Chereads / MILO(Akmil dan Akpol ku) / Chapter 25 - Bagian ke Dua puluh Lima: Pembukaan

Chapter 25 - Bagian ke Dua puluh Lima: Pembukaan

Vania mengangkat alis kanannya, "gimana? Iya ato ga?!"

"Hah?!Van....kamuu..ka," Kalimat Wildan menjadi sangat terpath-patah, bahkan detak jantung nya sudah sangat kacau.

"Ga! Aku buka siapa siapa dia lagi!" Jawab Vania tegas memotong kalimat Wildan yang tak kunjung terselesaikan dan membuat Wildan tambah tersentak diam.

"Ta....taa...tapi kan?" Mulut Wildan menggugup, ditambah sekarang kepala Wildan seperti terbakar abis abisan.

"Gimana?" jawab Vania dengan nada santai melipat kedua tangan nya di dada.

'Gua sakit hati Will' Mungkin hanya Kalimat itu yang Vania bisa ungkapkan didalam hatinya.

Wildan tak begitu berani langsung menjawab pertanyaan Vania di kondisi otak nya yang ngebul ditambah hatinya yang memanas. "Kita....nyari cafe bentar boleh?" Tanya Wildan perlahan menanyakan ke penumpang di sampingnya untuk mencari tempat agar otaknya bisa berjalan sedikit.

"Hmmm....okey." Vania menganggukan kepala nya dan menggunakan seatbelt nya.

Wildan perlahan memundurkan mobil dari parkiran supermarket ini, dan menjalankan mobil nya untuk pergi mencari salah satu cafe kecil. Sejalanan pikiran Wildan tambah kacau mana mungkin sekarang yang mengajak nya pacaran malah Vanianya sendiri, orang yang tidak terbayang oleh Wildan.

Wildan memilih salah satu cafe terdekat yang ia tahu dari area ini, nama cafe nya MiniCafe. Salah satu tempat yang Wildan datang jika sedang ingin keluar dari rumah.

"Mau pesen yang mana Van?" Tanya Wildan,

Mereka duduk didekat jendela yang mengarah keluar dan langsung terarah melihat pemandangan Bandar Udara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II dan LRT yang lalu lalang.

Vania hanya menganggukan kepala nya dengan tatapan yang masih melihat-lihat ke buku menu , "Aku mau es coffee lavenders!" Ucap mereka berdua dengan sama waktu,

"Hmm es coffee lavender nya dua ya mas." ucap Wildan ke barista yang terperangah melihat customer nya malam ini sedikit rada-rada. baru kali ini ia mendapatkan customer yang mengucapkan kalimat yang sama dengan waktu yang pas bahkan intonasi yang hampir sama.

"Siap mas ditunggu ya!" ucap barista itu sambil mengambil buku menu dan pergi.

"Van..ke-kenapa mau nyuruh aku jadi pacar kamu?" ucap Wildan dengan suara yang sedikit bergetar dan tak berani menatap Vania yang duduk di sampingnya,

"I wanna play this game with you!" ucap Vania sambil melepas ikat rambut nya.

Seketika mata Wildan tertuju dengan gadis di sampingnya yang sedang melepas ikat rambut, sentak badan Wildan terdiam menatap sosok di sampingnya yang begitu panas bagi dirinya sedangkan di luar sama sekali tidak panas, udara juga lagi enak enaknya dengan angin sepoy sepoy.

"Ajib gile! Ini Vania?! Wahh hot bangett sih! bisa bisanya Rizal bilang dia ga hot.." Batin Wildan meneguk air liur nya dengan kasar,

"Ehh ehhh pikiran gua kenapa jadi treveluko?" Wildan langsung memukul lengan nya berusaha menyadarkan dirinya dari halusinasi yang terjadi di dalam otaknya.

"Kak?" Vania menarik gelang ikat rambutnya ke pergelangan tangan nya, ia menyadari apa yang Wildan lakukan setelah arah mata nya pindah ke Wildan yang sedang memukuli muka nya sendiri.

