"Saya Vania Zahriya Arrabelia, dengan ini saya menerima permintaan Muhammad Arizal Arya.." Dengan gugup Vania mengucapkannya, walau ia tahu yang sebenarnya ia tetap ingin menangis. Ini kejadian pertama yang pernah Vania rasakan di hidupnya, dan membuat air mata yang dari awal ia tahan menjadi menetes tak sengaja.
"Ehh!" Vania berburu Menghapus air mata nya dari pipinya sebelum ditertawai oleh tamu. Tak ada yang tertawa malah tamun hadirin pun ikut menangis melihat nya. Vania kembali duduk di bangku nya sambil di elus oleh Mama Tita yang masih menangis jugas melihat anak gadis nya dilamar seseorang.
Acara dilanjut hingga sesi makan siang, acara ini dipenuhi dengan tawa bahagia dan tangisan. Namun berbeda ceritanya dengan satu orang yang menangis sedu di kamar hotel,
"AHHHH! salah gua apa?! Ga boleh bahagia gitu?! Kenapa harus liat dia sama kakak gua sendiri ahhh anj*ng lah!" tanpa sadar wildan melempar sepatu yang baru ia lepas ke lantai dengan keras. Tangisan nya terus keluar dari matanya dan beberapa pukulan ke dirinya sendiri.
Kesal? Marah? Atau kalah cepat?
Entah lah Wildan tak bisa mendeskripsikan masalahnya, bahkan ia pun merasa cemen dengan dirinya sendiri. Selama dia hidup di bumi ini, tak pernah dia menangis hanya karena masalah percintaan sekarang? Dia menangis kejar, rambutnya yang menjadi acak-acakan dan baju yang menjadi kusut bak wajahnya.
"Dekk!dekk!Wildannn! Will kamu dimana!" suara teriakan kak Ayu yang mencari Wildan terdengar hingga ke kamar hotel, sepertinya Kak Ayu berada tepat di depan kamar.
"Clek!" Pintu kamar hotel terbuka dan terlihat jelas Wildan yang menangis terduduk di lantai,
"Kamu kenapa?!" Kak Ayu berlari memeluk adik nya, ia menghapus air mata yang masih berbekas di pipi Wildan.
Wildan tak membalas pelukannya, ia hanya terdiam sembari menahan tangisnya. "Ga..gapapa kak tadi mata Wildan kelilipan.."
Wildan berusaha melepas peluk kak Ayu, padahal badan nya masih ingin di peluk dengan hangat.
"Wil?" Kak Ayu memindahkan arah wajah nya ke arah wajah Wildan yang penuh dengan air mata,
"Kakak kenapa nyari aku... " tanya wildan masih dengan suara seguk-seguknya dan seakan ia sedang baik-baik saja.
"Wildan ada masalah?" tanya kak ayu perlahan dan kembali memeluk Wildan lagi.
"Gapapa kak...wildan ga ada masalah kok.." ucap Wildan dengan sedikit susah karena menahan air mata dan nafas yang belum teratur. Namun ia tak sekuat itu dengan tatapan kak Ayu yang berubah menjadi gemerlap dengan elusan di punggung Wildan,
tetesan air mata nya pun mengguyur baju kak Ayu.
"Wildan ada apa? Jawab jujur pertanyaan kakak.."
"Ga-ga ada kok kak.." Suara sesegukan masih terdengar jelas.
"Kita bicarakan di mobil ya.." tanya kak Ayu sembari bangun dari peluk nya, ia sadar ada hal yang Wildan tutupi. Tak mungkin ini masalah kecil yang berdampak separah ini ke Wildan, pastinya ini masalah besar kalau tidak urusan hati pastinya.
"Entar aja kak..Wildan mau ngasih selamat ke Vania sama Rizal dulu.." jawab Wildan sembari membersihkan wajahnya dengan telapak tangan nya. "Disini aja kak..Wildan bakal cerita kok.." Wildan menahan Kak Ayu sebelum menarik tangan Wildan keluar dari kamar hotel,
Kak Ayu menutupi pintu kamar dan menguncinya, ia duduk disamping Wildan di atas kasur "Ada masalah sama rizal lagi?"
"Ehh....ga....ga....kok!" dengan suara patah patah Wildan menjawab nya
"Kakak ini kakak mu jadi tau apa yang adiknya rasain! Cerita Wil! Cerita!" Kak Ayu mulai kesal karena Wildan masih berpura-pura menutupi masalahnya,
"Kakak disini ada buat kamu! kakak ga pernah beda bedain adek will!" ucap kak ayu dengan nada yang sedikit tinggi lagi.
