Sosok gadis cantik berambut blonde terbaring di sebuah kasur yang berukuran besar. Ia menggeliat sembari mengusap kedua matanya. Dia menatap sekelilingnya tampak aneh. Tempat itu cukup asing.
Perasaannya kian memburuk, ia tak mau kejadian yang sebelumnya terulang kembali. Ketika ia terbangun dari tidurnya, ia memeriksa pakaiannya yang masih lengkap. Dia bernafas lega.
Dia tak mau berlama-lama di tempat itu, ia bergegas untuk pergi. Saat itu, ia melihat seorang pria dengan tubuh atletis. Tubuh bagian bawahnya terbalut dengan handuk, menampakkan dada bidang serta perut yang sixpack. Ia berjalan seraya mengeringkan rambut.
"Aaaaah!" teriak Kyra. Pria itu cukup kesal mendengar gadis itu berteriak.
"Kamu ini, berisik amat. Ini masih sore."
"Pa-pakai bajumu dahulu, baru berbicara." Kyra membalikkan badan. Wajahnya memerah.
"Apa salahnya? Ini kamarku," ucapnya santai.
"Ka-kamu sudah selesai?" tanya Kyra gugup.
"Kenapa? Padahal, waktu itu kamu sudah melihatnya dengan jelas," bisik pria itu.
Hembusan nafasnya terasa pada leher Kyra. Kedua tangan gadis itu saling menggenggam. Pria itu menyeringai. Ia berjalan didepan Kyra, lalu memakai pakaiannya tanpa malu.
"Ka-kamu..." Kyra menutup mata dengan kedua tangannya sambil duduk di sofa.
"Teriakanmu sangat kencang, apa kamu seorang penyanyi?"
"I-itu semua salahmu. Apalagi, kamu membawaku ke tempat ini. Apa mungkin kamu…"
"Aku tidak tertarik menghabiskan malam dengan perempuan yang sama lebih dari satu kali. Itu sangat membosankan," ujar Keenan bernada dingin.
Dia menyentuh dagu Kyra dengan jari telunjuknya. Setelah itu, ia menatapnya dingin. "Minggir! Aku mau tidur disini," ucap Keenan.
"Ini sofa. Kamu bisa tidur di kasur," ucap Kyra.
"Ini kamarku. Aku bebas melakukan apa pun."
"Memang, semua pria sama saja." Kyra menjauhi Keenan dengan kesal. Dia duduk di sofa lainnya.
"Siapa yang menyuruhmu untuk duduk di sana?"
"Pria ini sangat menyebalkan," batin Kyra. Lalu, Kyra memilih duduk di kasur.
"Kenapa tidur di kasurku? Apa aku bilang, kamu harus duduk di sana?"
"Lalu, aku harus duduk di mana?" Kyra tampak geram. Ia menatap Keenan tajam.
"Kamar ini luas. Kamu bisa duduk di lantai."
"Dasar pria sombong!" gumam Kyra. Ia mengelus dada untuk bersabar.
"Aku mendengar apa yang kamu katakan." Keenan terus menatap Kyra sambil menyeringai.
Sepertinya, ia memiliki hobi baru, yaitu mengisengi Kyra. Ia memperhatikan cara duduk gadis itu terlihat elegan. Dia berpikir, gadis di depannya bukanlah gadis biasa.
"Kenapa menatapku?"
"Karena kamu ada di depanku. Masa aku melihat ke atas?"
"Dia sengaja. Sabar, Kyra, sabar," batin gadis itu sambil mengelus dadanya. "Oh ya, ada yang ingin aku tanyakan."
"Apa?"
"Bagaimana aku ada disini? Aku tidak ingat sama sekali. Setahuku, aku sedang minum air di cafe dekat pantai. Namun, kenapa aku malah ada di sini? Lalu, di mana temanku, Vanny?"
"Kamu ingin tahu?" ucapnya dingin, salah satu alisnya terangkat.
"Tentu saja."
"Ini tidak gratis."
"Kamu dan Cavero sama saja." Kyra mendengus kesal.
"Cavero? Kenapa kamu menyamakanku dengan adik tiriku?"
"Dia adik tirimu?"
"Iya."
"Lalu, bagaimana dengan yang lain?"
"Silsilahnya cukup rumit. Tidak cukup menjelaskan hanya waktu beberapa menit, kecuali…"
"Kecuali apa?" tanya Kyra. Ia memiliki firasat buruk. Keenan tersenyum sinis.
"Kecuali kamu memijatku."
"Hah?"
"Kenapa? Keberatan?"
"Apa tidak ada yang lain?"
"Aku hanya ingin itu. Aku paling tidak suka penolakan. Kalau kamu tidak mau, kamu bisa keluar dari kamarku sekarang."
"Kalau begitu aku akan pulang," kata Kyra dengan kegirangan dihatinya.
