"KAK WILDAN?! " Mata Vania terbuka terang, ia mengucek-ngucek matanya lebih dari empat kali dan yang ia lihat masih lah Wildan yang menangis di dalam lift. "Va Van.." Wildan terbangun dari lamunannya, ia kira hanya halusinasi tapi ternyata tidak. Ini benar-benar wujud Vania.
"Van..? " Wildan mengulangi ucapan nya untuk meyakinkan sekali lagi jika ini benar-benar Vania. Hitungan detik mereka hanya terdiam saling bertatap. Bola mata Vania mengarah ke arah Wildan dan sama dengan Wildan yang melihat Vania bak ibu peri yang baru turun dikirimkan Tuhan. Sebelum pintu lift tertutup kembali Vania yang terpikir satu hal langsung menarik tangan Wildan tanpa berpikir panjang, keluar dari lift dan membawa Wildan menjauh dari area lift.
"Mobil kak Wildan dimana?" Tanya Vania sembari dengan melihat ke kanan kiri, seperti sedang mencari seseorang. "Hah…" Wildan malah membeku dan linglung melihat Vania menarik nya. "Ihhh kak!" Vania menggoyangkan tangan Wildan berharap lamunan nya pecah. Tolong lah lobby hotel ini sangat tidak aman untuk Vania mengobrol dengan Wildan. "Dimana mobilnya?" Tanya Vania dengan ketir, jantungnya serasa berloncat-loncat dari ritme nya. "Cepet kak!" Kali ini Vania menggoyangkan lengan Wildan lebih kencang.
"Ohh ituu..."Wildan langsung terbangun dari lamunan nya yang membuat jantung vania tak aman. Ia menarik Vania secepat mungkin bahkan mengajak Vania berlari ke arah mobil nya. Untung saja mobil Wildan terparkir di depan lobby, jadi ia tidak harus cape-cape untuk berlari lebih jauh. Wildan melupakan kepala nya mau pecah sepertinya. Ia hendak membuka kan pintu untuk Vania, "Set! Mana kunci mobil nyaa!" Vania menahan pintu mobil sebelah pengemudi. "Hah apa?!" Sepertinya Wildan masih belum sadar seratus persen. "Kunciii mobill kakk! "Vania mengeramkan tangan Wildan.
Wildan meraba saku celana nya, belum Wildan kasih Vania langsung menarik kunci mobil di saku celana sebelah kiri Wildan. "Aku yang nyetir!" Vania membuka kan pintu untuk Wildan dan ia langsung segera masuk ke kursi pengemudi. "Va..Vania yang nyetir?" Tanya Wildan dengan nada gemetar. "Stttt!" Vania menutup mulut Wildan dengan satu jarinya, ia sedang sibuk memakai sabuk pengamanan nya. "A-aku aja yang nyetir..didepan sering ada razia van.."
"Sut! nurun sama aku kali ini aja pliss!" Vania menutup lagi mulut Wildan dengan satu jarinya. Wildan tak bisa berkelak, ia menuruti permintaan Vania. Mobil Mercy berwarna hitam sudah keluar dari kawasan parkiran hotel.
ujung mata Vania bergerak melirik ke arah kursi Wildan, sepertinya badan Wildan sudah tidak bergetar lagi. Vania menyadari jika badan Wildan tadi bergetar hebat, bahkan badan Wildan tadi sangat dingin. Bisa-bisa tambah bahaya jika Wildan yang menyetir, belum sampai pintu keluar parkiran hotel mereka bisa-bisa langsung sampai ke rumah sakit di bawa ambulance. Syukur nya Vania melihat getaran tumbuh Wildan, jika tidak sudah dipastikan mereka tak mungkin sudah dijalan raya besar ini. Vania menyetir tak ada arah, ia pun pusing harus kemana arah jalan nya.
dengan terpaksa Vania menyingkir kan mobil di salah satu supermarket.
"Ehmm.." Wildan mengintip dari sela sela matanya, apa yang terjadi diluar.
Vania melepaskan seatbelt, badan nya menyamping, pundak tangan nya mendarat tepat diatas kening Wildan.
Oke aman. Badan Wildan sudah tidak dingin tapi mengapa sangat hangat?
Badan Wildan seketika menjadi sangat panas padahal AC di mobilnya selalu tinggi.
"Kakak.." Vania perlahan membangunkan Wildan, ia mengoyangkan sedikit badan Wildan agar tak begitu kaget saat Vania bangunkan. Takutnya kepala Wildan bisa tambah pusing jika Vania bangunkan dengan paksa.