"Iya kak...Wildan ada masalah sama kak Rizal.." Wildan mengalah dan ber jujur saja, ia tak berani untuk membohong lagi. Takut kak Ayu emosi dan membahayakan calon keponakan nya.
"Masalah apa?"
"Rizal seenak jidat sama cewek.." jawab Wildan yang masih pusing menceritakan dengan jelas masalahnya,
"Seenak jidat maksud nya.." Kak Ayu pun sedikit terkejut dengan jawab Wildan yang sedikit pedas.
"Kalian ada masalah apa sih sebenernya?!" Kak Ayu langsung menancap gas, Wildan masih saja menutupi masalah dengan ngomong ngelantur tak jelas.
"Udah lewat tiga tahun ini Wil! Masa kalian masih berantem karena hal itu," Kak Ayu mengacak rambutnya kesal,
"Ga enak Wil diem dieman satu rumah tuh!"
"Ga enak rasa nya ngumpul malah jadi kaya asing!"
"Kakak pernah ga nanyain gimana perasaan Wildan?! Pernah ga kakak cari tau kebenaran semuanya?!" Wildan berdiri dari duduk nya dan mementak kaki,
"Kakak pikir cuman rizal anak kesayang doang yang boleh bahagia?! Cuman kak ayu doang yang boleh bahagia?!"
"HAH! Wildan cuman boleh nontonin kalian aja gitu?!" Seketika Tangisan Wildan pecah kembali bak balon meletus. Sekarang tangisan nya lebih tajam bahkan raungan tangisan pun terdengar jelas dan lantang. Tenggorokan Wildan sudah sangat sakit karena menangis dari malam hingga siang hari. Kepala nya ingin pecah rasanya.
Masalah bukan hanya percintaan sekarang, tapi kuliah nya, mimpi nya, bahkan keluarga nya terus menusuk nya setiap hari. Bahkan rumah bukanlah tempat yang nyaman lagi untuk pulang bagi Wildan. Pulang ke rumah hanya untuk menghormati orang tua yang telat merawat nya saja. Bagi orang jika pulang adalah tempat peristirahatan dan tempat menumpah kan masalah dari luar sembari saling bercerita dengan orang yang kita percayai. Tapi beda dengan yang terjadi di kehidupan Wildan.
Setelah masalah tiga tahun yang telah berlalu merubah arti rumah baginya, bahkan tak ada lagi tempat yang benar-benar membuatnya nyaman untuk menenangkan pikiran nya kecuali gedung kosong. Jika berlama di asrama nya ia akan merasa orang asing, jika berlama di kantornya dan tak kembali ke rumah nya ia akan di cap anak tidak tau diri yang hanya meminta uang dan hidup dengan kekayaan keluarga, menjadi berandalan karena keluar malam dan tak kembali kerumah. Serba salah rasanya, pulang tak nyaman tak pulang dikira berandalan yang lupa diri.
"KAKAK PERNAH MIKIR GA, SAKIT GA HATI GUA DIKUCILIN DIDEPAN SEMUA TEMEN-TEMEN MAMA? NAJIS BANGET GITU DI KELUARGA INI?!" Suara Wildan tak sengaja meninggi bahkan menjadi teriakan yang lantang beriringi oleh raungan dari tangis nya.
Wildan terdiam sebentar sembari menelan terus air liur nya, tenggorokan ya sudah sangat pedih tapi pedih di hati dan rasa marah nya sudah di atas rata rata. "Kayanya kalian baru seneng kalo gua ga ada ya.." Wildan menarik kunci mobil dan handphone diatas meja,
"WIL!" kak ayu meraup badan Wildan sebelum ia benar keluar dari kamar hotel, satu yang di pikiran kak Ayu, bagaimana jika Wildan sedang kesetanan dan melakukan hal di luar nalar. Walau ia tau Wildan tak sebodoh itu, tapi siapa yang tau jika orang sudah kesetanan dan gila.
"Kakak tau kakak salah, kakak minta maaf Willl!" Kak Ayu memeluk punggung belakang Wildan yang terasa sangat bergetar, bahkan sesaat kak ayu memeluk nya rasa sekujur badan Wildan bergetar hebat. Oh tidak bisa bisa Wildan akan demam jika ia terus menangis.
Wildan terdiam, langkah kaki nya tak bergerak sama sekali tetapi tangisan nya masih jelas bahkan kali ini lebih sesak dari tangisan sebelum ini.
