Sejatinya manusia sering kali melupakan kewajibannya untuk mensyukuri setiap kehidupan yang telah dilewati. Begitu banyak rentetan kehidupan dimana didalamnya menceritakan sebuah kisah duka maupun bahagia. Duka dan juga bahagia tentu menjadi tolak ukur yang sepadan dalam kehidupan. Sayangnya tidak sedikit orang yang akan sang pemilik bahagia sesungguhnya. Mereka hanya datang dikala duka mulai menerpa, menangis penuh harap agar diberi bahagia yang serupa.
Nyatanya seharusnya tidak semudah itu untuk meminta. Kita perlu tahu diri atas apa yang telah dirasakan selama ini. Berbenah serta memperbaiki diri perlu diterapkan untuk menghindari penyesalan yang sia-sia dikemudian hari. Banyak hal yang terkadang sudah terbuka lebar untuk bisa kita lihat, tetapi ada saja hambatan yang membuat kita seolah tidak melihat semua itu.
Intinya kita hanya perlu untuk sekedar menilik dan menyadari dengan benar atas apa yang sudah pernah kita dapatkan.
Ansel terbaring jenuh menatap setiap sudut ruangan. Hari ini adalah hari ketiga dirinya berada di ruang rawat inap. Padahal sekarang Ansel sudah merasakan perbedaan pada tubuhnya jauh lebih baik, namun sayangnya dokter belum mengizinkan dirinya untuk keluar dari rumah sakit. Dokternya mengatakan jika kondisinya saat ini masih membutuhkan cek up rutin serta perlu dilihat perkembangannya. Kecelakaan yang ia alami saat itu memanglah cukup berisiko tinggi. Itulah mengapa dokter tidak mengizinkan begitu saja dirinya untuk keluar dari sana.
Dalam kalutnya terlintas sebuah kenangan pahit pada masa lalunya. Kehidupan yang jauh dari kata bahagia dan penuh dengan toxic. Betapa mirisnya saat ia kembali mengingat beberapa hal saat itu. Menghamburkan uangnya demi bermain-main dengan wanita, kemudian minum-minuman. Rasanya hal itu sangat memalukan. Ansel sedikit kecewa dengan dirinya yang baru bisa tersadar kali ini. Andai saat itu dia tidak terjebak pada kehidupan dunia yang gelap itu, mungkin sekarang dia tidak akan menerima sebuah takdir yang menyulitkannya saat ini.
Ceklek
Pintu ruangan terbuka, mengembalikan Ansel pada kesadaran yang sesungguhnya. Rawnie datang menghampiri dirinya dengan beberapa cangkingan kresek putih ditangannya, lalu menaruhnya di atas meja dan beranjak duduk di sofa kecil.
"Hari ini kau tidak pergi bekerja?" tanya Ansel pada Rawnie yang saat itu sedang menyandarkan tubuhnya pada sofa.
"Tidak Ansel. Kalau aku bekerja siapa yang akan menunggumu di sini?"
Padahal Rawnie bisa menyuruh pelayan di mansion nya untuk menjaga Ansel di rumah sakit, tapi dia tidak menginginkan hal itu. Melainkan ia sendiri memang menginginkan merawat Ansel sampai lekas sembuh.
"Rawnie aku sudah terbiasa sendiri, lagipula aku bisa memanggil salah satu suster jika aku membutuhkan bantuan mereka."
"Kalau begitu jangan dibiasakan sendiri, bagaimanapun juga kau pasti membutuhkan seseorang. Jika sebenarnya ada seseorang yang mau menemani kenapa kau harus menolaknya 'kan?"
Ungkapan wanita itu membuat Ansel sedikit bertanya-tanya. Entah otaknya yang tidak mampu untuk mencerna ucapannya atau memang ucapan Rawnie lah yang memang kurang tepat penempatannya.
"Tapi nyatanya tidak ada yang menemaniku saat ini. Apa kau lupa jika saat ini aku hidup sendiri di kota ini? Aku kan korban penculikan."
Rawnie bangkit dari duduknya kemudian berkacak pinggang. "Hei, lalu kehadiranku kali ini kau anggap apa?"
"Bukan itu maksudku. Ah, sudahlah kau tidak paham."
Berbicara dengan Rawnie memang selalu memancing rasa kesal dalam dirinya.
"Apa kau tidak bosan berbaring setiap hari di ranjang itu?" tanya Rawnie mencoba mengalihkan topik.