"Eh eh...sorry sorry!"

"Gimana-Gimana tadi maksud kamu?Wanna play game, Whats game?" Tanya Wildan yang masih berusaha menjauh kan pikiran yang hampir nakal.

"Maaf mas ini minumannya.. " ucap barista yang datang sembari menaruh dua gelas coffee di atas meja yang Vania dan Wildan duduki,

"Ohh iya iya makasih ya mas. " balas Wildan. Barista sudah pergi dan Wildan harap tak ada hal lain yang akan mengganggu mereka berdua untuk menyelesaikan hal yang baru mereka dengar.

"Kak rizal ngajak aku main game kan? Yaudah sekalian aja dia mainin aku, aku juga mainin dia biar sama sama impas." Vania menarik gelas miliknya, dan meletakan sedotan di bibirnya.

Wah wahhh sepertinya Vania yang tak pernah terlihat mulai aktif ya. Wildan benar-benar terkejut dengan balasan Vania, mana mungkin Vania yang biasanya polos bisa jadi anak yang sefrontal dan sepanas ini kelakuan nya.

Bahkan Vania yang menyeruput coffee melalui sedotan saja memiliki aura-aura panas bagi Wildan.

"But Van-" belum saja kalimat nya terselesaikan Vania sudah memotong,

"Kenapa sih natep nya tajem Banget?" Vania menyadari jika dari tadi Wildan mengawasi nya, bahkan dengan tatapan yang sangat tajam.

"Vania yang berdiri di stage sama Vania yang duduk samping kakak beda ga?"

Tenggorokan Wildan seakan di setil oleh tawon besar, ia membisu beberapa detik sebelum Vania melanjutkan kalimatnya,

"It's Me! The real Vania, yang asli kok nya. Aku bukan anak-anak yang alim kebangetan kok, i just scared that Rizal will leave me when he know a real me." ucap Vania yang membuat Wildan lebih terkejut bahkan sekarang mulut Wildan terbuka lebih lebar.

Wildan berusaha mengucek mata nya berkali-kali "Van..Seriously ini kamu?"

Tenggorokan Wildan seakan di setil oleh tawon besar, ia membisu beberapa detik sebelum Vania melanjutkan kalimatnya,

"It's Me! The real Vania, yang asli nya.

Aku bukan anak-anak yang alim kebangetan kok, i just scared that Rizal will leave me when he know a real me." ucap Vania yang membuat Wildan lebih terkejut bahkan sekarang mulut Wildan terbuka lebih lebar.

Wildan berusaha mengucek mata nya berkali-kali "Van..Seriously ini kamu?"

Wildan ingin terkejut dengan Vania tapi ia lebih memilih untuk mencerna lebih jelas maksud dari akhir kalimat Vania,

"Wait a minute...kenapa kamu harus takut rizal ninggalin kamu, Apa karena you love him ? Dan kamu mau buat aku jadi pelampiasan ?"

Wildan mengakhiri kalimatnya dengan satu alis yang mengangkat,

"Come on kak! i don't have any feeling for him, dia jauh dari tipeku…aku kaya gini karena menghargai orang tua ku, kalau bukan karena orang tuaku aku juga ga mau, rizal tuh kaya anj*ng yang gatau kandang buat main. Dia pikir selama ini aku gatau?"

Sebelum Vania melanjutkan kalimatnya, ia menarik nafas kasarnya,

"Aku tau siapa kak Rizal yang sebenernya, udah sering kok liat di Instagram storiesnya isi dugem semua terus mabuk mabukan dan chatan sama banyak cewek yang kegatelan lah." Akhir nada nya seperti jeritan kecil dari hati nya, yang sudah ia usahakan untuk menjadi masalah nya sendiri. Tapi sepertinya rasa sabar seseorang akan pecah sewaktu waktu bukan?

