Dalam kamarnya, Harsya datang membawa minuman hangat serta beberapa makanan untuk Ansel. Harsya berani memasuki kamarnya setelah ia tahu jika Rawnie sudah keluar dari sana.
"Apa saja yang sudah dia lakukan denganmu?" Harsya menyendok kan bubur kepada Ansel. Dia tahu jika tenaganya sudah banyak terkuras.
"Tanyakan saja pada majikanmu." Ansel malas membahas persoalan tadi.
Harsya baru mendapati perban yang semakin terlihat jika darahnya menyebar luas. "Astaga! Dahimu mengeluarkan banyak darah, aku akan meminta Rawnie untuk memanggilkan dokter kesini."
Tangan Harsya dicekal oleh Ansel saat hendak berdiri. "Tidak perlu, aku yakin dia tidak akan mau melakukannya. Apalagi penyebab luka ini adalah dia sendiri."
Manik mata Harsya terlihat miris melihat keadaan Ansel saat ini. "Sabar yah, aku akan mencoba berbicara dengannya besok. Aku yakin kau butuh perawatan yang lebih intensif."
"Percuma! Dia bahagia melihat ku seperti ini. Aku hanya menunggu ajalku saja, entah berapa lama lagi aku bisa bertahan dengan siksaan ini."
"Jangan berkata seperti itu. Aku yakin Rawnie tidak sekejam itu. Kau hanya perlu menurutinya, jika suatu saat kau sudah mengenalnya lebih dalam maka kau akan menyadari betapa miris hidupnya. Setelah itu kau akan paham mengapa Rawnie bisa melakukan hal seperti ini denganmu."
Ansel menatap Harsya dengan seksama. Jadi apa yang dia pikirkan merupakan sebuah realita. "Sebenarnya ada apa dengan dia?"
Harsya tidak mungkin bisa menjawabnya. "Untuk itu aku tidak bisa memberitahumu, maaf."
Seketika Ansel menjadi kalut dengan pikirannya malam itu.
***
Perkataan hati dan tindakan kadang tidak bisa berjalan beriringan. Mereka seolah bersimpangan menyetujui egonya masing-masing. Andai saja mereka bisa saling menggenggam, menyatu mencari arah yang sejalan maka tidak akan ada lagi perbedaan dalam menentukan sesuatu.
Dari kejauhan Rawnie hanya bisa melihat seorang dokter yang sedang menggantikan perban di kepala pria itu. Sedikit khawatir, namun tidak mungkin kaki jenjangnya berjalan masuk ke kamar hanya sebatas untuk melihat kondisinya sekarang. Egonya akan menertawai dirinya atas hal itu.
"Seharusnya perban ini sering diganti bila darah sudah terlalu banyak keluar. Jangan dibiarkan terlalu lama karena bisa memicu rasa sakit serta infeksi," ujar seorang dokter yang sedang melilitkan perban pada Ansel.
"Baik Dok, saya akan mencoba mengganti perbannya bila memang sudah terlalu lama ia kenakan." Itu suara Harsya. Pagi-pagi sekali dia memanggil dokter karena takut terjadi sesuatu yang serius dari diri Ansel.
Ansel hanya terbaring lemas membiarkan dokter itu menangani dirinya. Tanpa sengaja dia melirik ke arah luar. Pintu kamar yang terbuka membuatnya bisa melihat seorang wanita berdiri menghadap kearahnya.
"Rawnie." Sayangnya hanya selang beberapa dia langsung memutus kontak untuk pergi.
Harsya yang mendengar suara Ansel segera mengikuti arah pandangnya. Tapi dia tidak menemukan siapapun di luar sana.
Apa Ansel sedang tidak sadar batin Harsya.
***
Di dalam kamar Rawnie mengigit gemas selimut tebalnya. "Ih! Kenapa aku harus melihatnya tadi, kan jadi malu karena dia memergokiku, dasar bodoh."
Rawnie memungut ponselnya saat melihat panggilan masuk di layar. Dia melihat nama Bora di sana. Awalnya dia pikir itu adalah Frey.
"Pagi sayang.." sapa Bora yang membuat wanita itu mendengus.
"Lain kali kalo emang butuh seorang pria cepat dicari ya! Jangan sampai karena kelamaan sendiri kau justru menyukai ku."
Bora tergelak di sana. "Bagaimana mungkin itu terjadi. Aku masih normal ya!"
"Aku meragukanmu." Rawnie mengubah posisi tidurnya agar lebih nyaman.
"Jika kau tidak percaya maka berikan Ansel kepadaku. Sepertinya dia pria yang tampan."