"Sangat bosan. Aku bahkan ingin cepat-cepat keluar dari tempat ini dan melepas semua jarum suntik yang menusuk tubuhku ini." Ansel memperlihatkan berbagai macam alat kesehatan yang melekat di tubuhnya saat itu.
Rawnie tertawa hambar. "Hahaha... Sayangnya kau bukan golongan orang yang kuat, itulah mengapa kau masih membutuhkan semua hal itu."
"Ayo!"
Ansel menoleh ke arah Rawnie yang sedang mendorong kursi roda ke arahnya.
"Mau keluar tidak? Kalo tidak mau aku akan-"
"Tunggu! Aku mau ikut," tukas Ansel cepat sebelum Rawnie mengubah keputusannya.
Tawa Rawnie hampir saja pecah saat mendengar ucapan Ansel yang menurutnya menggemaskan. Tetapi segera ia alihkan dengan membantu pria itu turun dari ranjang dan duduk pada kursi roda. Ia kemudian mendorongnya ke luar ruangan menuju halaman taman rumah sakit.
Udara yang sejuk membuat Ansel bisa mendapatkan oksigen yang lebih segar daripada saat berada di dalam ruangan. Mereka tidak sendiri, ternyata banyak orang yang sedang sekedar mencari kesejukan sementara.
"Aku sudah memotongkan apel untukmu. Buku mulutmu, aaa ...." Rawnie menyuapi sepotong apel kepada Ansel.
Ansel melahapnya. Entah mengapa perlakuan Rawnie saat itu membuat dirinya merasa nyaman didekatnya. Rawnie begitu memahami dirinya, hampir semua makanan terasa tidak enak, tapi buah-buahan mampu menyegarkan mulutnya.
"Ansel."
Ansel berhenti mengunyah makanan di mulutnya. "Iya?"
Rawnie berjongkok di depan Ansel. Ia menatap lekat-lekat seseorang di depannya. Kali ini dia ingin menanyakan hal yang serius. "Mengapa kau menolongku saat itu?"
Sebuah pertanyaan yang memang sudah ingin ia pertanyakan beberapa hari yang lalu. Terpaksa ia tunda karena tidak ingin membebani pikiran pria itu.
"Apakah menolong seseorang butuh alasan?"
Rawnie mengedikan bahunya. "Mungkin."
"Aku pikir tugas seorang manusia itu kan memang saling tolong menolong. Kita tidak perlu memilah untuk menolong siapapun itu."
Ansel mengambil sebelah tangan wanita itu. "Rawnie, aku memang bukan sepenuhnya orang yang baik. Aku pria yang brengsek seperti katamu beberapa waktu yang lalu. Aku menyadari semua itu sekarang, tapi tidak ada salahnya kan jika kita mencoba berubah untuk menjadi lebih baik lagi?"
Desiran angin yang menerpa kulit seolah menjadi saksi bisu antara percakapan mereka berdua.
"Dengan apa yang sudah aku lakukan padamu, kau masih mau melakukan semua itu?" ucap Rawnie kembali bertanya.
"Ya, memang seharusnya aku tidak menolongmu waktu itu. Kau kan sangat menyebalkan, andai saat itu aku membaurkan mu tertabrak mungkin sekarang aku sudah bisa lepas dari ikatanmu."
Rawnie mencubit gemas perut lelaki itu, membuatnya meringis kesakitan. "Aww!"
"Menyebalkan!"
Ansel tertawa lepas sampai ia melupakan perutnya yang masih terasa kram.
"Aku bercanda," imbuhnya.
"Tidak selalu kejahatan harus dibalas dengan kejahatan. Meskipun terlalu banyak dosa yang ku perbuat selama ini, tetapi aku ingin dalam kehidupan ku setidaknya ada satu kebaikan yang pernah aku lakukan sebelum aku mati."
"Jadi maksud kamu aku adalah penjahat? Baiklah kalau begitu aku akan meninggalkan dirimu sendiri. Bye!"
Rawnie berdiri hendak beranjak dari taman tersebut, namun Ansel mencegah tangannya. "Bagaimana denganku?"
Rawnie menggelengkan kepalanya pelan sembari tersenyum simpul. "Bercanda, aku tidak akan meninggalkanmu."
Rawnie membawa Ansel kembali ke dalam ruangan. Sepertinya sudah cukup Ansel berada diluar ruangan. Setelah ini ia akan memberikan obat kembali kepada Ansel dan menyuruh pria itu untuk berisitirahat.