"Aku lupa memberitahumu, kalau keempat pria yang menidurimu waktu itu ada diluar. Mereka sedang bermain kartu."
"Apa?"
"Aku enggak yakin kalau kamu keluar dari kamar ini bisa selamat dari genggaman mereka. Aku tidak akan memaksamu. Silakan, tentukan pilihanmu sendiri," kata Keenan sambil tersenyum miring.
"Pria ini mempermainkanku." Kyra mengacak-acak rambutnya. Ia kehilangan akal. Kyra menghembuskan nafas dengan kesal.
"Baiklah. Aku akan tetap di sini."
"Kenapa? Kamu takut dengan mereka?"
"Aku rasa, mereka semua menghormatimu."
"Itu karena aku yang tertua di antara mereka."
"Kamu paling tua? Apa kamu om-om?"
"Umurku tidak setua itu."
"Kalian berjumlah banyak dan kamu paling tua, berarti umurmu sekitar 40 tahun an. Atau mungkin…"
"Jangan asal bicara! Kamu sungguh melukai harga diriku."
"Kalau begitu, berapa umurmu? 38 tahun? Atau 35 tahun? Mungkin… 30 tahun?"
"Salah semua."
"Hah? Kalau begitu, apa umurmu diatas 40 tahun?"
"Yang benar saja! Aku masih muda. Umurku hanya 29 tahun."
"Anggap saja umurmu 30 tahun."
"Itu tahun depan. Aku masih 29 tahun." Keenan tak mau mengalah.
"Sama saja, tahun ini atau tahun depan. Hanya selisih satu tahun, apa gunanya?"
"Kamu!"
"Kenapa? Apa hanya kamu saja yang boleh membuatku emosi? Aku juga bisa." Kyra menaikan salah satu alisnya seakan menantang Keenan.
"Aku berubah pikiran, sekarang kamu keluar dari kamarku!"
"Aku enggak mau. Aku ingin di sini. Lantai ini begitu luas, aku bisa tiduran di sini."
"Kenapa? Kamu pikir, aku akan melindungimu dari mereka?"
"Kamu yang tertua, pasti mereka takut denganmu."
"Oh ya? Bagaimana kalau mereka sedang menunggumu di luar kamar ini?"
"Apa maksudmu? Kamu bilang kalau mereka sedang bermain kartu."
"Hei gadis, kamu begitu polos. Kamu sungguh mempercayai kata-kataku?"
"Da-dari awal kamu enggak pernah serius ingin membantuku. Kamu benar-benar…"
"Apa kamu lupa kalau kami penghuni di di tempat ini? Rumah ini merupakan istana bagi kami berlima."
"Kamu pikir hanya dengan seluruh kekayaanmu dapat mengendalikanku? Kamu salah! Aku bisa menghancurkan kalian satu-persatu."
"Dengan cara apa menghancurkan kami?"
"Aku akan… menggunakan kekuatan yang sama seperti kalian. Aku pasti membuat kalian menyesal dan bertekuk lutut di depanku!"
"Beraninya kamu berkata seperti itu sambil memelototiku?" Keenan beranjak dari sofa, lalu menarik tangan Kyra dengan agak kasar.
"Jangan kira aku perempuan yang terlihat lemah, kalian dapat mempermainkanku!"
"Kalau begitu, biar aku yang bermain denganmu." Keenan menyentuh dagu Kyra. Tatapannya lebih tajam dibandingkan sebelumnya.
"Ka-kamu mau apa?" Kyra berjalan mundur.
"Menurutmu?"
"Kamu bilang kalau tidak akan menghabiskan malam dengan wanita yang sama."
"Aku adalah raja disini dan dapat bertindak semauku." Keenan semakin mendekat. Air mata Kyra membanjiri wajahnya seketika. Kedua tangannya mencengkeram bajunya sendiri. Gadis itu ketakutan. Semakin lama, tangisannya tak bisa ia bendung lagi.
Hatinya sangat sakit membayangkan sesuatu yang tak ia inginkan. Walau ia bertindak berani tadi, tetap saja ia hanyalah perempuan biasa. Derapan langkah Keenan terdengar hingga Kyra tak bisa kabur lagi. Dia terhalangi tembok yang berada di belakang punggungnya.
Keduanya saling bertatapan. Pria itu menyeringai. Lalu, ia mengusap air mata Kyra dengan lembut. Entah apa yang ia pikirkan, pria itu membalikkan badan. "Aku lelah, pijatkan aku. Ini kesempatan terakhirmu," kata Keenan sambil terbaring di sofa.
Kyra merasa Keenan tak seburuk itu. Walau pria itu dingin, tetapi ia masih memiliki belas kasihan. Apa yang akan Kyra lakukan? Akankah hatinya luluh dan mulai jatuh hati pada pria itu?