"Hmm.." Wildan membuka mata nya, padahal setelah mobil ini perhenti Wildan sudah bangun. Ia hanya berpura-pura tidur saat tangan Vania melandas di kening nya.
"Masih pusing ga?"
Hah? Vania tau dari mana jika kepala Wildan sebat berat sekali.
Wildan hanya menjawab dengan gelengan kecil.
"Bener?" Tanya Vania sekali lagi,
Dan masih sama Wildan hanya mengangguk kecil yang menandakan iya.
Vania mengingat hal yang ingin ia sebut, "Vania boleh nanya?" Tanya Vania perlahan. Akhirnya ia ingat apa yang ia ingin tanya kan dengan Wildan.
"Hmm.."
"Waktu Vania masih dibawa..Vania liat kakak nangis-"
"Aku gapapa."
Vania tersentak terdiam.
"Mata aku lagi sering perih aja akhir-akhir ini.." Wildan berusaha membuang pikiran negatif Vania.
"Karena apa? Perih sampe nangis deres itu kelilipan?"
Hap!
Wildan tak menjawab, ia terdiam dan tak tau jalan mana lagi yang bisa menjawab pertanyaan Vania.
"Va.."
Satu tarikan nafas Wildan terdengar jelas dikuping Vania. "Masalah ringan aja." Wildan langsung membuang arah mukanya, sebagai mana pun ia tak mau melihat ke arah Vania dahulu.
"Nangis nya ngadep ke aku aja." Vania menarik ujung dagu wajah Wildan dan membuat wajah mereka berdua di garis konstan. Saling bertatap, ada sepasang bola mata yang menangis dan ada sepasang bola mata penenang, untuk bola mata yang sendu.
Jari Vania bergerak menghapus air mata yang mengalir di pipi Wildan.
Wildan sama sekali tak bergerak, ia hanya membeku dengan dirinya tapi tidak dengan air mata nya yang terus mengalir. "Gua cemen banget hahaha!" Wildan memundurkan wajah nya bahkan ia berusaha tertawa dengan dada yang sesak menahan tangis.
"Kenapa? Vania serius nanya ini kak." Vania menatap dalam bola mata Wildan dan sepertinya karena hal ini Wildan meleleh lagi bak coklat di panaskan.
"Congrats for your engagement yaa!" Wildan menarik nafas kasarnya, bisa-bisanya ia masih berlaga sangat tegar.
Vania membuka mulutnya "I'm not thankful for your congratulations to me, until you say.."
"Iya gua berantem sama Rizal, sama pacar lo." Wildan memotong ucapan Vania yang belum berakhir,
"Kak.." Vania terdiam dengan mulut terbuka. Ia tak bisa mencerna pikiran nya dengan jernih, ini hanya bercanda Wildan atau serius? apa yang membuat Wildan dan Rizal bertengkar?
Wildan membuang arah muka nya lagi, ia tau jika Vania kebingungan.
"Itu jawaban nya." Wildan berusaha memecahkan kedinginan. Vania tak berbicara sama sekali bahkan masih diposisi yang sama, dengan mulut terbuka dan tatapan kosong.
"Kakak mau buat aku jadi mainan kakak?" Vania tiba-tiba bersuara dan menanyakan hal yang sangat sangat jauh dari topik awal.
Wildan melonjak kaget, ia langsung melihat ke arah Vania dengan tatapan terkejut. Jika tadi Vania yang di buat terdiam oleh Wildan, sekarang Wildan yang dibuat terdiam oleh Vania.
Suhu mobil yang tadi sempat menghangat menjadi sangat dingin bahkan lebih dari freezers. Bagaimana mungkin semua cerita itu menjadi terbalik, Wildan yang mengira Vania akan marah atau malah jadi masalah baru karena bertengkar dengan calon suami nya, malah menjadi pertanyaan yang buat jantung Wildan loncat hampir copot dari rongga jantungnya.
Wildan masih terdiam tak ada satu kata pun keluar dari mulutnya, walau sebenarnya otak nya sedang berpikir keras apa maksud dari pertanyaan Vania. "Kak…" Vania berusaha mencari jawaban dari pertanyaan nya,
"Ma..maksud kamu?" Wildan terpatah-patah dengan ucapannya.
"Iya atau enggak jawaban nya kak?!"
Wildan terkejut dengan kalimat Vania "Hah! Iya enggak lah Van!" Mana mungkin ia melakukan hal seperti itu dan tidak masuk akal jika ia melakukan nya dengan perempuan yang notabe incaran nya dan gebetan nya.
"Gila kali gua ngelakuin itu ke lu Van."
"Kenapa Gila? Kalo kenyataan nya memang iya gimana?"
