Chereads / Love And Conspiracy / Chapter 10 - Kebersamaan

Chapter 10 - Kebersamaan

Gadis itu melingkarkan tangan Harrison pada lehernya. Cukup sulit untuk membawa Harrison seorang diri. "Viena!" panggil Xyever.

"Tuan muda Xyever." Viena menganggukkan kepala, bersikap sopan.

"Darimana kamu tahu kami disini?"

"Sebenarnya, saya tidak sengaja mengikuti kalian."

"Kenapa kamu mengikuti kami? Apa karena Harrison?" terka Xyever. Ia merasa Viena memiliki perasaan khusus terhadap Harrison. Gadis itu tertegun sejenak.

"Bu-bukan begitu, Tuan. Itu karena pekerjaan saya. Sebagai seorang pembantu di green house, saya tak bisa berdiam diri kalau ada sesuatu yang terjadi pada kalian."

"Benarkah?" Xyever tampak tak yakin. Ia merasa Viena menyembunyikan sesuatu.

"I-iya, Tuan muda. Saya tidak berbohong."

"Kalau begitu biar aku bantu."

"Maaf telah merepotkan tuan muda. Namun, saya sudah terbiasa menangani tuan muda Harrison," ucapnya dengan sopan.

"Kalau kamu butuh bantuan, aku akan menyuruh seseorang untuk membantumu."

"Terima kasih atas kebaikan tuan muda."

"Kalau begitu, bawalah dia pulang dengan selamat."

"Tuan muda Xyever tidak kembali bersama kami?"

"Green house bukan rumahku yang sebenarnya. Aku kangen rumahku."

"Berhati-hatilah, Tuan muda," kata Viena sembari menampakkan senyumannya yang cukup manis.

Walau Viena agak kesulitan membawanya, ia tak menyerah. Harrison tersenyum sambil mengecup pipi Viena. Tak hanya itu, ia tak berhenti mencium leher gadis itu. Sebagai seorang gadis, ia tidak bisa menyembunyikan perasaannya.

Namun, ia sadar akan posisinya. Mereka tidak berada di dunia yang sama. Viena memanggil Taksi untuk pergi ke green house. Karena tempat itu tak memperbolehkan orang asing masuk dengan mudah, Viena menyuruh sopir taksi untuk berhenti agak jauh dari tempat itu.

Sopir taksi sempat kebingungan karena tempat itu kosong dengan banyak rawa. Viena dan Harrison pun turun. Tak lama, Viena menelepon bodyguard pribadi green house. Gadis itu menyuruh bodyguard untuk menjemput mereka menggunakan mobil golf.

Sesampai di mobil golf, Harrison tak berhenti menggoda Viena. Bodyguard itu tak bersuara, walau ia melihat tindakan Harrison. Dia bekerja dengan profesional tanpa ikut campur kehidupan pribadi semua penghuni green house.

Viena membaringkan Harrison secara perlahan. Dia memberikan selimut untuk pria itu. Ketika Viena ingin meninggalkan Harrison, tangannya ditarik oleh pria itu. "Tuan muda!"

"Viena, tetaplah di sisiku! Temani aku. Hmm?" Tatapan mata Harrison membuat Viena tak berdaya. Setan apa yang merasukinya hingga ia rela melepaskan kesuciannya untuk pria itu.

Harrison mencium Vienna dengan buas. Ciumannya tak terkendali. Alkohol yang mendorongnya melakukan perbuatan bejat itu. Satu-persatu pakaian Viena terlepas. Suara menggema mengitari kamar itu.

Mereka menghabiskan malam yang indah dalam irama yang tak menentu. Suara Viena yang tampak sexy serta suara pria itu yang berat menyatu dengan sempurna. Viena menatap Harrison sambil mencium bibirnya dengan berani.

Harrison membalasnya, kemudian mengulangi apa yang mereka lakukan tadi. Viena merasa bahagia telah menjadi milik Harrison seutuhnya. Senyuman pada bibirnya mengembang. Ia tak peduli dengan masa depan mereka.

Ia merasa Harrison takkan mudah melepaskannya karena ikatan itu. Akankah apa yang pikirkan Viena terwujud? Dari dulu pria itu tak pernah mencintai Viena. Mungkin, Viena tak jauh beda nasibnya dengan Kyra.

******

Kyra membuka mata dengan gerakan lemah. Dia melihat seorang pria berdiri di sampingnya sambil memainkan handphone. Tiba-tiba Kyra terbatuk-batuk. Tenggorokannya terasa kering. Devano langsung melempar ponselnya, kemudian mendekati Kyra.

"Baby, kamu enggak apa-apa?" tanya Devano. 

"Ha-haus," kata Kyra. Suaranya lemah.

"Tunggu sebentar ya, aku ambilkan air dahulu." Devano menuangkan air ke dalam gelas bening yang kosong. Setelah itu, ia membantu Kyra untuk bangun dari tempat tidur. Air itu habis dengan beberapa kali tegukan.

