Chereads / Penculik yang memikat / Chapter 19 - RASA CEMBURU

Chapter 19 - RASA CEMBURU

"Rawnie sekarang masih di rumah sakit?" Seorang pria yang telah berpakaian rapi dengan balutan jas ditubuhnya kini sedang berdiri tegap di depan mansion Rawnie.

"Iya, nona Rawnie sudah menginap beberapa hari di sana dan hanya pulang untuk mengambil beberapa pakaian gantinya saja," jelas seorang penjaga mansion di sana.

"Terimakasih informasinya."

Pria itu kembali ke dalam mobilnya. Kemudian pergi dari tempat itu dengan perasaan yang kecewa.

Pria itu sesekali melirik ponselnya, namun nihil, masih sama seperti sejak awal, tetap tidak ada balasan dari seseorang yang sejak tadi ia tunggu. Pilihan akhirnya adalah langsung menemuinya saat itu juga. Percuma juga dia menelfon nya karena tetap tidak kunjung diangkat.

Ini kedua kalinya kau melupakan janjimu, Rawnie.

****

Ceklek

Pintu ruangan sedikit terbuka, menampakkan seorang pria berdasi tengah berdiri tegap di sana.

"Frey, kemarilah," ucap Rawnie meminta Frey untuk masuk ke dalam.

Kaki tegapnya perlahan berjalan masuk.

"Kenapa kau tidak memberitahuku jika akan berkunjung ke sini?" tanya Rawnie ketika Frey mengambil posisi duduk disampingnya.

"Dimana ponselmu? Kurasa kau perlu mengeceknya."

Mendengar penuturan pria itu membuat Rawnie semakin yakin jika sebelum sampai di sini, Frey telah mengirimkan pesan kepadanya terlebih dahulu. Demi tuhan Rawnie tidak sengaja melupakan janjinya kembali. Saat membaca pesan tersebut ia baru sadar bahwa hari ini ia memiliki janji pada pria itu.

Rawnie menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Hehe ... Aku lupa Frey, maaf."

"Aku baru saja keluar dari ruangan ini menuju taman rumah sakit dan ponselku memang sengaja aku tinggalkan di dalam ruangan," jelas Rawnie. Sekarang ia menjadi merasa tidak enak dengan pria itu.

"Taman rumah sakit?"

"Iya, aku melihat wajah bosan Ansel tadi, jadi kupikir tidak ada salahnya aku membawa dia keluar sebentar."

"Ansel ini Frey teman dekatku dan Frey dia Ansel, pria yang selama ini aku ceritakan padamu," ungkap Rawnie memandangi mereka secara bergantian.

Ansel sedari tadi hanya menjadi penonton pembicaraan antara Rawnie dengan Frey. Ansel merasa familiar dengan wajah Frey, sepertinya pria yang berada di depannya sekarang adalah pria yang waktu itu menjemput Rawnie di mansion.

Mereka saling bertukar senyum. Ralat. Hanya Ansel saja, tidak dengan Frey. Pria itu justru menampakkan wajah yang terlihat datar dan digunakan. Melihat responnya yang seperti itu membuat Ansel menyesal telah bersikap ramah seperti tadi.

Ternyata tidak hanya Ansel yang melihat wajah datar dari Frey, akan tetapi ternyata sejak tadi Rawnie mengamatinya. Rawnie memilih untuk membuka percakapan kembali agar tidak terlalu canggung.

"Frey, apa hari ini kau libur? Tidak ada pekerjaan begitu?" tanya Rawnie.

Frey menoleh menghadap Rawnie. "Tidak."

"Benarkah? Sesuatu yang langka, sangat sulit sekali mendapatkan jatah libur dalam perusahaanmu."

Frey menggeleng pelan. "Kau bertanya seperti itu seolah menyuruhku untuk cepat-cepat pergi dari tempat ini, mengapa?"

Pertanyaan pria itu seolah menjelaskan bahwa dirinya sedang tidak berada dalam mood yang baik.

Sepertinya drama akan segera dimulai. Ansel sudah bersiap untuk menjadi penonton mereka kembali. Ia enggan merespon atau bergabung dalam percakapan mereka kali ini.

"Ada apa denganmu? Mengapa berpikir seperti itu? Aku justru senang karena kau berada di sini, setidaknya aku memiliki teman tunggu. Tetapi di sisi lain aku mengkhawatirkan pekerjaanmu."

Iya kau mengkhawatirkan pekerjaanku, tapi sayangnya tidak dengan perasaanku.

