"Biarkan aku yang membereskannya sendiri," ucap Rawnie dingin.
Setelah itu dua pelayannya keluar dari dalam kamar meninggalkan Rawnie dan Ansel di sana. Ansel tidak tahu akan diperbuat seperti apa olehnya saat tangan dan kakinya masih terikat.
"Kenapa melihatku seperti itu? Takut?"
Ansel mencoba untuk tetap tenang walau sebenarnya dia memang takut dengan Rawnie. Ucapan di bar tadi membuat pikiran tersendiri dalam otaknya.
"Takut? Aku ini seorang pria dan kau wanita. Tidak ada sejarahnya seorang pria takut dengan wanita."
Meskipun seperti itu, Rawnie dapat melihat ketakutannya dari balik wajah. "Wajah pucat mu tidak bisa berbohong."
Langkah kaki yang berpijak beraturan terus diikuti oleh sorot mata Ansel. Derap langkah tersebut berjalan ke arahnya.
Rawnie bersedekap angkuh di depan Ansel. "Seharusnya kalau memang kau takut kau tidak melakukan hal seperti tadi."
"Bahkan aku lebih memilih untuk mengulang apa yang sudah kulakukan barusan."
Lagi dan lagi dirinya di dorong kebelakang tanpa perasaan. Tapi kali ini kepalanya sampai terbentur oleh dipan kasur.
"Apakah aku harus menyobek bibirmu agar tidak terus-menerus membantah diriku?"
"Kalau begitu bunuh saja aku!" tantang Ansel. Dia telah menyerah, biarkan semua berjalan sesuai rencana. Kalaupun malam ini dia harus mati ditangan Rawnie baginya hal itu jauh lebih baik daripada dia harus mendapatkan siksaan tiap harinya.
Tepuk tangan yang nyaring berasal dari Rawnie. "Hebat! Sekarang kau sudah menyerah kepadaku."
"Wanita berhati iblis sepertimu pasti akan senang dengan ucapan ku barusan."
"Ya! Sangat-sangat senang."
Kemudian topeng yang selama ini melekat diwajahnya segera ia lepaskan dalam hitungan detik. Sepasang manik mata yang tajam, hidung mancung yang tinggi hingga bibir pink yang alami sangatlah menawan untuk dipandang. Ansel tidak percaya bahwa wanita secantik dan sesempurna nya akan berlaku jahat seperti ini.
"Awalnya memang aku ingin membunuhmu, tetapi menyiksa dirimu terlebih dahulu jauh lebih baik."
Ansel menggeleng tidak percaya. Rawnie benar-benar tidak memiliki rasa kasihan sedikitpun padanya.
"Apa yang mau kau lakukan?" Ansel mencoba menggerakkan tubuhnya mundur tatkala Rawnie semakin mendekat ke arahnya.
"Hal gila yang sebenarnya sangat kau inginkan, tapi sengaja kau tutupi karena rasa gengsimu."
Tangan Rawnie sudah menjelajah di dada bidang milik Ansel. Dia mulai menarik-narik kerah baju pria itu. Ansel tidak tinggal diam, dia mencoba menghalangi Rawnie yang sudah mulai meraba tubuhnya.
"Diam!"
Rawnie membentaknya karena Ansel tak kunjung diam dan terus meronta. Hal itu membuatnya kesulitan untuk menguasai tubuh pria tersebut.
"Kau mau ini kan? Jawab jujur!" Wajah Rawnie sudah berada di atas pandangan Ansel. Terlalu dekat hingga hidung mereka hampir bersentuhan. Tangan Rawnie tak tinggal diam, dia menjambak rambut pria itu membuatnya mengerang.
"Tidak, tidak sama sekali!" tegasnya ulang.
"Kau seharusnya tau kalau aku- hmmph..."
Rawnie lebih cepat menyumpal bibirnya membuat Ansel membelalak.
Dugh.
"Aww!" Ringisnya. Rawnie merasakan rahangnya terbentur oleh dahi Ansel. Pria itu menggeliat kuat untuk menghindari ciumannya.
Mata merah akibat rasa marah terpampang jelas di wajah Ansel. Tangannya menggenggam erat seolah ingin menghabisi wanita yang terbaring di atasnya.
"Pelacur."
Plakk.
Satu ucapan yang berhasil mengundang kemarahan memuncak pada diri Rawnie. Wanita itu segera berdiri dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
"Kelewatan batas!"
"Tapi itu kenyataannya, brengsek!" Bukankah ini terlalu kasar untuk dikatakan kepada wanita.
