Cavero menyesap secangkir teh yang masih hangat. Kali ini, ia menang lagi. Seringkali, pria itu menang dalam permainan kartu. Dia menatap satu-persatu dari wajah Xyever, Harrison, dan Devano.
"Sepertinya, kita harus bertukar tempat duduk, biar aku menang terus," ucap Devano sambil melirik Cavero.
Ia mengerucutkan bibir. Devano selalu payah dalam bermain kartu. Ia tak pernah menang. Harrison menatapnya seraya tersenyum sinis. Devano mulai mengocok kartu. Dia membagi kartu pada dirinya sendiri dan ketiga orang itu.
"Vano, jadi tukeran tempat duduknya?" kata Cavero, menawarkan diri.
"Boleh saja."
Ketika Devano berjalan, Harrison sengaja mempersulit dirinya. Dia memposisikan salah satu kakinya agar adiknya terjatuh. Namun, Devano dapat melangkahi kaki Harrison dengan mudah, seolah-olah ia hafal pada rencana kakaknya itu.
Devano menatap Harrison sambil mencibirnya. Dia bertukar duduk dengan Cavero. Permainan pun dimulai kembali. "Yes, menang!" teriak Devano.
Dia berhasil menang setelah Cavero menyatakan kemenangannya terlebih dahulu. Kini, tinggal Xyever dan Harrison yang berlanjut pada permainan capsa.
Dia bersorak-sorai atas kemenangan pertama yang ia miliki. Harrison menatapnya tak suka karena ia kalah dari adiknya. Harrison mengumpulkan semua kartu yang berserakan, lalu merapikannya.
"Kenapa dirapikan? Udah enggak main lagi? Udah bosan, ya?" tanya Xyever, mengerutkan kening.
"Bagaimana kalau kita bermain yang lain saja?" sahut Cavero.
"Kalau bermain tanpa ada wanita, rasanya enggak seru," celetuk Harrison.
"Aku setuju. Tetapi, siapa wanita yang kita permainkan kali ini?" tanya Cavero.
"Kenapa repot-repot mencarinya? Bukankah, perempuan itu sudah ada di kamar Keenan?" kata Harrison.
"Maksudmu perempuan yang kemarin?" terka Xyever.
"Iya, apa ada wanita lain selain dia?"
"Aku tidak setuju!" ujar Devano tiba-tiba.
"Kenapa? Apa kamu sudah mulai menyukainya?" tanya Harrison.
"Bukan. Dia itu seperti gadis polos. Dia tampak kasihan."
"Wah, lihat adik kita ini, dia benar-benar memiliki jiwa empati yang tinggi!" kata Cavero. Ia tersenyum miring.
"Kalau kamu tidak ingin main, kamu bisa keluar dari permainan ini." Harrison menatap adiknya tajam.
"Kamu gitu amat sama adikmu. Kasihan dia. Udahlah, kamu boleh bergabung dengan kami dalam permainan ini," kata Xyever.
"Mungkin, dia akan membuat masalah menjadi rumit. Biarkan dia menciptakan dunianya sendiri," ejek Harrison. Devano mengepalkan kedua tangannya. Ia terlihat marah.
Xyever menggenggam tangannya, ia menggelengkan kepala, memberikan isyarat pada Devano. Hati Devano mulai tenang dalam sekejab.
"Aku akan memancing perempuan itu keluar dari kamar Keenan," ucap Harrison.
"Bagaimana caranya? Dari tadi Keenan belum keluar dari kamarnya. Ia pasti bersenang-senang dengan perempuan itu," kata Cavero.
"Pada dasarnya, ia hanyalah wanita murahan." Harrison berdecak kesal.
"Begini saja, lebih baik pakai ideku." Cavero menatap mereka sembari tersenyum lebar.
"Biar aku saja yang melakukannya," celetuk Devano. Dia mempunyai rencananya sendiri.
"Kenapa kamu mau ikutan juga? Kamu itu sangat lemah terhadap wanita," kata Harrison.
"Aku punya ide, siapa yang akan maju duluan." Xyever menatap mereka satu-persatu.
"Bagaiman caranya?" tanya Harrison.
"Memainkan permainan lama," jawab Xyever sambil tersenyum miring.
*******
Kyra duduk disebelah Keenan yang terbaring dengan kedua mata terpejam. Dia merasa Keenan telah tertidur, Kyra pun berencana untuk meninggalkannya.
Kyra memperhatikan sekitarnya. Kemudian, ia mengendap-endap seraya membuka pintu secara perlahan. "Mau kabur?" tanya Keenan bernada dingin. Suaranya menggema di telinga Kyra.
"Eng-enggak kok!"
"Apa kamu pikir aku sudah tidur? Pekerjaanmu belum selesai. Kalau tidak selesai, mungkin aku tidak akan berbaik hati," ancamnya seraya menatap Kyra tajam.