"Kenapa kamu ngelakuin ini karena orang tua? kalo nyakitin diri kamu ga usah lah!" Wildan dari tadi memperhatikan ucapan Vania, merasa sangat kesal. Bisa-bisanya Vania masih mau di jodohkan dengan kakaknya yang begitu kejam, bahkan bisa disebut Vania dan Rizal tak akan pernah cocok.

Arah mata Vania menatap lampu jalanan dan LRT yang sedang melintas, sekarang ia merasa kembali di posisi ia masih anak berumur 10 tahun. Beribu orang yang lebih dewasa di atas nya lebih sering menghabiskan harinya dengan pacar nya dan terkadang melupakan orang yang lebih dekat dibandingkan kekasihnya.

Terkadang ia sampai muak jika berita di TV kasus-kasus gadis yang dilecehkan, gadis yang dipukuli pacar nya bahkan kekejaman yang lebih tragis. Bukan karena ia tak kasihan, tapi perasaan nya lebih ingin marah. Kenapa ada namanya perasaan? Kenapa ada nya Cinta? Jika dua hal itu bisa membuat kejahatan kejam.

Jika di pikirkan, bagaimana dengan orang yang lebih dekat dengan korban nya? Siapa yang tidak akan terpuruk melihat anak kesayangan nya dilakukan seenak jidat dengan orang yang tidak membesarkan nya susah payah.

Pikiran Itu terbentuk saat ia menginjak umur 11 tahun.

Sekarang umur nya yang terus menambah membuat pikiran nya lebih kritis.

Seorang Gadis dewasa yang sebentar lagi menginjak dewasa nya lebih menyerahkan urusan cinta ke orang tua nya, bagi seorang Vania hal itu akan membuat kedua orang tuanya sangat bahagia dengan pilihan terbaik yang mereka pilihkan untuk anak kesayangan nya dan setidaknya apa yang terjadi kedepan itu lah yang mereka pilih untuk anaknya.

"Ada yang pernah ngomong, if you wanna have happy life…so love and make your parents happy because only their beliefs can keep you going forward, Untuk diri aku ya masalah kedua setidaknya aku bisa membuat mereka bahagia....oh yaa buat yang kata kakak aku mau buat kakak jadi pelampiasan itu ngakak sih hahahaha," Vania terkekeh setelah ia menjeberkan kalimat awalnya yang dalam.

"Mau tau satu hal ga?" Vania memutar arah Wajah nya ke Wildan,

Seorang Wildan yang sedang terdiam dengan lamunan nya, hanya ikut mengangguk saja.

"For the first time i take a look at you, i feel something different sihh dan waktu pertama kali aku ketemu kakak aku selalu pikir kalo kakak tuh yang bakal dijodohin sama aku ehh tau taunya yang nembak aku malah..."

"Rizal." Singkat padat jelas Wildan mengucapkan nya.

mata nya membisu menatap satu objek di hadapan nya dengan mulut yang ikut membungkam, tapi tidak dengan hati nya yang ricuh bak cacing kelaparan.

Perasaan Wildan bak nano nano, semuanya bercampur jadi satu. Senang? Sedih? Marah? Atau menyesal? Semua jawabannya hanya ada kata, Iya.

Bagaimana Wildan tak terkejut, Vania yang sering dia lihat dengan sosok yang lugu berubah dengan yang dilihat sekarang. Mungkin sebelumnya Vania bisa disebut sedikit polos dengan sikap clingy nya namun sekarang dia seperti orang yang lebih tua dari pada Wildan dalam segi pikiran.

Wildan membuka mulutnya perlahan "Kamu pikir aku yang bakal,"

"Iya soalnya dari awal kamu yang lebih keliatan PDKT sama aku, malah lebih banyak spend time sama kak wildan dibanding Rizal...." ucap Vania dengan sedikit terkekeh, malu sebenarnya jika ke geeran nya harus diberitahu ke target yang dia kira.

"Kata Kak Ayu kamu kan di jodohin sama Rizal, tau kan?"