"Kakak ga bedain siapa pun Wildan! mama papa ga berubah, Wildan masih anak bungsu kesayangan kitaa…"
"Wildan inget kan waktu Wildan lahir Rizal selalu cium pipi Wildan..selalu gendong Wildan...bahkan selalu jagain Wildan, malah lebih ketat jagain Wildan dibandingkan jagain kakak cewe nya…" Kak Ayu perlahan mengucapkan kalimat nya sembari mengusap punggung Wildan,
"Dulu! Itu dulu! bukan sekarang!"
Kak Ayu terdiam, ia mencari cara lain membuat segukan Wildan menghilang. "Wildan-"
"Berhenti ngebujuk gua! gua bukan anak sd yang bisa lu bohongi kak!" Wildan melepaskan dirinya dari kak Ayu, badannya yang besar akan susah untuk kak Ayu tahan lagi dimana kondisinya tenaga Wildan sedang membara dibanding tenaga nya yang sedang berbadan dua.
"Jangan peduli ke gua kalo simpati lu cuman karena ga tega! bukan peduli!" Wildan hendak membuka pintu hotel namun tertahan, kak ayu menarik lengan gagah Wildan dan memeluk badan wildan dari depan. Bahkan ia melupakan dirinya yang sedang mengandung.
"WIL! KAKAK GAMAU KEHILANGAN KAMU WIL! SEMUA ORANG DI RUMAH PEDULI SAMA KAMU! GA ADA YANG GA SAYANG! ORANG YANG NGUCILIN KAMU KARENA IRI SAMA KAMU! ANAK ANAK MEREKA GA ADA YANG BISA MASUK SEKOLAH IMPIAN NYA! MAU MEREKA NYOGOK LAH APA LAH TETEP GA BISA!"
kak Ayu menarik nafas nya dahulu dan menurunkan nada bicaranya, "Kamu ga bayar bahkan cuman ga sengaja ikut tes, buktinya lulus kan? itu wil yang buat mereka iri! anak mereka mentok ke hal lain, kamu?"
Wildan tak membalas kalimat ucapan kak Ayu, dia terdiam dan menghapus air mata yang masih membasahi pipinya.
"Rizal kan anak nya gengsi Wil..kamu tau sifat dia kan…"
"tapi kalian ga ada yang tau sifat aku." Batin Wildan,
"Rizal ga pernah jadi kesayangan, semuanya equal ga ada yang beda beda. mau kamu, mau kakak, mau rizal. semuanya sama..ga ada orang tau yang ngebedain anak-anaknyaa.."
"Tapi kalo ada apa apa, papa bakal orang pertama yang ngelindungin Rizal." Batin Wildan dan masih membungkam mulutnya.
"Buktinya apa yang kamu mau-"
"Ga!" Wildan membuka mulutnya,
"Apa pun yang-"
"Kamu suka sama Vania?" Kak Ayu melepas pelukan nya dari badan Wildan,
Set
ruangan menghening, tak ada jawaban dari Wildan sama sekali. Mata kak Ayu tertuju dengan bola mata Wildan, kepala Wildan pun menunduk sedikit ke bawa. Oke berarti benar.
"Kamu suka sama Vania?!" Nada kak Ayu mulai naik lagi,
"Kakak tanya sama kamu Wildan!"
"Kamu suka sama Vania!"
Kak Ayu menggoyangkan seluruh tubuh Wildan, tangan nya tepat di bahu Wildan. Tak ada jawaban sama sekali, bahkan Wildan hanya menunduk dan terdiam membungkam.
"WILDAN!"
"KAMU SUKA SAMA VANIA!"
"Iya kak iyaa!" Wildan terpaksa mebalas dan menjawab dengan jujur hal yang sebenarnya,
"Jadi masalah kamu karena cewe?! Bukan masalah embel-embel ga jelas kamu?!" Kak Ayu menatap sini bola mata Wildan.
"Ga-"
"Kamu kalo suka sama cewe jangan ngelampiasin ke hal lain!"
"Mikir ga kamu cara kamu kayanya gini bahaya in diri kamu! diri orang lain!" Kak Ayu menoel lengan Wildan dengan kasar,
"Mikir ga, ada tamu yang liat kamu nangis kan bocah disaat acara kakak nya lamaran?!"
"Mikir Wil! MIKIR!" Kak ayu meletakan dua jari di kepala nya, dengan kesal ia membentak kaki.
"Jangan egois lah Wil!"
"Egois?" Wildan mengangkat lehernya, sekarang matanya sejajar dengan bola mata kak Ayu. "Gua egois?" Wildan mengangkat satu alisnya dengan tatapan yang sama sinis,
"Terus Rizal ga egois kalo ngambil gebetan orang?!"
"Memang cuman kamu aja yang ditinggal gebetan?!" Kak Ayu memajukan satu langkah kedepan, mendekatkan dirinya dengan Wildan.