"Kamu enggak apa-apa kan, Baby?" tanyanya. Ia menyentuh kedua pundak Kyra, tanpa sadar ia malah menekan bahu itu.

"Sakit," lirihnya.

"Apa yang sakit? Kepalamu atau perutmu?"

"Bukan itu."

"Lalu apa?"

"Pundakku."

"Ah, maaf, Baby." Devano mengecup bahu Kyra yang sakit. "Aku sudah menyembuhkannya. Selama ada aku, kamu tidak akan merasa sakit. Oh ya, aku akan membawakan makanan untukmu."

"Ti-tidak perlu."

"Kenapa?"

"Karena aku sangat kotor dan pantas mati."

"Baby, kamu tidak boleh berbicara seperti itu. Kamu harus makan."

"Aku bilang tidak mau. Pergi!" Kyra berteriak, walau suaranya serak. Akan tetapi, pria itu tak mau pergi.

"Oke. Aku akan pergi, tetapi pergi ke pelaminan bersamamu." Devano mengedipkan mata. Ia tersenyum lebar. Bukan menjawabnya, Kyra malah turun dari kasur.

"Mau kemana? Kamu masih sakit."

"Mau ke kamar mandi."

"Ya udah, aku antar."

"Tidak perlu. Aku enggak butuh."

"Aku hanya mengantarmu ke kamar mandi saja, apa salahnya, Baby? Aku tidak memintamu untuk menghadap orang tua kita." Devano menatapnya nakal.

Tak lama, Devano membantu Kyra ke kamar mandi. Kyra terlalu lemah menjauhi Devano. Pria itu membuka pintu kamar mandi, lalu menguncinya.

"Kenapa kamu ikut masuk?"

"Aku hanya ingin menemanimu, Baby. Aku tidak mau sesuatu buruk terjadi padamu."

"Aku tidak butuh itu."

"Tenang, Baby. Kita tidak akan berbuat mesum. Aku murni ingin membantumu," kata Devano.

Apa yang dikatakan Devano benar adanya. Walau bagian tubuh Kyra menggoda, bukan saatnya ia mengeluarkan hasratnya. Kali ini, ia sangat menghargai Kyra. Lima menit kemudian, Devano menuntun Kyra kembali ke kasur. Ia memberinya selimut seraya mengecup keningnya.

"Tunggu sebentar ya, Baby. Aku pergi dahulu untuk mengantarkan makanan untukmu," katanya sambil tersenyum manis.

"Terserah." Kyra membuang muka. Ia masih tak memedulikan Devano. Pria itu tak menyerah.

"Kalau cemberut begitu, entar bibirku terasa gatal untuk mencium kamu," bisik Devano sambil menyeringai. Kyra menoleh. Saat itu, Devano mencium bibirnya.

"Ka-kamu…" Devano pergi terlebih dahulu sebelum Kyra menyelesaikan kata-katanya.

Ketika Devano pergi ke meja makan, ia melihat Keenan yang duduk sambil menikmati roti. Dia sempat heran dengan kakaknya, pria itu masih sempat makan roti malam-malam begini.

"Kak Keenan!" panggil Devano.

"Hmm." Keenan terlalu sibuk dengan roti yang ia makan."

"Sepertinya, dia butuh makan. Apa yang harus kita lakukan, Kak?" tanya Devano.

Keenan masih menghabiskan roti yang ada di mulutnya. Ia paling tak suka berbicara saat makan. Devano menunggu Keenan dengan sabar. Air putih sebagai sentuhan akhir yang menandakan kalau dirinya telah selesai makan.

"Kemana si Viena?" tanya Keenan sambil berjalan ke arah wastafel.

"Aku tidak melihatnya. Mungkin dia sudah pulang ke grand royal house."

"Ya sudah, aku menyuruh beberapa pelayan dari sana untuk mengirim makanan kemari."

"Bagaimana kalau papa tahu, jika ada seorang perempuan disini?"

"Tenang. Aku akan menggunakan jalur rahasia. Kamu pikir, hanya papa yang berkuasa di rumah itu."

"Benar juga. Kak Keenan adalah anak pertama papa, tidak sulit baginya untuk bergerak diam-diam," batin Devano.

Tak lama, Keenan menghubungi seseorang. Terlalu mudah bagi pria itu menggunakan jalur rahasia. Makanan sampai dengan selamat tanpa halangan apa pun. Lima pembantu datang dengan membungkukkan badan dan kepala mereka.

"Langsung saja siapkan semuanya dengan rapi. Oh ya, satu lagi, Melisa dan Shana tetap disini. Ada yang ingin kukatakan pada kalian berdua."

"Baik, Tuan muda," jawab mereka serempak. Melisa dan Shana menundukkan kepala. Tatapan dingin Keenan membuat mereka semakin gugup. Apa yang Keenan lakukan terhadap mereka?