Saat menoleh Rawnie baru menyadari siapa yang akan duduk disampingnya. "Owh tentu, silakan.
Rawnie bergeser memberi ruang untuk lelaki itu duduk.
"Rawnie bisakah kau menukar tempat duduk mu denganku," bisik Bora tepat di telinga Rawnie namun tidak ia tanggapi. Bora menatap senang akan kehadiran lelaki itu di sini.
"Jika tidak salah kau ini Rawnie dan teman di sebelah mu itu bernama Bora. Kalian berdua yang akan menjadi model di perusahaan saya bukan?" tanya nya memastikan.
"Iya, Pak. Saya Bora dan ini Rawnie"
Rawnie menatap malas wajah sok kenal sahabatnya itu.
"Dua signature coffie atas nama Rawnie." Pelayan datang membawa dua pesanan minuman milik mereka.
Setalah membayar Rawnie menyegerakan untuk pergi dari kedai kopi itu. Namun sebelumnya ia berpamitan dengan pemilik perusahaan yang bekerjasama dengannya.
"Pak Mahen, saya izin pamit terlebih dahulu karena masih ada beberapa urusan yang harus saya lakukan, maaf tidak bisa menemanimu disini," ucap Rawnie sopan.
"Tidak apa, lagipula pesanan saya juga sebentar lagi datang. Terimakasih karena sudah mau berbagi tempat duduk dengan saya."
"Tidak masalah," pungkas Rawnie. Mengakhiri pertemuan mereka dengan senyum tipisnya.
Rawnie hanya bisa melihat kelakuanku memalukan dari Bora. Bisa-bisanya gadis itu masih saja menatap kebelakang sembari memberikan senyuman untuk Mahen.
"Apa kau tidak tahu cara berjalan yang baik Bora? Kau sedang berjalan ke depan bukan ke belakang. Cepat balikkan kepalamu itu ke depan!"
"Rawnie, dia terlalu tampan. Ingin rasanya aku mengarungi dirinya lalu ku bawa ke dalam kamarku. Astaga Bora, kau benar-benar terobsesi dengan ketampanannya," ucap Bora yang terdengar sangat tidak enak di telinga Rawnie.
"Berhentilah berharap pada sesuatu yang jelas sulit untuk kau dapatkan. Sadarilah sekarang sebelum semuanya terlambat."
"Rawnie! Kau ini seharusnya memberi semangat kepadaku bukan malah memberi petuah yang membuat aku menyerah!" ucapnya kesal seraya mengehentak-hentakan kakinya.
Rawnie tak peduli dengan apa yang Bora lakukan. Ia memilih untuk tetap berjalan meninggalkan Bora yang berada beberapa langkah dibelakangnya.
"Rawnie! Tunggu aku!"
***
"Halo."
Seorang pria bertubuh tegap berdiri dengan memegang benda pipih ditangannya. Ia berbicara dibalik telfon dengan orang misterius. Sendiri dalam ruangan itu ia bercakap dalam suasana yang hening.
"Cukup, hentikan pencarian tentang siapa pria yang menolongnya. Untuk sekarang aku sudah memiliki rencana baru."
Mengakhiri panggilan setelahnya. Ada sebuah rencana baru yang mulai mengasap didalam otaknya. Sebuah rancangan sepertinya akan segera ia mulai.
"Akhir yang hebat, tunggu saja akan ada hal yang membuatmu tercekat Rawnie. Semua sudah semakin dekat bersiaplah," ujarnya dengan menampilkan smrik wajahnya.
Ketika hati sudah membatu. Tidak ada lagi kasih dan sayang layaknya seorang manusia. Peduli pun atau tidak sudah tidak terpikirkan dalam dirinya. Rasa sakit yang dahulu ditarik ulur semakin membuatnya sulit untuk melupakan masa lalu. Sepertinya waspada harus dinomor satukan oleh Rawnie, dirinya dalam keadaaan bahaya saat ini.
***
Rawnie saat ini telah sampai di cafe miliknya. Bora mengikuti dirinya di belakang. Sejujurnya Rawnie cukup malas membawa sahabatnya pergi ke kafe dengannya, tapi apa boleh buat jika itu sudah menjadi keinginan Bora. Sudah seperti hal mutlak yang tidak boleh ditolak.
Alasan Bora cukup simpel ia hanya beralasan bosan berada di dalam rumah, menguntit Rawnie sebenarnya hanya untuk mendapatkan jaringan internet gratis dan tentunya ia pasti akan disuguhi makanan serta minuman yang ada di kafe. Taktik marketing yang bagus.