"Lu mikir seberapa perjuangannya Rizal ngedapetin vania, she deserve better than you Wil!"
"Perjuangan apa?! selama ini gua anjir yang berjuang! dia apaan, dateng nembak terus ngelamar! perjuangan nya dimana?!" Wildan memajukan selangkah kakinya,
"Setidaknya dia orang pertama diantara kita yang nerima perjodohannya!"
Wildan terdiam, mulutnya seketika menutup sebelum kalimat nya terlanjut. Apa maksud kak ayu? apa maksud dari 'orang pertama yang menerima perjodohan'? apa yang Rizal lakukan?
"Dia nurutin apa kata mama papa, di jodohin sama orang yang ga pernah dia ketemu dan langsung ngambil jalur serius! lu apa disini? nganter aja bangga Wil?!"
Wildan tak membalas kembali ucapan kak Ayu. pikiran nya membeku tak ada ucapan atau satu kata pun yang wildan keluarkan. Langkah kaki nya memundur, tatapan nya menjadi kosong tak ada arti. Sebelum Wildan tahu hal lain nya, ia bergegas keluar dari kamar ini. Kondisi kak Ayu dan Wildan sedang di puncak emosinya masing-masing dan tidak memungkinkan lagi, jika wildan terus berada di kamar ini. Bisa-Bisa perang lain bisa terjadi lagi.
Baru sepuluh langkah Wildan keluar dari kamar, ada seorang pria yang melewati nya dengan tatapan sinis, "Gimana Wil? seru kan game nya? semoga yang menang boss gua ya.. jan sampe aja lu yang menang!" ucap Arlas yang keluar dari lift melewati Wildan,
"Pengen nya boss gua yang menang biar duit gua tambah lancar..." ucap laki laki itu sambil menatap sinis ke wildan.
"Sukses ya masuk ke dalam permainan!" ucap Arslan mendekatkan bibir nya di kuping Wildan,
"EH ANJENGGG......!" tanpa aba-aba apa pun Wildan langsung melayangkan satu pukulan tepat dimuka Arslan dan dibalas oleh Arslan namun sebelum tamparan itu melayang di pipi Wildan. Kak Ayu menarik badan Wildan dan tamparan melayang ke arah lain. "Wil udahh Wil!" Kak Ayu berusaha menarik badan wildan menjadi dari Arslan. Tolong lah badan Wildan ini besar, mana tenaga nya sedang extra pasti akan sulit untuk kak ayu menarik badan Wildan.
"Laki kok main tangan sihh! gimana cewek mau sama lo kalo kerjaan nya main tangan....." ucap Arslan Sembari mengelap darah di ujung bibirnya, belum lah kata katanya selesai langsung melanjutkan ucapan nya dengan cepat "Apalagi Vania...upsiess..." kata itu pendek tapi nyelekit
Tangan Wildan hampir melayang lagi ke arah Arslan tapi teriakan kak ayu dapat menghentikan tangan Wildan "ARSLAN! " teriak kak ayu kepada Arslan.
Arslan sudah seperti keluarga bagi keluar Dedi, Arslan seperti tangan kanan papa wildan tapi sangat terkejut kak ayu melihat sikap Arslan yang sangat berani menyebutkan kalimatnya. Walau Kak Ayu sedang emosi dengan Wildan tapi ia tak sekejam itu melihat adik nya di hina oleh anak buah papa nya sendiri.
Seketika ruangan hening, belum sampai satu menit ruangan itu hening ada suara bising datangi dari lift. Seoarang ibu yang sedang berteriak girang keluar dari lift sambil membawa sosok anak bujangnya dengan tawa bahagia.
"Ya allah Rizal! akhirnya tau kamu bisa sama Vania!ahhh mama ga sabar kalian cepet cepet sah deh biar mama ngerasa gendong cucu!" ucap mama Rita sambil memeluk Rizal dengan sangat bahagia.
"Vania masih kecil..ga boleh nikahin anak dibawa umur!" ucap Wildan sambil jalan ke arah mama nya. "WILDAN! " sentak mama Rizal menatap anak bungsunya yang tepat berada di depan hadapannya.
"Lah! aku bener kan? kalo nikahin anak dibawah umur sama aja kaya pedofil dong?" ucap Wildan sembari menaikan alis kanan nya dan nada bicara yang santai. Sebenarnya santai di mulut tapi perih di hatinya. Mungkin jika organ hati manusia benar-benar berbentuk, sepertinya bentuknya Wildan sudah pecah dan hancur tak berbentuk kembali. Hatinya seperti kaca yang rempug bak di injak-injak dan di lindas beribu kali, semua kata kata perih terngiang di pikiran Wildan. Bahkan kejadian tiga tahun lalu serasa berputar jelas di pikiran nya. Ini rasanya menjadi asing di keluarga sendiri?
