Chereads / Love And Conspiracy / Chapter 11 - Takkan terlepas

Chapter 11 - Takkan terlepas

Keenan menatap mereka tanpa henti. Mereka merasa telah berbuat kesalahan yang fatal. Melisa dan Shana berlutut memohon pengampunan. Kening Keenan berkerut. "Apa yang kalian lakukan? Apa aku menyuruh kalian untuk berlutut?"

"Maaf, Tuan muda. Saya tidak tahu apa kesalahan saya, hanya saja…"

"Berdiri semua!" seru Keenan memotong kata-kata Shana. Kedua gadis itu saling menoleh. Mereka sempat ragu. Namun, beberapa detik kemudian, mereka berdiri. "Aku sama sekali tidak ada niatan untuk menghukum kalian. Kalian tahu kenapa?"

"Ke-kenapa, Tuan muda?" tanya Melisa dengan gugup.

"Karena kalian memang tidak punya kesalahan. Saya memanggil kalian kemari karena mulai detik ini dan seterusnya, kalian akan mulai bekerja di green house."

"Kami siap mematuhi perintah tuan muda," jawab mereka dalam waktu hampir sama tanpa mengurangi rasa hormat.

"Jangan sampai berita ini tersebar. Kalau tidak, kalian akan tahu apa yang akan terjadi. Mengerti?"

"Siap, Tuan muda." Melisa dan Shana merupakan dua asisten rumah tangga yang dapat dipercaya selain Viena. Dari awal Keenan memperhatikan mereka saat berada di grand royal house.

"Ya sudah, cepat beres-beres. Oh ya satu lagi, jangan kembali ke grand royal house. Aku akan atur surat pemecatan kalian di sana," kata Keenan. Mereka pun menuruti semua apa yang dikatakan pria itu.

"Semuanya telah berjalan sempurna. Aku rasa, tidak ada yang perlu aku khawatirkan ke depannya," batin Keenan.

*******

Devano menyuapi makanan ke dalam mulut Kyra. Walau sempat terjadinya penolakan, pria itu tak menyerah. Semakin lama Kyra agak mulai terbiasa dengan kehadirannya. Devano tersenyum. Ia mencium kening gadis itu.

"Baby, kamu sangat pintar menghabiskan nasi ini. Kamu semakin menggemaskan." Devano mencubit pipi Kyra. Gadis itu agak sebal. Dia mengusap pipi yang disentuh pria itu.

"Pergi sana, aku ingin istirahat!" ujar Kyra. Bukan memenuhi keinginannya, Devano malah terbaring di sebelahnya sambil memeluk gadis itu. "Apa yang kamu lakukan?"

"Aku ngantuk banget. Mata terasa berat."

"Tidur di kamarmu saja. Kenapa malah tidur di tempatku?"

"Aku terlalu lelah untuk beranjak, apalagi hatiku terasa perih saat meninggalkanmu."

"Dasar tukang gombal!"

"Gombalin nona manis sepertimu enggak masalah. Lebih masalah kalau gombalin istri orang." Devano mengumbar senyuman manis. Lalu, ia mencium lembut pipi Kyra.

"Duh, terserah kamu." Kyra menutup mata. Ia tak memedulikan pria di sampingnya. Rasa kantuk mengusiknya sesaat. Devano melihat Kyra tertidur pulas.

"Peri manis ini sangat disayangkan jika jatuh pada pria lain, apalagi Harrison," kata Devano. Dia menyipitkan mata sambil berpikir. Kemudian, ia menyandarkan kepala Kyra pada bahunya.

Keesokan hari, Devano mengusap kedua matanya. Ia tercengang melihat dirinya berada di lantai. Badannya agak sakit, ia merasa didorong oleh seseorang. Ketika ia berdiri, ia melihat Kyra menatap jendela. Tatapannya kosong.

Devano memeluk gadis itu dari belakang. Dia membenamkan kepalanya pada leher gadis itu. "Good morning, Baby," ucap Devano bersuara lembut. Akan tetapi, Kyra terlalu asyik menatap jendela. Dia menganggap Devano tak ada.

"Baby, aku disini. Apa yang kamu pikirkan?" tanya Devano sambil mengecup leher gadis itu dengan mesra. Gadis itu tak merespon. Devano mencubit pipi Kyra dengan gemas. "Kamu ini kenapa? Masih marah denganku?" Devano memainkan rambut Kyra.

"Kenapa semua pria sama saja?"

"Aku berbeda, Baby. Kalau aku sama seperti kakakku, aku mungkin sudah menerkammu semalam, tetapi kamu bisa lihat sendiri kalau aku enggak ngelakuin sesuatu yang merugikan kamu."

"Aku lelah."

"Kalau kamu lelah, kamu bisa istirahat disini."

"Aku tidak ingin tinggal disini. Kenapa tidak ada satu pun yang mengerti perasaanku?" teriak Kyra. Ia tak bisa menahan emosinya lagi. Pada waktu bersamaan, seorang pria mengetuk pintu.