Pada ruangan kerjanya Rawnie masih fokus mengerjakan beberapa laporan pada laptopnya, sedangkan Bora dengan santainya menonton sebuah film pada laptopnya sembari menghabiskan kentang goreng yang dia dapatkan secara gratis dari kafe milik Rawnie.
"Rawnie nanti malam aku menginap di mansion mu ya," ucap Bora tiba-tiba.
"Tidak-tidak, untuk kali ini aku tidak mengizinkannya."
Bora men-skip tontonan nya dan beralih menatap Rawnie. "Pelit sekali dengan teman sendiri."
"Aku memang pelit jadi nanti jangan lupa bayar semua total makanan serta minuman yang sudah kau ambil dari kafe ku hari ini."
Bora mencibir, kesal dengan sikap sahabatnya itu.
Memang seperti itu watak Rawnie, lagipula juga Bora sendiri yang menariknya untuk mengatakan hal itu. Sekarang Bora menjadi menyesal atas ucapannya tadi. Masa iya ia harus mengeluarkan beberapa uangnya, padahal kan diawal dia sudah berharap jika mendapatkan makanan serta minuman gratis.
"Rawnie yang baik dan tidak sombong serta dermawan, tolong berikan aku potongan harga yah kalo bisa diskon seratus persen saja, itu sungguh membuatku sangat senang nantinya."
"Boleh ya sahabat ku yang paling baik?" bujuknya sengaja menari turunkan alis.
"Iyakan Rawnie? Kau kan cantik," masih tetap merayu sahabatnya dengan kata-kata termanis walau sampai saat ini masih belum juga ditanggapi.
"Boleh ya sayang ...."
"Diam! Menjijikan rayuanku itu," ucap Rawnie ketika mendengar ucapan Bora sebelumnya.
"Bolehkan sayang aku menginap di tempat mu malam ini? Malam ini kau bisa tidur seranjang denganku dan kau tidak akan kesepian jadinya."
"Iya-iya aku minginzinkanmu menginap malam ini," putus Rawnie karena sudah tidak tahan dengan ucapan rayu dari mulut gadis itu.
"Yeay! Terimakasih Rawnie kau memang sahabat terbaikku."
"Tapi ada syaratnya."
Bora yang awalnya sudah sangat senang seketika merubah wajahnya menjadi datar. Ternyata tidak semudah itu dia mendapat sesuatu dari Rawnie.
"Apa?'
"Bantu aku menyalin beberapa tumpukan dokumen ini. Jika kau berhasil menyelesaikannya maka aku akan menurutimu."
Bora mengangguk menyanggupinya. "Oke, setuju. Aku akan membantu menyalin semua pekerjaan mu hari ini."
Rawnie memberikan laptopnya kepada Bora. "Kerjakan dengan benar, jangan sampai ada kata yang lupa kau tulis dari berkas itu."
"Iya-iya, serahkan saja padaku."
Kalau seperti ini kan Rawnie jadi bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Untungnya Bora bisa membantu dirinya kali ini. Tapi jika dihitung pekerjaan yang diberikan kepada Bora sepadan dengan makanan serta minuman yang telah berhasil dia dapatkan dari kafenya.
***
Sekitar pukul dua siang Ansel terbangun dari tidurnya. Entah mengapa tidurnya kali ini cukup nyenyak. Mungkin saja karena beberapa hari saat di rumah sakit dia sedikit kesulitan untuk beristirahat. Akhirnya setelah keluar rumah sakit dia bisa berbaring dengan nyaman pada mansion ini. Hal itu membuat dirinya lupa waktu dalam menghabiskan waktu istirahatnya.
Suara perut keroncongan mulai terdengar. Ia merasakan lapar saat ini. Ansel memutuskan untuk keluar kamar dan pergi ke dapur. Sampai di dapur ia tidak sengaja bertemu dengan Harsya yang sedang mencuci piring.
Merasakan kehadiran seseorang dibelakangnya membuat Harsya berbalik dan menoleh. "Ansel ada apa? Ternyata kau sudah bangun, apa kau lapar saat ini?"
Ansel mengangguk menjawab pertanyaan Harsya. Lalu Harsya menyuruhnya untuk duduk di meja makan. Saat ia sampai di meja makan ternyata sudah tersedia beberapa kaum di sana. Harsya membantu dirinya mengambilkan nasi serta lauk yang Ansel inginkan. Semenjak Ansel berada di sini Harsya selalu memasak nasi untuknya, sebenarnya ini perintah Rawnie. Dia ingin Harsya menyiapkan makanan yang memang sudah menjadi ciri khas di negara Ansel sebelumnya.
"Harsya bolehkah aku bertanya sesuatu kepadamu?" tanya Ansel.