Vania menganggukan kepalanya. Hampir eneg Vania mendengar kalimat perjodohan di kupingnya.

"And you are already engaged with Rizal....how come you can...?" Sangking bibirnya yang membeku, Wildan dengan beribu pertanyaan yang ingin ia lontarkan menjadi dua pertanyaan yang singkat-singkat. Bisa jadi yang keluar dari mulutnya hanya asal karena sekarang pikiran dan hatinya sedang kacau.

"Hahahhahah lucu bangettt sihh, nanya nya satu satu dong! Pusing aku jawab yang mana dulu ini!" Vania mencubit pipi kiri Wildan dengan geram. Betapa mengemaskan objek di hadapan Vania yang sedang ling-lung dengan mulutnya sendiri, dengan gerlap di mata Wildan serta hidung yang memerah menambahkan kesan menggemaskan.

"Nih yaa Wildan...kak wildan yang paling bobrok seisi dunia ini, mama papa ga ada yang tau kalo aku tau urusan perjodohan ini, Aku udah tau masalah ini dari aku kelas delapan kalo ga salah. Sebenernya dari waktu yang di cafe itu aku kira kakak tuh yang bakal dijodohin sama aku tapi ternyata kan bukan."

"Nah. And about engaged jujur aku sebenernya ga mau..pen kabur rasanya tapi gimana apalagi denger rekaman tadi rasanya pengen datengin orangnya pengen ku bejek bejek! Oh iya the last words nih...can you stop making me more loving you? " ucap Vania panjang lebar dengan wajah yang gemerlap khas dengan senyuman di akhiri kalimatnya mampu membuat jantung Wildan tambah lemah.

"Shit!" hanya kata itu yang ada dipikiran Wildan sekarang,

"Ini gua ga didalam mimpi kan?! Ini Vania bilang gitu ke gua! serius ini woyyy mimpi ga sih gua?! Vania cewe nya kakak gua sendiri, cewe yang gua kejer kejer ehhh tiba tiba dia ngomong ke gua masalah sayang?! Suka?! OMG! gua bisa mati sih aduhh!" Batin Wildan menjerit-jerit tak henti,

"Bentar ini Vania beneran serius?..." Sekarang Wildan pikiran nya pusing dengan kalimat Vania, apakah Vania serius dengan kalimatnya atau hanya.

"Van? Ini kamu mau buat aku luluh sama omongan mu terus biar aku bantuin kamu buat mainin Rizal? Atau serius?"

Wildan berusaha menatap tajam Vania "Gini ya kalo kamu cuman mau mainin Riza,l oke aku bakal bantu kok tanpa harus kamu olok olok." Nada Wildan terdengar seolah olah menegaskan kalimatnya.

Vania bukan terkejut, ia malah tertawa terbahak-bahak mendengarnya

"Demi apa? Hahaha! Ya Allah kak serius deh ya aku aja ga kepikiran buat mengolok-olokin kakak biar mau bantuin aku, Ini beneran kok sumpah serius deh demi allah ini aku bener-bener udah catching feelings dari awal, Buat masalah mainin Rizal, kalo kakak ga mau yaudah yang penting aku udah kasih tau aja kalo aku ada feelings for you." Vania membalas pertanyaan Wildan dengan serius. Oke semua kalimat yang keluar dari Vania membuat kepala Wildan makin pusing,makin salting se saltingnya.

"OKE..LAST PLAY THE GAME WITH ME!" Tak ada angin, tak ada petir atau pun hujan. Setelah beberapa detik Wildan terdiam, ia menjawab ajakan Vania dengan lantang bahkan sampai membuat Vania yang tadi nya hampir fokus dengan hal lain menjadi jantungan karena suara lantang Wildan.

"Let's go! We play this game." Vania memberi kan satu tangan kanan nya sebagai tanda bukti mereka Sah menjadi sepasang kekasih, dalam ikatan Pacaran.

