"Dasar bodoh! Kau gila ya? Bagaimana bisa kau menabrak orang yang salah. Sudah aku jelaskan siapa yang seharusnya kau tabrak saat itu!"
Dengan amarahnya yang membara pria itu melempar tongkat baseball nya hingga memecahkan kaca jendela. Beberapa orang di sana sempat tersentak mendengar suara lemparan tersebut.
"Aku sudah mentargetkan dirinya, tapi entah mengapa tiba-tiba orang itu berlari dengan cepat untuk mendorongnya ke tepi jalan."
"Sialan!" Ia menggenggam erat tangannya erat-erat.
"Tapi kau sudah membungkam mereka yang melihat kejadian ini dengan uang tutup mulut 'kan?"
Mereka mengangguk. "Tenang saja, semua hal itu sudah beres kau tidak perlu khawatir."
"Sekarang tugas kian adalah cari identitas pria itu. Lakukan dengan benar! Jangan ceroboh lagi."
"Baik akan segera kami lakukan."
Kedua anak buahnya itu pergi dari ruangan gelap tersebut. Meninggalkan seorang diri lelaki yang masih tidak terima karena kegagalan misinya sekarang.
"Brengsek! Kenapa harus selalu gagal."
Brukk
Ia berdiri menendang asal barang yang ada di sekitarnya. Pria itu sepertinya sangat membenci Rawnie. Rasa bencinya berhasil mengusut dirinya untuk melakukan kejahatan selicik itu. Sebenernya entah apa yang ia ingin ia rebut dari kehidupan Rawnie. Nyatanya jika seseorang sudah gelap mata maka ia tidak akan peduli terhadap dosa yang diperbuat.
Harta dengan mudah ia gunakan untuk menutupi kesalahannya. Kebaikan orang di dunia sekarang kian menipis. Dengan harta mereka berani menutupi sebuah fakta yang fatal. Saat ini yang dunia butuhkan adalah orang yang baik bukan orang yang bergelimang harta.
***
Ruangan dimana Ansel dirawat inap kini telah terisi oleh beberapa orang. Meskipun memang Ansel belum tersadar, pihak rumah sakit telah mengizinkan para penunggu untuk masuk ke dalam ruangan.
Rawnie mengambil posisi duduk tepat di samping Ansel yang sedang berbaring. Ia tidak lepas dari pandangannya terhadap seorang pria yang kini masih berbaring pada ranjang rumah sakit.
"Rawnie hari sudah cukup malam. Apa kau ingin aku antarkan pulang?" tawar Frey.
Rawnie tidak berpikiran untuk pulang malam ini. Ia ingin berjaga sampai dirinya bisa melihat Ansel siuman.
"Aku akan menginap malam ini. Kau pulang duluan saja, Frey."
"Tapi kau harus bekerja besok, biarkan Harsya yang menunggunya hari ini."
"Frey." Rawnie menatap wajah pria itu. "Aku tidak peduli dengan pekerjaan ku sekarang, yang aku pedulikan sekarang adalah kesembuhannya. Lagi pula aku bisa izin satu hari untuk pekerjaanku."
Jika sudah begini Frey hanya bisa pasrah. Ia memutuskan untuk membiarkan wanita itu bermalam kali ini. Tetapi ia harus pulang saat itu juga sebab keesokan harinya dia akan mengadakan meeting pagi. Mungkin jika tidak ada keperluan Frey akan menemani Rawnie bermalam di sini.
"Jika itu emang keputusan mu ya sudah. Tapi maaf aku tidak bisa menemanimu sampai pagi."
"Tidak apa-apa. Rey bisakah kau antarkan Harsya pulang? Biarkan dia berisitirahat di mansion saja."
"Tidak Rawnie aku tidak mau. Aku akan menemanimu malam ini," ucap Harsya menolak.
"Pulanglah Harsya. Aku tau kau tidak akan bisa tidur nyenyak di sini. Besok pagi kau bisa kembali di sini dan tolong bawakan beberapa pakaian ganti untuk ku ya."
Rawnie tau jika Harsya tidak bisa tidur di rumah sakit. Harsya memiliki pengalaman yang tidak mengenakkan saat berada di rumah sakit. Dia tidak mau membuat wanita itu semakin parno jika harus bermalam di tempat tersebut.
"Lalu kau akan menunggu sendiri di sini? Apa aku saja yang menemanimu di sini."
Rawnie menggeleng sebagai penolakan. "Aku bisa sendirian Frey tenang saja. Lagipula kau harus bekerja besok."
"Baiklah, kalau begitu aku pergi sekarang. Jika kau butuh sesuatu hubungi aku saja ya," tutup Frey.
