Merencanakan kehidupan sesuai kemauan sendiri tidak akan bisa terlaksana sebab takdir telah lebih dulu mengatur sedemikian rupa, serta semesta ikut serta menjalankan tugasnya. Menolak tidak akan bisa membuat garis takdirmu terputus. Sebab sudah terlalu rekat untuk dilepas.
Beberapa orang menganggap jika garis takdir membuat mereka terbelenggu dalam kesengsaraan. Padahal porsi kesedihan serta kebahagiaan sudah diatur seadil mungkin. Tuhan tidak pernah membeda-bedakan umat-nya. Memberikan yang tebaik meski terkadang harus melewati kesulitan hidup terlebih dahulu.
Tidak bisa disangkal lagi semua orang pasti menginginkan takdir baiknya setiap hari. Mereka ingin menghabiskan waktu dengan kebahagiaan. Sayangnya tidak semudah itu kebahagiaan terasa.
Patokan kebahagian hanya bisa dirasakan atau diatur oleh diri kita sendiri. Banyak cara yang membuat mereka bisa merasakan kebahagiaannya masing-masing.
Seperti Rawnie, awalnya dia berpikir jika kebahagiaan nya adalah harta, namun nyatanya dia tidak membenarkan hal itu sekarang. Yang ia butuhkan ialah figur keluarga yang harmonis.
Singkat saja Rawnie hanya bisa menertawakan dirinya soal kebahagiaan dari keluarga. Bahkan sudah sangat lama dia tidak merasakan itu, semua keharmonisan telah direnggut habis tak tersisa.
Rawnie ingin kembali pada dimensi yang sama seperti dulu dimana dia bisa merasakan kasih sayang tanpa memikirkan beban yang melelahkan seperti sekarang.
"Thanks Frey kau sudah mau mengantarkan ku kesini." Kaki jenjangnya telah menginjak rumahnya yang dulu.
"Iya, kau yakin akan tetap pergi?"
Rawnie membalikkan badannya melirik sebentar rumah gedong dibelakangnya. "Aku sangat rindu dengan nenek jika bukan karena itu aku tidak mungkin datang ke sini."
Frey paham apa yang Rawnie rasakan sekarang. "Kalau begitu aku pergi dulu, kalo kau butuh apa-apa hubungi aku saja."
Rawnie mengangguk patuh. "Makasih Frey."
Beberapa detik kemudian kendaraan roda empat itu telah pergi dari hadapan Rawnie.
Baru selangkah ia menginjak tangga kecil seseorang datang mengejek dirinya. "Pelacur baru?"
"Jaga ucapanmu! Dimana kau letakkan attitudemu itu?" sinis Rawnie tidak suka dengan ucapan kurang ajar yang dilontarkan untuknya.
"Ada di sini, tapi jangan harap aku akan menerapkan attitudeku di depanmu."
Luke dia adalah seorang pria yang notabennya adik tiri Rawnie. Mereka tidak sedarah karena memang dia adalah anak dari istri ayahnya yang sekarang.
Malas berdebat Rawnie memilih untuk diam dan melenggang masuk begitu saja. Hatinya terasa tenang saat melihat seorang wanita berambut putih itu sedang duduk pada kursi roda menghadap televisi.
"Nenek!" seru Rawnie memeluk erat tubuh yang mulai ringkih itu dari belakang.
"Rawnie, cucu nenek yang paling cantik." Ia juga membalas erat pelukan Rawnie.
"Nenek Rawnie rindu ...." Neneknya adalah wanita kedua yang sangat menyayanginya dengan tulus setelah ibunya.
Mereka melepas pelukannya. "Nenek juga sangat merindukanmu. Rawnie pasti sangat sibuk jadi jarang berkunjung kesini ya?"
"Ya bisa dibilang seperti itu, Nek."
"Pantas saja karena cucu nenek yang satu ini kan sudah terkenal dimana-mana."
Rawnie terkekeh sebentar. "Nenek ini ada-ada saja."
"Oiya Rawnie bawa makanan kesukaan nenek. Ayo kita makan!" Rawnie mendorong kursi roda neneknya menuju ruang makan.
Dimeja makan Rawnie mulai menyuapinya penuh kasih sayang. Sesekali ia juga mendapatkan suapan dari tangan neneknya. Kasih sayang seperti ini sudah alam sekali tidak ia jumpai. Ia hanya bisa merasakan kehangatan sebuah keluarga ketik berada di dekat neneknya.
