Wajah pucat Kyra tampak memprihatinkan. Belum lagi, warna bibirnya yang memutih. Keenan, Harrison, Cavero, Xyever, dan Devano menatap wanita itu sambil menggelengkan kepala.
"Kenapa wajahnya sepucat ini?" tanya Devano.
"Ini semua salah Harrison," sahut Keenan, menatap pria itu tajam.
"Apa salahku?"
"Kamu yakin tidak merasa bersalah dengannya? Kalau kamu dapat mengendalikan dirimu, mungkin dia tidak akan seperti ini." Keenan menekan dada Harrison dengan jari telunjuknya.
"Benar. Ini semua salahmu. Kalau sesuatu terjadi padanya, aku enggak akan memaafkanmu," celetuk Devano. Ia terlihat kesal.
"Sial! Posisiku cukup rumit disini. Jika aku bertindak gegabah, Keenan akan melakukan sesuatu yang buruk. Aku harus memikirkan sesuatu," batin Harrison. "Aku akan bertanggung jawab. Biar aku yang mengurus perempuan ini."
"Tidak, biar aku saja. Kak Keenan, hanya aku yang bisa mengobati dan menjaganya. Kakak tahu sendiri, bagaimana perlakuannya terhadap nona ini?"
"Devano sialan ini membuatku ingin membunuhnya saja. Dasar penjilat!" batin Harrison. Ia menatap tajam. Sedangkan, Devano tersenyum miring.
"Aku setuju dengan Devano. Aku rasa di antara kita, hanya dia yang paling cocok untuk menemaninya," celetuk Xyever.
"Kenapa tidak panggil dokter saja untuk merawatnya? Kenapa salah satu dari kita harus repot-repot untuk merawatnya? Dia hanyalah perempuan biasa," kata Cavero.
"Kamu mau dokter itu tahu tentang green house?" ucap Keenan sambil mengernyitkan dahi.
"Apa salahnya, Keenan?"
"Kamu mau menanggung hukumannya?"
"Apa aturan lebih penting daripada nyawa seseorang?"
"Kamu lupa, apa konsekuensinya, jika salah satu di antara kita melanggar aturan itu?"
"Saat perempuan ini masuk ke green house, kita semua juga melanggar aturan. Apa bedanya?"
"Kamu ingin menentangku?" bentak Keenan.
"Aku tidak berani."
"Siapa yang berkuasa di sini?"
"Kamu."
"Katakan dengan jelas, siapa yang berkuasa disini?"
"Keenan Wilson," jawab Cavero sambil mengepalkan tangan. Sebenarnya, ia tak pernah menyukai Keenan dari dulu. Pria itu terlalu sombong dan semena-mena. Namun, ia tak punya pilihan.
"Sudah kuputuskan, Devano yang akan menemaninya."
"Keenan, aku…"
"Tidak ada pengecualian. Satu hal lagi, jika ada satu orang di antara kalian bertiga yang mencoba mendekatinya tanpa sepengetahuanku, aku tidak akan tinggal diam. Kalian mengerti?"
"Itu juga berlaku untukmu, Keenan," kata Cavero. Sebenarnya, ia cukup berani melawan Keenan dibandingkan pria-pria lainnya.
"Deal!" ucapnya dengan tegas.
"Vero, ayo kita clubbing aja!" ajak Xyever.
"Ayo!"
"Kamu bisa ikut dengan kami, Harrison!" ucap Xyever. Pria itu seperti memberikan isyarat.
"Itu bukan ide buruk. Beberapa hari ini aku tidak ke sana. Aku ikut kalian." Mereka bertiga meninggalkan Keenan, Devano, dan Kyra. Mereka tampak tak menyukai Keenan.
"Kak Keenan enggak ikut mereka?" tanya Devano.
"Aku lagi enggak mood. Aku ke kamar saja." Keenan menatap Kyra sebelum ia meninggalkan kedua orang itu.
*******
Cavero meminum segelas anggur hanya sekali tegukan. Ia tampak kesal. Apa yang Cavero rasakan juga dirasakan oleh Harrison dan Xyever.
"Semakin lama Keenan semakin sombong. Harga diriku seakan terinjak-injak," kata Cavero. Tatapannya tajam. Dia membanting gelas yang ia pegang hingga pecah.
"Apa kita akan diam saja seperti ini?" Harrison menuangkan anggur pada gelas kosongnya.
"Jika kita diam saja, Keenan akan memperlakukan kita seperti sampah," timpal Xyever.
"Apa yang harus kita lakukan? Menyingkirkannya? Aku rasa itu enggak mungkin. Kalian tahu sendiri, kita bertiga hanya segerombol semut, jika dibandingkan dengan kekuasaannya," ujar Cavero. Ia memijat pelipisnya seolah-olah tak peduli dengan darah pada tangannya.