"Bentar….apa satu hal yang buat kamu berpikir aku nyoba buat kamu jadi bahan mainan?" Wildan melayangkan alis kanan nya. Kali ini mereka sedang berada di mode serius, tak ada tawa dan canda.
"Ini suara kakak kan?!" Vania mengangkat ponselnya,
"Van tenang...kalo kamu naikin emosi kamu di obrolan ini, ending nya jadi salah paham aja."
"Kamu di puncak emosi, ga akan bisa-"
"Wil stop ngebacot lah!" Vania menaikan semua nada suaranya, ini bahkan lebih lantang dibandingkan suara kepala upacara.
"Van.." Wildan memberi lima jari nya seakan menandakan untuk Vania berhenti dari nada tingginya, ia berusaha menurunkan emosi Vania yang sepertinya sedang sangat mendidih.
sepertinya Vania sudah sedikit sadar dari emosinya, Wildan langsung menanyakan bukti yang Vania Maksud "Mana rekaman nya?"
Rekaman diputar oleh Vania dari ponselnya. Ada suara seseorang laki laki yang suaranya terdengar seperti suara arslan dan suara sosok laki laki yang suaranya tak asing di kuping Wildan. Jika suara ini jelas seperti Arslan pasti ada satu orang lagi yang selalu ditemani Arslan kemana ia pergi, apalagi jika urusan kantor-perkantoran. Rekaman itu berisi suara arslan dan suara laki laki dewasa yang khas dengan suara serak-serak basah, sepertinya topik pembicaraan ini sedang memberi tahu rahasia besar, arslan dan seorang laki laki itu seperti senang sekali dengan topik yang mereka bicarakan.
"Van kamu dapat ini dari mana?" Wildan mengangkat kepalanya,
"Dari kak Ika." jawab Vania.
"Kak Ika? Yang suka di ruang papamu kan?"
"Iya kak Ika."
"Kok bisa kak ika dapet rekaman ini?"
"Kak Ika lagi di ruangan, katanya kak Ika lagi mau record video karena dia di ruangan sendirian dan ngeletakin handphonenya di pinggiran rak buku dekat meja, tapi kak Ika ambil laporan bentar di ruangan papa terus katanya balik balik handphone nya udah kebalik aja di tumpukan buku dan pas kak Ika play video nya ada suara dua orang ini." jelas Vania dengan detail menceritakan dari awal hingga akhir, untungnya emosi nya bisa reda.
"Ini suara arslan sama...." Wildan memikirkan suara khas orang ini,
"Kakak kan?!" Vania langsung tembak dengan nada tinggi,
"Aku?" Wildan membeku,
"Ini suara kak Wildan banget!"
"Hah? Aku aja baru tau, aku aja gak tau kejadianya kapan ini." Wildan yang baru sampai di Palembang saja kena sasaran.
"Kalo yang pertama itu suara arslan yang satu lagi siapa?"
"Bentar arslan...itu anak buah papa kakak kan?" Vania mengingat ngingat kembali,
"Iyaa."
"In-"
"SHUTT!!" Wildan menaruh jari telunjuk nya dibibir Vania untuk menahan kalimat yang ingin Vania lontarkan, bukan nya Vania diam malah ngebuat suasana di mobil menjadi lebih panas dingin. Empat bola mata saling memandang, dua mulut terdiam tapi ricuh di hati masing-masing. "Diem dulu kamu nya ini suara orang nya kedengeran banget loh." Wildan berusaha memecahkan suasana dan membuang tatapan nya menjauh dari mata Vania.
Vania hanya mengangguk saja dan menuruti perintah Wildan untuk mendengarkan Voice note dengan jelas,
Suara rekaman ini tidak terlalu jelas, apalagi kondisinya handphone ini bertumpuk buku-buku.
"Jadi gimana boss? Gua udah siapin semuanya buat candle light dinner nya, oh iya gua buat nya dari jam delapan malam sampai jam dua belas malam, siapa tau lu butuh ngobrol-ngobrol sama Vania..." ucap suara yang terdengar seperti Arslan.
"Jam dua belas kata lu?!"
"Tuh bocah mana dibolehin balik malem dia masih SMA gan! " ucap suara yang terdengar mirip sekali dengan Rizal,
"Jadi sampe kapan lu sama Vania? Ampe Nikah ?" Ucap suara Arslan.
"Hhmm...gatau sih kan gua juga cuman mau perusahaan papa doang." Jawab suara yang seperti Rizal, karena suara yang gagah dan serak-serak basah ini mirip sekali dengan suara kakak laki-laki Wildan.