"Arslan..papa dimana ya? " tanya Rizal ke Arslan. Omongan Wildan yang barusan di lontarakan hanya sepertinya angin saja bagi Rizal bahkan mama nya sendiri. Bahkan mereka bertiga pergi begitu saja tanpa memikirkan ucapan Wildan.
Ah tolong lah Wildan tahu dia seorang pria dewasa, jika dia menangis di area lorong hotel di akan dinilai seperti anak kecil ya merenggeng. Tapi sepertinya hal itu bukan lah point utamanya lagi, seketika air mata nya turun bak air terjun. Tangan bergetar cepat sesaat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, wanita yang melahirkan nya bahkan yang merawatnya saja hanya melewatkan dirinya tanpa bilang sepata kata pun. Mungkin bagi orang itu biasa saja, tapi bagi Wildan itu adegan palingan perih dan paling membuat luka dalam. Perihnya,tak ada satupun manusia yang memeluk atau memberi satu patah kalimat pun.
Tangan nya yang masih bergetar dan kepala nya yang mulai pusing karena tekanan dari tangisan nya. Wildan memilih meninggalkan area kamar dan masuk ke dalam lift tanpa menyusul ibunya, bahkan ia menurunkan egonya untuk melontarkan emosinya.
Kak Ayu tak bisa mengejar Wildan. Kak Ayu ditahan mama nya dan melarang dirinya mengejar adik bungsunya. "Ma Stop lah!" kak Ayu membanting lengan nya hingga terlepas dari genggaman mama nya,
"Apa sih kamu in!i biarin lah dia mau kemana terserah dia udah gede dia tau yang bener mana yang salah." ucap Mama Rita dan berusaha meraup tangan kak Ayu kembali. Hohoho apa yang merasuki pikiran mama Rita? sampai ia melupakan rasa rindu nya ke anak bungsunya? padahal baru semalam ia menahan tangis karena merindukan Wildan.
" MAMA KEJAM YA ? KALO KAKAK JADI MAMA, KAKAK BAKAL JADI ORANG YANG PALING MALU UNTUK JADI SEORANG MAMA!" Kak Ayu sontak berjerit,
"MANA ADA SEORANG MAMA YANG NGELUPAIN ANAKNYA, NYAKITIN ANAKNYA, NGATAIN ANAKNYA, GA BERBUAT ADIL KE ANAK NYA SENDIRI!" Kak Ayu menambah jeritan nya.
"ANAK KAKAK NYESEL PASTI PUNYA NENEK YANG GA PUNYA HATI SAMA SEKALI!" Sentak kak Ayu sambil berteriak, ia membanting pintu dan mengejar Wildan yang sudah turun ke lantai bawah.
Pikiran nya sudah pergi kemana-mana, ia tak tega melihat tangan Wildan yang sudah bergetar. satu hal yang terus menghantui pikiran Ayu. Bagaimana jika Wildan mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi dan migrain nya kambuh?
Ayu menekan tombol turun untuk lift sebelah kanan, namun hampir lima menit untuk lift baru terbuka. semua kegelisahan nya terus memukul dirinya, bahkan sepertinya anak dikandungan nya pun memperdulikan calon Om nya.
sedangkan Rizal malah sibuk dengan Arslan yang entah membahas topik tak jelas, dan mama Rita hanya membeku seorang diri. Hatinya baru dipukul oleh ucapan anak perempuan pertama nya. Sepertinya ucapan nya memang benar. apakah ia setega itu? apakah Wildan tak akan menganggap dirinya seorang ibu lagi? pedas sekali perlakuan dirinya ternyata. dan ia menyadari itu setelah kuping nya mendengar jeritan anak nay sendiri.
Lift Wildan sudah sampai di lobby hotel, betapa terkejutnya Wildan. Sosok yang ia jumpai disaat pintu lift terbuka, Vania.
sepertinya ucapan Vania adalah doa, sebelum pintu lift terbuka. Vania sempat berbatin untuk menyusul Wildan ke lantai atas, "Wil , i have something to say! " Batin Vania yang gusar karena melihat Wildan yang menangis lari ke kamar atas disaat Vania masih sibuk dengan tamu.
Namun sekarang ia malah membeku tak terdiam melihat orang yang ia pikiran kan berada tepat di hadapan nya, namun sepertinya Doa Vania kurang lengkap. Ia tak meminta bertemu Wildan dengan keadaan menangis deras dengan badan yang bergetar hebat.
"Kakak!"