"Jadi dia penyebab hawa panas di rumah ini?"
Rawnie menoleh ke sumber suara. Tersenyum miris melihat ketiga orang yang ia benci berdiri tidak jauh darinya.
"Kau merasakan panas nyonya Danti? Sepertinya ada yang salah dengan suhu tubuhmu, bahkan aku sendiri saja masih bisa merasakan kesejukan dari ruangan ber-AC ini." Bukan Rawnie namanya jika diam saja setelah direndahkan seperti itu.
"Sayang lihatlah perilaku kurang ajar putrimu itu," adunya pada sang suami.
Dengan tidak berperasaan pria berkepala tiga itu berkata, "dia bukan anakku."
Sakit serta sangat menyayat hati. Rawnie tidak tahu mengapa pria itu bisa sekejam ini dengannya. Rawnie paham jika dia bukanlah bagian dari darah dagingnya, tapi apakah ayahnya telah melupakan semua kasih sayang yang pernah dia berikan padanya. Satu kalimat yang masih terngiang jelas pada dirinya saat kecil Mulai hari ini panggil aku dengan sebutan papa ya gadis kecil.
Tapi nyatanya secara tidak langsung ketika dewasa dia seolah tidak diperbolehkan untuk memanggilnya dengan sebutan 'Papa'.
"Biarkan saja dia berada di sini, Ma. Mungkin saja dia ingin menikmati kenyamanan rumah ini," sambung Luke tiba-tiba.
"Tapi Luke, dia juga sudah punya rumah sendiri."
"Kan kenyamanan rumah ini dan rumahnya berbeda. Lagipula bagaimana bisa dia merasa nyaman berada di rumah yang dia beli dari hasil jual diri."
"Luke! Jaga bicaramu! Dia ini kakakmu."
Seperti inilah kekacauan dalam keluarga yang selalu Rawnie rasakan. Tidak pernah ada keharmonisan jika dirinya berada diantara mereka.
"Apa ada yang ingin menghinaku lagi?" Percayalah Rawnie sangat perih mengatakan hal ini.
Hening menyelimuti ruang itu.
"Kalau memang kalian tidak mengizinkanku untuk berada di rumah ini terlalu lama, katakan saja tanpa harus menjatuhkan diriku. Apa kalian tidak bisa menjaga ucapan agar tidak melukai perasaanku?"
"Drama." Luke bersedekap sinis.
"Tanpa diminta pun aku tidak sudi berlama-lama di sini. Jika bukan karena nenek aku tidak mungkin mengunjungi rumahmu," timpal Rawnie kepada Luke.
"Ya sudah cepat pergi!" Ingin rasanya Rawnie merobek mulut pria itu.
"Nenek Rawnie pamit pulang, ya." Rawnie sedikit bersimpuh.
Dari balik mata wanita di depannya, Rawnie bisa membaca betapa tidak tega ia melihat dirinya diperlakukan seperti itu.
"Tapi Rawnie ini sudah malam. Menginaplah disini dengan nenek ya?" tawarnya lembut.
Rawnie menggeleng lemah. "Mereka tidak mengizinkannya. Lagipula Rawnie ada pekerjaan pagi besok."
"Luke tolong antarkan Rawnie pulang. Ini sudah terlalu malam, nenek takut jika dia pulang seorang diri."
"Kenapa harus aku? Apa kau tidak bisa mengantarkannya?" Sungguh kurang ajar sikap Luke kali ini.
Rawnie menatapnya tak suka. "Kalau kau tidak bisa berattitude di depanku setidaknya kau bisa menerapkannya di depan nenek."
Luke mengacaukan ucapan Rawnie.
"Tidak usah menilai anakku seolah dirimu sudah benar."
Pembelaan itu keluar dari mulut ayahnya. Seperti tidak masuk akal, ayahnya selalu saja membelanya padahal sudah jelas jika perilakunya salah.
Rawnie mencium kening wanita berkursi roda itu. "Jaga diri nenek baik-baik ya, Rawnie pamit."
Rawnie bergegas mengambil tas kecilnya yang berada di atas meja. Ia melangkah pergi, sempat berpapasan dengan ayahnya tetapi tidak ada perkataan sedikit pun yang keluar dari mulutnya. Elu hatinya sangat sesak melihat wajah penuh kasih sayang pada saat dahulu kini telah berubah menjadi sangat dingin padanya. Padahal ia ingin sekali berpamitan dengan ayahnya.
Semoga kau bisa menjadi wanita yang kuat ya Rawnie.