Rawnie tidak memiliki bakat untuk menghibur seseorang. Sebenarnya ia sadar jika Frey marah dengannya, tetapi percayalah dia bingung harus melakukan apa sekarang. Rawnie terlalu takut untuk mengambil langkah. Khawatir jika yang dia ambil justru semakin memperburuk suasana.

"Jadi bagaimana denganmu? Bisa menemaniku atau tidak? Kalo memang tidak aku akan pergi saat ini juga." Frey melirik jam tangannya lalu kembali berkata, "terlalu banyak waktuku terbuang sia-sia pagi ini."

Disaat seperti ini Rawnie hanya berharap untuk didatangkan seseorang sebagai penengah. Sebenarnya dia tidak ingin pergi dan tetap menjaga Ansel di sana, tetapi dia juga tidak enak hati jika harus menolaknya.

"Frey, maaf tapi sepertinya aku tidak bisa meninggalkan Ansel sendirian." Rawnie memutuskan untuk tetap menemani Ansel. Ia khawatir jika Ansel akan kesulitan untuk melakukan aktivitas dengan kondisi kakinya yang saat ini belum membaik.

Ada rasa kecewa pada diri Frey saat Rawnie memilih keputusannya.

"Bagaimana dengan Harsya, apakah dia juga tidak bisa menemaninya? Tapi tidak apa jika kau memang tetap tidak bisa, aku bisa pergi sendiri."

Saat Frey membalikkan badan, seseorang berucap dan membuatnya menghentikan satu langkahnya.

"Kau bisa pergi dengannya Rawnie. Setelah ini juga aku akan istirahat, tadi kau sudah membantuku untuk minum obat jadi kau tidak perlu mengkhawatirkan ku lagi."

"Tapi Ansel, bagaimana caranya kau bangkit dari ranjang jika nanti kau ingin pergi ke kamar mandi? Aku tahu kakimu masih sakit."

Rawnie sangat berat hati jika harus tetap pergi bersama Frey sekarang.

Mendengar penuturan yang sepertinya terdengar mengkhawatirkannya berhasil membuat Ansel melepas senyum tipisnya. "Ada perawat di sini dan aku akan memanggilnya nanti."

"Baiklah jika kau mau begitu, tapi aku akan tetap menelfon Harsya untuk datang ke sini sekarang."

Ansel mengangguk dan membiarkan Rawnie untuk menghubungi Harsya. Padahal Ansel tidak apa jika harus ditinggal sendiri.

"Sudah menelfon nya kan? Pergilah sekarang Rawnie, sepertinya ada yang sudah tidak tahan berada di ruangan ini," ungkap Ansel. Ia sengaja sedikit menyindir pria itu sebab ia tidak tahan melihat wajah datar yang terpampang pada dirinya.

"Setelah Harsya datang aku akan langsung pergi. Tidak masalah kan Frey?"

Rawnie sengaja mengeluarkan puppy eyes nya berharap pria didepannya akan lilin dengan permintaannya sekarang.

"Ini sudah terlalu siang. Memangnya kita tidak akan terlambat sampai di sana?"

"Tapi Frey-"

Ansel menyela. "Sekarang saja Rawnie. Aku tidak apa-apa di sini, lagipula aku yakin sekarang Harsya sudah berjalan ke sini."

Sedikit hembusan nafas pasrah terdengar. "Baiklah."

Akhirnya Rawnie memutuskan untuk meninggalkan Ansel saat itu juga. Sebelum pergi ia sempat mengambil tas kecilnya yang tergeletak di samping ranjang.

"Jaga dirimu baik-baik yah. Kalau kau perlu sesuatu tetapi Harsya belum ada di sini jangan sungkan untuk memanggil perawat di sini ya," pinta Rawnie sebelum akhirnya ia beranjak mendekati Frey yang sudah berjalan keluar.

"Iya, Rawnie tenang saja."

Sepeninggalan Rawnie dan Frey, kini Ansel memilih untuk merebahkan tubuhnya dan mulai menutup kedua bola matanya. Selain tidur entah hal apalagi yang bisa dia lakukan saat ini. Kehidupannya sekarang hanya berputar soal tidur dan makan, sangat membosankan. Mungkin pada pandangan yang lain hal ini terdengar  menyenangkan, nyatanya hal itu membuat jenuh. Melakukan aktivitas layaknya manusia normal jauh lebih menyenangkan meskipun kadang membuat lelah, tidak diam begitu saja layaknya benda mati.