Oke mereka berdua sepertinya sudah menjadi satu alur bak air hujan yang berjatuhan dan menetes di satu tempat yang sama.

"Van? Will you be my girlfriend and be the soulmate of this exciting game?" Tanya Wildan sambil memberi tangan nya kepada Vania,

"it's my pleasure babe!" Tangan Vania dan Wildan menyatu, dan melambangkan jika semuanya sudah di mulai dari detik mereka berkata 'Iya.'

Oke kali ini mereka benar benar masuk zona panas.

Malam itu terjadi seperti membuka permainan dan pasti nya awalan baru untuk hubungan mereka berdua. Namun bagaimana dengan hubungan pertunangan antara Vania dan Rizal?

"Van!" Teriak Nissa di sambungan Telepon,

Baru saja Vania mengangkat sambung telepon yang ternyata dari tadi berbunyi,

"Kenapa Nis?" Vania menempel kan ponselnya di kuping,

"Rizal nyari lu ini!"

"Hah?!" Vania loncat dari Kursinya berduduk,

"Gua mau naro barang disuruh tante Tita, gua kaget banget Rizal di depan kamar lu sambil nahan kesel!"

"Gimana Gimana?!" Ota Vania tidak bisa mencernah omongan Nissa yang tak tersusun ini,

"RIZAL EMOSI KARENA LU GA DIKAMAR DAN GA ANGKAT TELEPON DIA! Ngerti sekarang?!" Suara Nissa benar benar sengat sengat keras, bahkan Bisa jadi Rizal mendengarnya.

"Lu dimana sih! Lu calon nya malah keluyuran ngilang ga jelas!"

"Gua otw balik." Vania memutuskan sambungan telepon nya.

Wildan bisa melihat jelas ke gusaran yang wajah Vania "Kenapa?"

"Rizal ngamuk didepan kamar aku."

Tak ada pikiran panjang Wildan meraih dompetnya dan mengeluarkan dua selembar uang merah, ia menarik Tangan Vania dan kunci mobil di atas Mejas. Secepat mungkin Wildan berjalan keluar dari Cafe, "Mas uang nya saya taro di atas meja!" Teriak Wildan sebelum mengejar dirinya dan Vania yang sudah keluar dari pintu cafe.

Wildan membuka kan Pintu Vania dahulu, dan baru ia masuk ke kursi pengemudi.

"Pelan aja bawanya..Rizal bisa di handle nanti.." Baru Kalimat Vania keluar,

Mobil Wildan keluar dari parkiran secepat mungkin, bahkan selama Wildan menyetir ke arah hotel serasa semua yang dijalan di hantam nya saja. Dengan kecepatan delapan puluh sampai sembilan puluh di jalan raya sangat lah bahaya apa lagi ini kawasan ramai.

"Kak!"

Hampir seorang tamu di lobby tertabrak oleh Mobil Wildan yang terlalu ngebut. Dengan Cepat Wildan menarik tombol parkir dan menginjak rem sekencang mungkin, bahkan suara ban berdenyit dan membuat hampir semua orang disekitar lobby dan parkiran menoleh.

"Tenang!"

"Tenang apaan! Coba kalo tadi kena mbaknya?! gimana?! terus semua orang nyuruh kamu keluar terus disitu ada keluarga kamu dan liat kita berdua gimana?!" Vania berjerit dengan kesal.

Wildan tak bisa menjawab lagi, ia hanya terdiam. dia tahu dia salah tapi setidaknya Vania bisa sampai secepat mungkin sebelum Rizal mengecek lokasi hotel dengan cctv yang akan lebih fatal lagi.

"Udah ga usah di lanjut masalahnya, aku turun duluan setelah 10 menitan baru kakak masuk. biar ga keliatan banget." Vania membuka pintu mobil sembari menutupi wajahnya dengan Tangan.

Tolong lah orang-orang di lobby masih menatap mobil elegan yang hampir membuat kejadian fatal.