"Lu ga setertarik itu sama Vania? Emang kenapa sih tuh anak? Sampe kaya ga ada kesempatan banget..perasaan Orang dia cantik kok and a smart girl terus kurang nya apa lagi?" Tanya suara yang jelas seperti Arslan.
"Hmm iya sih emang cantik..tapi cuyy pikir dia tuh nerd ga bisa diajak ketempat malem ga bisa diajak asik and one's more dia ga se hot Fsa ya! "Jawab pedas oleh suara yang sangat sangat mirip dengan Rizal.
"Gua yakin ini suara Rizal!" dalam hati Wildan terenyuh hal ini dari awal saja ia yakin ini ulah Rizal.
"In...inii suara kak Rizal banget..." Suara Vania sudah mulai bergetar karena terkejut dengan rekaman yang panas ini,
"Ini baru setengah rekaman udah sepedas ini?" Wildan melihat ke arah Mata Vania, sudah terlihat jelas mata Vania memerah dan menahan tampungan air mata.
Rekaman yang sempat Wildan hentikan di play kembali,
"Nah Fisa sekarang lu kemanain? Dia tahan liat lu sama Vania?"
"Come on bro! dia tinggal gua kasih duit terus suruh tinggal di luar dulu aja, dia juga tau kok and ya dia dukung gua pasti."
"Hahahahah gile sih lu tapi gua liat-liat Vania tuh ada perasaan deh ke luh , gua cuman ingetin lu aja."
"Vania ini anak yang bahaya apa lagi bokap nya lu tau sendiri lah kalo lu berani buat Vania nangis aja lu harus siap mati cuy." Suara Arslan sekarang seperti nada menakut-nakuti,
"Hahahaha siapa sih yang ga baper sama gua! Bentar lu tau dari mana pasal yang itu?"
"Gua denger-denger dulu salah satu anak buah bapak nya deketin Vania terus katanya cowoknya ini nakal bet terus Vania sakit hati dan ya akhirnya dia dipecat dan di habisin kalo ga salah."
"Hahahhaha tenang gan!"
"Oh iya gimana DWP? pesenin gua dong, lu jadi kan?" Suara rekaman nya seketika sangat terdengar jelas, dan ini suara Rizal. seratus persen suara Rizal.
"Jadi lah! lu mau yang mana?"
"Kaya biasa VIP GOLD, sama cariin ya kek biasa.."
"Ohh siap gan! eh iya inget kompisi gua ya kalo lu dapet perusahaan."
"Kecil itu, pokoknya lu cari tau terus aja tentang dia terus, ingat jangan sampe ada satu cowok deket sama dia!"
"Oke boss!"
"Yaudah lah gua mau jemput nak bocah dulu!"
Suara Arslan seperti berbisik "Awas bokap nye denger.."
Rekaman sudah berhenti, berarti hanya cakapan itu yang terekam.
"Vania emang anak kecil kok tapi ga sebodoh itu buat dimainin." Suara nya sudah berubah seperti ingin menangis ditambah dengan mata nya yang sudah berair,
"Ehh!"
Belum sampai kata kata Wildan terlanjur Vania sudah menangis, bagaimana Vania tak menangis dia mendengar calon suaminya sendiri menghina dan memainkan perasaannya. Tolong lah ia saja masih menggunakan Baju yang tadi ia gunakan saat acara lamaran, serasa ia ingin membuka bajunya dan lebih memilih untuk tidak berpakaian. Tapi Vania tidak akan sebodoh untuk melakukan hal gila seperti itu, walau ia sedang emosi.
"Kamu pindah ya..aku yang bawa mobil aja ya." Wildan mengelus punggung Vania sebelum ia membuka pintu mobil dan bertukar kursi. Vania hanya mengangguk saja.
Wildan keluar dari pintu penumpang dan bergerak membuka kan pintu untuk Vania keluar dari kursi kemudi, Wildan menutut Badan Vania pindah ke kursi samping sembari mengelus punggung Vania yang sedang bergetar karena segukan tangisnya.
sekarang Wildan yang mengambil alih kemudi mobil.
"Kakak jujur sama Vania...kak Will juga mainkan di permainan ini?" Vania mengangkat kepala nya dan menatap sini ke arah Wildan yang tepat berada disampingnya.
Untung Wildan sudah terlatih dengan nada tinggi Vania, "Ga Van sumpah, Aku gatau apa apa aku bener-bener kaget malah."
"kalo kakak ga sama sekali dalam permainan Rizal,"
"Tembak Vania sekarang!"
Kali ini Wilda tak terlatih sekali, jantungan nya seperti kena sengatan. Mata Wildan melotot sangat besar, sekujur badan nya mendingin, bahkan nafasnya terasa berhenti sejenak.