris mengingat ia ternodai oleh kelima pria dalam satu malam.
"Kamu enggak apa-apa, Kyra?"
"Van, mungkinkah Mandha punya dendam pribadi terhadapku?"
"Mana mungkin! Dia selalu memuji-mujimu di depanku. Bahkan, kamu juga sering cerita kalau Mandha merupakan orang pertama yang melindungimu dahulu. Memang, ada apaan sih? Kalau kamu tidak cerita, mana mungkin aku bisa membantumu."
"Aku ingin cerita, tetapi ini sangat memalukan. Aku…."
"Kyra, ceritakan saja! Mungkin, aku akan membantumu." Vanny menggenggam tangan Kyra. Ia tersenyum lembut.
"I-itu… Aku… Aku…"
"Begini saja, bagaimana kalau kita ke tempat waktu itu? Mungkin, di sana kamu bisa cerita."
"Maksud kamu kita ke kafe itu."
"Betul."
"Ya udah. Ayo, kita kesana!" Kyra dan Vanny meninggalkan tempat itu.
Suasana yang sejuk membuat Kyra begitu nyaman. Kafe itu berada di dekat pantai. "Tempat ini memang tidak pernah sepi," ucap Vanny.
"Iya. Selalu saja ramai."
"Eh, ada nona-nona cantik," ujar Mona, pria tulen.
Nama aslinya adalah Bryan, tetapi ia lebih suka dipanggil Mona. Pria yang bergaya perempuan itu seringkali menggoda pria-pria bule yang hendak ke sana. Dia menatap mereka genit sambil meninggalkan nomor ponselnya.
Mona tidak pernah menyukai perempuan, walau Kyra dan Vanny secantik artis Bollywood, ia takkan tertarik. Dia tersenyum sambil membawakan satu botol anggur dengan kadar alkohol yang paling rendah.
Ia tahu kalau Kyra dan Vanny sama-sama tidak bisa minum-minuman seperti itu. Kyra menuangkan segelas anggur, lalu meminumnya dengan cepat.
"Jangan cepat-cepat, entar tersedak! Kalau tersedak cowok ganteng sih enggak apa-apa, tetapi kalau tersedak alkohol, enggak banget," ujar Mona dengan gaya centilnya.
Terkadang, Kyra dan Vanny tertawa melihat tingkah laku Mona. Lumayan, itu dapat menghibur Kyra seketika. Ponsel Vanny berdering tiba-tiba.
"Ada panggilan dari papa aku. Aku angkat dulu, ya." Vanny meninggalkan Kyra seraya mengangkat teleponnya. Kyra menganggukkan kepala.
"Lama banget Vanny pergi," gumam Kyra. "Mon!" panggilnya.
"Siap, Nona cantik. Ada apa memanggil princess cantik ini?" kata Mona seraya mengibaskan rambutnya, menganggap dirinya sebagai seorang putri yang cantik. Kyra ingin muntah mendengar itu kalau tak menahannya.
"Ambilkan aku air putih, ya. Aku haus."
"Ya udah, tunggu disini ya." Tak lama Mona datang dengan segelas air putih. "Nih, airnya."
"Thanks, Mon." Kyra meminum itu. Tanpa ia sadari, kepalanya berputar-putar. Ia merasa ada yang salah dengan minuman itu. Semakin lama, kesadarannya menurun dan ia tak sadarkan diri.
Apa yang akan terjadi pada Kyra. Siapa yang berani menjebaknya kali ini?