"Tunggu sebentar ya, Baby. Biar aku buka dulu," tutur Devano sambil membuka pintu.

"Suaramu begitu berisik! Benar-benar menggangguku!" kata Devano.

"Bodo amat. Kenapa kamu kemari?"

"Ini rumahku. Kamu seharusnya tahu itu."

"Aku enggak ingin melihat wajahmu." Kyra membuang muka.

"Kamu!"

"Kak Keenan sebaiknya kembali saja. Nona ini butuh istirahat." Devano tak ingin memperkeruh suasana.

"Ajari dia dengan baik, siapa yang ia ajak bicara."

"Aku tidak pernah takut denganmu! A─" Devano membungkam mulut Kyra dengan tangannya.

"Aku akan mengurusnya. Dia masih sakit, Kak."

"Jika dia melakukan sesuatu seperti ini lagi, bawa dia ke Chiano."

"Kak Keenan tenang saja." Tak lama, Keenan meninggalkan kedua orang itu.

"Siapa Chiano?" tanya Kyra.

"Anjing milik kak Keenan."

"Pasti anjing miliknya sama galak dengannya."

"Yah, begitulah. Aku aja pernah digigit Chiano. Dia hanya jinak dengan kak Keenan saja."

"Aku penasaran ingin bertemu anjing itu."

"Baby, daripada membahas itu, kenapa enggak membicarakan yang lain saja, seperti…"

"Bawa aku keluar dari sini!"

"Kamu beneran ingin keluar? Enggak betah, ya disini?"

"Hanya itu satu-satunya yang kuinginkan. Kalau kamu tidak mau, aku bisa melakukannya sendiri."

"Jangan, itu berbahaya! Kalau ketahuan kak Keenan, kamu bisa digantung."

"Aku enggak peduli. Aku hanya ingin keluar dari sini."

"Ah, aku punya ide."

"Apa idemu?"

"Kamu hanya perlu menurutiku saja. Aku yakin, kak Keenan tidak akan berkutik dan kamu bisa keluar dari green house. Bagaimana?"

"Apa yang sebenarnya ia rencanakan?" batin Kyra.

"Bagaimana, Baby?"

"Oke, aku setuju. Selama itu tidak merugikanku."

"Oh, tenang saja. Itu tidak akan terjadi," kata Devano.

Walau Kyra sempat ragu, tetapi ia mengikuti pria itu. Devano mengapit tangan Kyra dengan lengannya. Keduanya tampak serasi. Ketika mereka menuruni tangga, Keenan duduk di sofa sambil membaca koran. Pria itu menoleh dengan kening berkerut.

"Kalian mau kemana?"

"Kita mau pergi kencan, Kak."

"Kencan?"

"Sepertinya bakalan seru, aku akan ikut," ujar Cavero tiba-tiba. Ia baru saja tiba di green house dengan penampilan acak-acakan. Mungkin, ia terlalu buas semalam.

"Kak Vero lupa kalau kak Keenan tidak memperbolehkan kakak untuk mendekatinya?"

"Itu kan semalam. Kini, ia terlihat baik-baik saja."

"I-itu…"

"Gimana kalau kalian bermain sebuah permainan yang seru, dan dia menjadi taruhannya?" celetuk Keenan. Sebenarnya, apa yang ia rencanakan?

"Apa kau gila? Aku tidak sudi menjadi taruhan kalian!" seru Kyra. Ia berjalan ke arah Keenan, menatapnya dengan berani.

"Kenapa? Kamu tidak suka?"

"Pernahkan kamu menganggap seorang wanita berharga? Apa bagimu wanita hanyalah alat yang kamu mainkan sesuka hati?" Ia menampar Keenan dengan berani. Cavero menyeringai, baru kali ini ada seorang perempuan yang berani menampar Keenan.

"Beraninya kamu menamparku! Kamu bosan hidup, ya? Apa kamu tidak bercermin atas apa yang terjadi denganmu terakhir kali?" Keenan melotot tajam. Ia merasa harga dirinya terluka. Uniknya, Kyra melepaskan semua pakaiannya satu-persatu. Air matanya pecah.

"Ini, kan, yang kamu inginkan? Ambil semua, ambil! Aku sudah tidak peduli! Setelah ini, tolong lepaskan aku. Biarkan aku pergi. Aku hanya ingin pergi. Kumohon," kata Kyra.

Ia tenggelam dalam kesedihannya. Devano menatapnya sedih. Ia ingin memberikan selimut untuk menutupi tubuh gadis itu, tetapi Keenan mengambil pakaian Kyra yang berjatuhan di lantai. Lalu, ia memakaikan pakaian itu.

"Sampai kapanpun, permainan belum berakhir. Kamu harus ingat itu," bisik Keenan seraya meninggalkannya.

Kedua kaki Kyra terasa lemas, ia terjatuh. Dia tidak tahu, sampai kapan ia terlepas dari jeratan mereka. Akankah ia menerima nasibnya yang begitu malang?