Baru kali ini ada seorang pria yang berani memaki dirinya sampai sejauh ini. Sungguh ini sangat menyakitkan. Ucapan pria itu membuat pertahanannya runtuh.
"Ya! Aku memang wanita brengsek, tidak tahu malu, tidak punya hati dan ... pelacur," ucapnya lirih diakhir kalimat. Biarkan Ansel menilai keburukannya malam ini.
Rawnie tidak pernah peduli ingin dimaki seperti apa. Bahkan direndahkan serendah-rendahnya dia tidak apa-apa, tapi jika sudah menyangkut soal pelacur, dia tidak bisa diam. Kata itu seolah menjadi kata terkutuk dalam hidupnya. Rasa sakitnya semakin berlipat ganda ketika mengingat kejadian di masa lalunya.
"PUAS? PUAS KAU MENCACI KU SEPERTI ITU?" Percayalah saat itu Rawnie sudah berada dititik akhir untuk menahan air matanya jatuh.
"Mencaci? Aku sudah katakan bahwa itulah kenyataannya. Kau menjamah tubuhku layaknya seorang wanita yang haus belain. Bukankah itu yang dikatakan sebagai seorang pelacur?"
"Arghh!" Rawnie berteriak. Dia seolah tidak sadarkan diri.
Rawnie segera bangkit dari ranjang. Dia berlari keluar kamar. Menutup pintu kamar itu dengan keras.
"Dia menangis?" gumam Ansel. Ia sempat melihat sebutir cairan bening keluar dari pelupuk matanya sebelum akhirnya dia berlari menghindar darinya.
***
Dalam kamarnya, Rawnie menyalakan shower dengan keras. Membasahi kepalanya dengan air tersebut. Tubuhnya meluruh begitu saja ke lantai. Melipat lutut dan melepas semua tangisannya bersamaan dengan suara air yang berjatuhan. Hanya disinilah Rawnie bisa melepas semua tangisannya.
Rawnie menggelengkan kepala seraya menutupi kedua sisi telinganya saat ucapan Ansel terngiang-ngiang pada telinganya. "Arghh sialan!"
"Kenapa harus ada yang mengingatkan kejadian itu lagi. Kenapa? Aku sangat benci!" teriaknya seraya menjambak kasar rambutnya.
Rawnie berdiri mematikan shower tersebut. Sudah saatnya dia berhenti melakukan hal bodoh ini, dia tidak mau terlalu lama untuk menjadi wanita yang terus terpuruk karena kesedihannya.
"Ayo Rawnie jangan lemah. Dunia memang jahat, tetaplah kuat untuk menghadapi kenyataan pahit berikutnya." Rawnie tertawa miris setelahnya.
***
Pagi yang sedikit tidak membuat semangat. Rawnie harus bangun lebih awal hari ini, padahal semalam dia bahkan sulit untuk tidur sehingga hanya bisa berisitirahat sekitar tiga jam saja. Matanya masih sepat, namun mau bagaimana lagi, pekerjaan telah menantinya pagi ini. Ada jadwal photoshoot hari ini yang memang dijadwalkan pada pagi hari.
Rawnie meminum segelas susu putih yang sudah Harsya buatkan untuknya. Setelah itu mengambil tas miliknya kemudian ia memasukkan benda pipih yang awalnya tergeletak di atas meja.
"Rawnie, kau terlihat sangat cantik mengenakan dress itu." Tiba-tiba saja Harsya muncul dari balik pintu kamar.
"Apakah aku sudah terlihat anggun atau ada hal yang harus aku rubah?"
Harsya menggeleng. "Kau sudah sangat sempurna." Rawnie tersenyum menanggapinya.
"Ya sudah aku akan pergi bekerja sekarang. Harsya jangan lupa untuk mengganti seprei ku ya," ujarnya sebelum pergi.
Harsya melirik ke arah ranjang. Seprei itu terlihat basah. "Apakah susu itu sempat tumpah?"
"Bukan, itu hanya bekas rambutku yang masih basah. Aku belum mengeringkannya, namun aku sudah berbaring duluan di kasur."
Harsya mengangguk paham. "Baiklah aku akan membereskan untukmu."
"Terimakasih."
Rawnie keluar kamar. Dia berjalan sangat hati-hati, takut tersandung oleh pakaiannya sendiri. Ia menuruni tangga satu persatu, namun tidak sengaja pandangan matanya bertemu dengan Ansel. Dia dapat melihat pria itu dari balik pintu kamar yang terbuka. Rawnie segera memutuskan kontak mata antara mereka. Setelah itu dia mencoba untuk mempercepat langkahnya.
'Apa ucapan ku semalam membuatnya semakin membenci ku?'