Rawnie melotot tidak percaya. "Lebih baik kau sendiri daripada aku melihatmu dengan dia."
"Kau cemburu?"
Bora ini memang jago untuk menggoda lawan bicaranya. Lihatlah bagaimana Rawnie menukik tajam ke arah ponsel. Sedangkan yang ditatap tajam justru tertawa lepas saat itu.
"Hati-hati kau kalo bicara denganku. Pria sepertinya memang masuk dalam tipe ku."
"Kan benar apa kataku!"
"Iya, tapi masuk ke tipe pria yang paling aku benci."
Di sana Bora tampak kesal dengan jawabannya. "Kupikir dia benar-benar masuk kedalam kriteria pria idaman mu."
Rasanya Rawnie ini menertawakan hal itu. Sejauh ini pikirannya tidak pernah tertuju pada ucapan Bora. Ia menjadi geli membayangkan dirinya jika benar dia menyukai pria itu.
"Itu tidak mungkin Bora. Dia bahkan sangat aku benci sekarang," ungkapnya apa adanya.
"Jangan begitu, bisa saja semesta memutar ucapanmu hari ini. Tidak ada yang bisa menduga jika pada akhirnya kau justru menyukai dirinya."
Pembicaraan ini tidaklah menyenangkan bagi Rawnie. "Bora, aku lebih yakin jika semesta akan membuatku semakin benci dengannya."
"Semoga kau tidak menertawakan perkataanmu hari ini, Rawnie."
"Sudahlah, percakapan ini membosankan. Aku akan pergi mandi dan makan sekarang, kita sambung nanti lagi bye!"
Rawnie meletakkan ponselnya. Dia sengaja memutuskan sambungan itu lebih awal agar tidak semakin jauh membahas tentang pria itu.
***
"Apakah luka seperti itu akan membutuhkan waktu lama untuk pulih?" tanya Harsya ketika dokter itu telah selesai mengobati Ansel.
"Sebenarnya tidak, jika dia rutin meminum obatnya serta tidak memikirkan banyak hal dalam otaknya maka akan cepat pulih," ungkapnya sembari membereskan alat-alat periksa yang dia bawa kemarin.
Harsya mengangguk paham. Tapi dia ragu jika Ansel tidak memiliki banyak pikiran di otaknya. Dia pasti banyak memikul beban sendiri. Terlebih lagi dia pasti akan tertekan jika Rawnie terus-menerus beradu argument dengannya.
"Apakah ada hal yang ingin ditanyakan lagi?"
"Tidak Dok, sudah cukup."
Dokter itu mengambil tasnya di atas meja. "Kalau begitu saya pamit sekarang."
Harsya menunjukkan senyum ramahnya. "Terimakasih atas bantuannya, Dok."
Setelah itu Harsya keluar dari kamar kemudian menguncinya dari depan, seperti apa yang Rawnie perintahkan. Dia tidak ingin mengganggu waktu istirahat Ansel.
Saat berada di lantai bawah ia mendengar Rawnie memanggil dirinya. "Harsya!"
Harsya berjalan menghampiri Rawnie yang berada di meja makan. "Iya ada apa?"
"Bagaimana?"
"Maksudmu?" Harsya sengaja memancing Rawnie untuk mengatakannya lebih jelas.
Terdengar desahan pelan dari dirinya. "Bagaimana keadaannya setelah diperiksa?"
Senyum santun itu merekah mendengar pertanyaan Rawnie. "Dia baik-baik saja, namun perbannya harus sering diganti agar tidak infeksi."
"Kalau begitu sering-sering gantikan dia perban. Aku tidak mau dia terlalu lama sakit, itu sangat merepotkan ku kalau kau tau."
Rawnie memasukkan gigitan terakhir rotinya ke dalam mulut kemudian mengunyahnya.
"Aku juga ingin dia cepat sembuh. Tapi dokter itu bilang rasa sakitnya akan lama sembuh jika dia terlalu banyak memikirkan sesuatu."
"Memangnya apa yang dia pikirkan? Dia bahkan hidup dengan enak disini, makan gratis, tidur gratis. Apa itu kurang baginya?"
"Bukan karena hal itu Rawnie. Banyangkan bagaimana dia tidak frustasi saat dirinya diculik begitu saja oleh orang asing, belum lagi kalau kau sering menyiksanya bahkan bersikap keras kepadanya."
Otaknya bekerja lebih cepat saat mencerna ucapan Harsya.
"Jika kau bisa, tolong redam amarahmu sejenak untuk beberapa waktu agar kondisinya pulih kembali."