"Pria ini selalu berbuat seenaknya," batin Kyra.
"Kenapa kamu diam saja?"
"Bagaimana aku bisa pergi kalau kamu menghalangiku?"
"Kamu bisa melewatiku dengan cara lain," godanya sambil menyeringai. Dia mendekati Kyra.
"Caranya?"
"Pikirkan sendiri caranya," bisik Keenan. Hembusan nafas Keenan terasa pada telinga Kyra, menggelitik di sekujur tubuh gadis itu.
"Kalau begitu, jangan salahkan aku, ya." Kyra menginjak kaki Keenan. Pria itu merintih kesakitan.
"Kamu!"
"Aku hanya menuruti apa yang kamu perintahkan," ucapnya tanpa rasa bersalah.
"Berlutut dan minta maaf!" kata Keenan seraya mengangkat salah satu alisnya.
"Ogah! Kenapa aku harus melakukan itu?" Kyra melipat kedua tangan.
"Kamu benar-benar ingin melawanku? Baiklah, aku tidak akan tinggal diam." Keenan menarik Kyra, lalu mendorongnya ke lantai. Pria itu membawa Kyra keluar kamarnya.
"Guys, ini santapan makanan pembuka kalian," ucap Keenan. Kyra disambut dengan tatapan mereka yang begitu nafsu. "Kalian bisa bermain dengannya sesuka hati." Keenan pergi meninggalkannya.
"Kamu pria brengs*k!" Kyra terlihat emosi. Dia menatap mereka ketakutan.
"Itu salahmu sendiri karena telah melawanku, Gadis kecil," kata Keenan. Tatapannya sedingin es.
"Kita bertemu lagi." Cavero mendekati Kyra sambil mencium bibirnya dengan paksa. Dia melawan pria itu. Cavero tertawa. Harrison memberikan isyarat pada pria itu.
"Biar aku saja." Harrison merendahkan Kyra dengan merobek pakaiannya.
"Waktu itu kamu menolakku dan saat ini kamu adalah milikku." Tatapan matanya tajam. "Guys, aku yang akan menjadi raja untuk hari ini. Biarkan aku bersenang-senang dengannya sampai aku bosan."
"Baiklah, kamu boleh bermain sesukamu," ujar Cavero seraya meninggalkan Harrison.
"Devano, ayo kita pergi!" ucap Xyever sambil menarik tangannya. Ada rasa kasihan di hati Devano. Dia hanya bisa menatap Kyra dalam kejauhan.
"Apa bagimu, perempuan selalu bisa diinjak-injak?" Rasa amarah dalam diri Kyra memuncak. Dia sudah tak tahan lagi. Ada keinginan untuk mendorong atau melukai Harrison.
"Itulah keberadaan perempuan di mata kami."
"Kalian sungguh biadab dan tidak punya hati! Suatu saat nanti, kalian akan mendapatkan karma!"
"Hahahaha… Karma? Jangan mengatakan karma di depanku, Cantik! Aku yang akan menghentikan takdir itu sendiri." Harrison menggendong Kyra ke kamarnya.
Waktu telah bergulir cukup cepat. Air mata Kyra semakin lama tak bisa ia tahan. Dia hanya bisa menangis meratapi segala nasibnya. Inikah jalan yang ia terima? Kenapa takdir begitu kejam terhadapnya? Kenapa ia harus diperhadapkan oleh manusia-manusia yang tak punya hati seperti mereka?
Terlebih lagi, Harrison yang tak bisa melepaskannya. Tangisan Kyra semakin pecah. Ia tak tahu harus bagaimana. Mungkinkah, kematiannya merupakan jalan yang terbaik untuknya?
Kyra menangis histeris. Ia sudah tak peduli berapa lama ia menangis. Ia meronta-ronta saat Harrison menyentuhnya. Pria itu memperlakukan Kyra seperti binatang. Tubuh Kyra bergetar sambil memeluk dirinya sendiri.
Harrison menatapnya tajam. Ia tak pernah lelah memandang Kyra berkali-kali. Pria itu tak mengizinkan Kyra untuk memberinya ketenangan. Kyra merasakan kesakitan yang luar biasa. Harrison mengusap rambut Kyra. Lalu, ia mengecup bibir wanita itu.
Kyra terus memukul-mukulnya. Harrison tak peduli, ia melepaskan hasrat terpendamnya berkali-kali. Pria itu bergerak liar membuat Kyra tak berdaya. Kyra yang malang, sanggupkah ia bertahan dengan harga dirinya yang terinjak-injak?
"Mulai sekarang kamu adalah wanitaku! Aku akan mengatakan pada semua orang, tidak ada yang boleh menyentuhmu, selain aku," bisik Harrison. Dia memeluk Kyra dengan lembut.
Harrison telah menandai Kyra sebagai wanitanya, apa yang akan terjadi pada gadis malang itu? Akankah nasib buruknya takkan berhenti begitu saja?