Beberapa menit setelah ruangan itu tersisa dirinya dan juga Ansel, ia hanya mengulang kegiatan yang sama. Mendoakan pria itu.
Rawnie meraih jemari kekar yang saat ini sedang lemah. Ia meraih tangan itu dan menempelkan nya pada sisi kanan wajahnya.
"Kapan kau akan bangun? Kau tidak ingin beradu mulut lagi denganku?"
"Ansel jujur saja aku ingin memarahi dirimu lagi. Aku pikir kau benar-benar pria yang bodoh. Seharusnya kau membiarkan aku yang tertabrak saat itu, bukan malah menolongku. Aku sudah terlalu jahat kepadamu maafkan aku ya..." Bola matanya memanas, membendung air mata yang siap untuk mengalir.
"Sekarang aku membiarkanmu untuk bisa tidur nyenyak, tapi kau harus janji kepadaku jika besok pagi kau harus terbangun dari tidurmu."
"Aku tunggu kemarahan mu padaku besok ya ... selamat malam."
Kepalanya ia letakkan pada pinggir kasur. Ia tertidur dalam posisi duduk. Sebelum benar-benar menutup kedua matanya Rawnie berdoa, ia berharap dalam doanya, ketika dia terbangun dia ingin melihat Ansel sudah sadarkan diri saat itu juga.
Malam ini Rawnie baru bisa merasakan sisi lain dari Ansel. Atas segala perbuatan serta penyiksaan yang telah ia lakukan terhadap pria itu, sungguh ia sangat menyesal. Seharusnya dia bisa mempercayai ucapan Ansel saat itu. Karena kenyataannya setiap orang pasti memiliki sisi baiknya masing-masing.
Waktu kian berlalu menuju pagi. Cahaya matahari menembus paparan jendela yang membuat setiap sudut ruangan tampak bercahaya.
Tuhan kali ini benar-benar mengabulkan doa Rawnie semalam. Pagi itu jemari Ansel mulai bergerak. Perlahan kedua kelopak matanya mulai terbuka.
Ketika pertama kali membuka mata Ansel merasakan denyutan hebat di kepalanya, pandangan nya masih sedikit kabur. Tetapi ia merasakan sesuatu di tangan kanannya. Pria itu tersenyum saat melihat Rawnie yang berada di sisinya dan memegang jemari tangannya. Ansel bersyukur karena ternyata dia baik-baik saja. Ia sempat mengingat kejadian sebelum dirinya berada di rumah sakit.
"Ummm." Rawnie menggeliat terbangun dari tidurnya.
Saat matanya mulai terbuka ia mendapati Ansel yang sudah sadar kan diri.
"Ansel kau sudah bangun?" Ia tampak terkejut sekaligus merasa gembira. Refleks ia memeluk tubuh pria itu.
"Sejak kapan kau terbangun? Sudah lama ya? Bagaimana keadaan mu sekarang? Apakah ada yang sakit? Tunggu, biar aku memanggil dokter sebentar."
"Rawnie." Ansel menahan tangannya.
"Aku baik-baik saja," imbuhnya.
Ansel rasa kali ini Rawnie bukanlah Rawnie yang selama ini dia kenal dengan sikap dinginnya. Ia terlihat sangat cerewet sekarang.
Wanita ya itu menatap cemas keadaan Ansel, namun seketika berubah menjadi tatapan sangar seperti biasanya. "Kau ini sedang tidak baik-baik saja. Berhentilah bersikap sombong seolah kau seorang pahlawan yang bisa menghadapi rasa sakit sendiri."
"Kau memarahi ku dengan kondisiku yang seperti ini? Benar-benar tega."
Hembusan nafas panjang terdengar dari wanita itu. Sepertinya ada ia lupa dengan ucapannya yang semalam.
"Aku akan menyuapimu sarapan pagi ini. Setelah itu kau harus minum obat, tidak ada penolakan."
Ansel tertawa kecil dengan sikapnya saat itu, membuat Rawnie mengernyit heran. "Apa yang kau tertawakan?"
"Tanganku tidak terluka parah, aku masih bisa memakannya sendiri tanpa bantuanmu."
Rawnie baru sadar, sepertinya saat ini Ansel memang sedang sengaja menggoda dirinya dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Menyebalkan.
"Stop! Lupakan hal itu dan berhentilah menyindir diriku seperti ini, Ansel."
Ansel menurut saja, dia membuka mulutnya untuk menerima suapan pertama dari tangan Rawnie.
"Rawnie."
"Iya?"
"Apa semalaman kau menjagaku sendirian di sini?"
Rawnie mengangguk sebagai jawaban.