"Tanganmu berdarah, obati dulu." Xyever memanggil salah satu pelayan di sana untuk membawakan kotak P3K. Tak lama, pelayan itu datang. Kebetulan, pelayan itu seorang gadis polos. "Balut lukanya!" seru Xyever.
"Baik." Pelayan itu membalut tangan Cavero tanpa tergesa-gesa. Pria itu menatapnya seraya tersenyum miring.
"Siapa namamu, Nona?" tanya Cavero.
"Kayla."
"Namamu cantik seperti wajahmu." Cavero menyentuh dagu gadis itu.
Wajah Kayla memerah, ia salah tingkah. Ia akui wajah Cavero sangat tampan. Siapa yang akan menolak ketampanan sang pangeran satu itu? Apalagi, tatapan mata Cavero membuat Kayla tak bisa berkutik. Kedua pria yang bersamanya menggelengkan kepala.
Mereka heran, dalam keadaan Cavero yang kacau, ia masih bisa merayu seorang gadis polos. "Udah sikat aja, Vero!" bisik Harrison.
"Kamu sangat manis dan menarik perhatianku, apa kamu mau bersamaku malam ini, Sayang?" tanya Cavero. Ia mulai menggoda Kayla.
"A-aku tidak keberatan," kata Kayla sambil menunduk malu.
"Kalau begitu, malam ini kamu milikku." Cavero mencium Kayla dengan rakus. Gadis itu masih polos, tidak terlalu mengerti soal ciuman atau hubungan antara pria dan wanita. Ia membiarkan Cavero membawanya ke motel.
"Parah si Cavero. Aku kira dia terlarut dalam kemarahannya. Ternyata, dia masih punya kesempatan untuk melakukan itu," kata Harrison seraya menggelengkan kepala.
"Yah, begitulah si Cavero. Dia tidak pernah lepas dari hobinya," sahut Xyever.
"Andai saja aku seperti Cavero yang gampang melupakan masalah yang ku hadapi," kata Harrison seraya menuangkan anggur ke dalam gelasnya. Itu sudah ketiga kalinya ia menuangkan anggur.
"Harri, kamu tidak apa-apa?"
"Hidupku begitu rumit. Kamu beruntung tidak menjadi anak dari ayahku," kata Harrison.
Sebenarnya, Xyever merupakan sepupu dari Cavero. Ia tak memiliki hubungan darah dengan Wilson, namun hubungan keluarganya dengan Wilson cukup erat. Dari dulu mereka terikat bisnis. Tak heran, Xyever sering bersama dengan keempat anak Edward Wilson.
"Tidak semua yang terlihat sempurna tidak memiliki masalah. Apa ini ada hubungannya dengan adikmu, Devano?"
"Aku tidak ingin membahas bajingan itu."
"Kenapa kamu tidak berdamai dengan Devano saja? Apa pun terjadi, dia tetaplah adikmu."
"Kenapa aku harus merendahkan diri? Itu akan membuat posisi Devano semakin kuat dan dia akan semakin menginjak-injakku."
"Aku rasa itu bukan kesalahan Devano sepenuhnya. Jalan yang terbaik untuk kalian adalah berkomunikasi dan saling memahami. Aku yakin hubungan kalian akan membaik." Xyever tersenyum merekah.
"Tidak segampang itu. Mulut lebih manis ketimbang tindakan. Aku tau kalian begitu dekat. Tak heran, kamu selalu membelanya."
"Bukan seperti itu. Kalian berdua kakak beradik. Sangat disayangkan, jika terpecah belah."
"Kalau ingin disalahkan, salahkan saja keberadaannya. Aku tidak akan pernah lupa sampai kapan pun." Kekesalannya kian memuncak. Ia mengepalkan tangan.
"Harrison, aku…"
"Xyever, kamu tidak tahu apa-apa soal kehidupanku! Kamu tidak berhak mencampuri urusanku."
Harrison meninggalkan Xyever seorang diri sambil membawa satu botol anggur yang masih utuh. Ia memukul-mukul tembok dengan kesal. Ia tak peduli tatapan orang-orang yang berada disekitarnya. Kedua lututnya tak berdaya hingga menyentuh tanah. Ia menyandarkan kepala pada tembok.
Dia meminum anggur itu seperti ia meminum air. Ketika berhasil menghabiskannya, ia melempar botol itu ke tempat sembarangan. Ia mulai tak stabil. Pandangan matanya tak jelas. Alkohol telah menguasai dirinya. Xyever melihat pria itu sambil menghela nafas.
"Kamu sudah mabuk, ayo kita pulang!"
"Aku nggak mabuk."
"Harrison, sadarlah!"
"Tinggalkan aku sendiri." Ia mendorong Xyever hingga pria itu terjatuh.
Harrison berjalan sempoyongan. Ia menabrak orang beberapa kali. Namun, bibirnya tersenyum saat melihat seorang gadis di depannya. Gadis itu menggelengkan kepala. Hatinya kacau melihat keadaan Harrison yang seperti itu. Siapakah gadis itu?