"Mengapa kau tersenyum?" tanya Rawnie saat mendapati pria disampingnya tersenyum kecil setelah mendengar ucapannya barusan.
"Ternyata orang sepertimu bisa menjadi bijak juga."
Rawnie mendengus. "Apa maksudmu? Seperti apa kau menilai diriku ini?"
"Bukankah kau sudah tahu jawabannya."
"Iya-iya aku tahu jawabannya. Kau pernah mengatakan jika aku brengsek, keras kepala, tidak punya hati dan juga-"
"Peduli juga perhatian." Ansel sengaja menyela ucapan Rawnie.
"Terimakasih karena kau sudah merawatku dengan sangat tulus dan penuh rasa sabar." Ucapannya kali ini terdengar begitu tulus.
"Tapi itu semua ada bayarannya, aku tidak mungkin melakukan itu secara cuma-cuma, Ansel."
Senyum tulus itu seketika berubah menjadi raut wajah yang seakan tengah bertanya-tanya.
Rawnie menepuk salah satu pundak Ansel, ia tertawa pelan. "Aku tidak serius dengan ucapanku barusan. Lagipula kau menjadi seperti ini karena aku."
"Aku tidak tahu apakah semua yang kulakukan sudah bisa menebus rasa terimakasih atas pertolongan mu waktu itu."
Ansel mengikis jarak diantara mereka. "Berhenti menyalahkan dirimu, Rawnie. Kau sudah melakukan yang terbaik untuk ku."
Memaafkan orang lain mungkin memang mudah, tapi tidak dengan memaafkan diri sendiri. Hal tersulit dalam hidup ketika hati terus mengatakan bahwa kesalahan yang kita perbuat tidak memiliki ruang untuk dimaafkan. Rasa penyesalan kian mengikuti disetiap perjalanan. Walau sebenarnya hal itu sudah sangat ikhlas diberi pintu maaf oleh mereka yang disakiti, namun sayangnya perasaan dalam diri sulit untuk menerima begitu saja.
"Tidak mudah untuk aku lakukan, tapi aku akan mencobanya."
Ansel senang mendengar jawaban dari Rawnie. Setidaknya ia bisa membuat gadis itu untuk sedikit melupakan apa yang sudah berlalu. Membiarkan lembar baru membuka pintu untuk dirinya melangkah lebih jauh. Jika tidak dipaksa untuk bangkit maka dia bisa saja diam pada satu titik yang tidak seharusnya ditempati.
"Bolehkah aku menanyakan satu pertanyaan lagi?"
Rawnie menaruh kebelakang beberapa helai rambutnya yang menghalangi wajah. "Seribu pertandingan pun akan aku jawab, Ansel."
"Memang kau bisa menjawab pertanyaan sebanyak itu?"
Gadis itu tersenyum manis dan menggeleng. "Tidaklah aku kan bukan robot."
"Apa yang ingin kau tanya kan padaku?"
Ansel menatap ragu wajah Rawnie, ia takut jika pertanyaan nya melewati batas.
"Cepat katakan jangan membuat ku terlalu lama menunggu."
"Kau masih memiliki kedua orangtua?"
"Woy!" Kehadiran Bora membuat mereka terkejut saat pundaknya tiba-tiba ditepuk dari belakang oleh gadis itu.
"Berdua aja lagi bahas apa nih? Masa depan?"
Bora ini senang sekali perihal menggoda temannya itu.
Rawnie bergeser ke sebelah kanan agar Bora bisa duduk diantara mereka berdua. "Jaga ucapanmu atau akan aku gigit mulutmu itu."
"Begitu menyeramkan. Jangan terlalu agresif seperti itu Rawnie, jika kau ingin berlatih maka kau bisa melakukannya dengan lelaki lain bukan denganku."
Sepertinya Bora butuh pertolongan khusus untuk memperbaiki otaknya. Entah bagaimana jalan pikirannya sehingga mengatakan hal itu didepan Ansel dan Rawnie.
"Kau memang tidak bisa menjaga bicaramu."
Ingin rasanya Rawnie menghilangkan Bora dari kehidupannya sekarang juga. Bagaimana bisa pikirannya melayang pada hal yang sangat tidak pantas untuk didengar oleh telinga.
"Rawnie, ayolah jangan malu-malu untuk mengakui nya."
Rawnie memilih untuk pergi dari tempat itu sebelum Bora semakin memancing emosinya. Hingga ujungnya Rawnie lupa akan pertanyaan Ansel yang belum sempat dia jawab tadi.
"Hey! Kau ingin pergi kemana?" teriak Bora pada Rawnie yang sudah berjalan meninggalkan nya.
"Kemanapun asal tidak ada kau!" balas Rawnie tak kalah keras dengan suara Bora.
"Sialan!"
"Eh, sebentar-sebentar. Kau akan pergi kemana Ansel?" tanya Bora saat Ansel juga bangkit dari duduknya.
Dengan posisi berdiri ia menjawab. "Aku akan kembali kedalam kamarku."
"Kurasa suasana nya sudah tidak baik jika aku tetap berada disini," pungkas Ansel sebelum akhirnya ia benar-benar melangkah pergi.
Sepertinya Ansel dan Rawnie sudah satu paket. Dia memiliki pikiran yang sama untuk meninggalkan Bora. Tapi memang baiknya seperti itu untuk menghindari kegilaan yang gadis itu bawa.
"Mereka ini sama saja. Ansel juga, apa maksudnya mengatakan jika suasana nya tidak baik. Apa itu karena kehadiranku? Menyebalkan."
"Ansel tunggu! Aku juga akan ikut masuk denganmu!" pekik Bora berlari mengejar pria itu. Sepertinya Boda tidak pernah kapok ketika dirinya selalu ditinggalkan sendiri oleh temannya.
Bora sepertinya kau harus selalu bersabar untuk menyikapi mereka berdua. Dengan sikap gilamu itu seakan membuat mereka ingin berlari meninggalkan dirimu sendiri. Lelah ya? Tapi kau hebat karena masih bisa bertahan sampai sekarang dengan sikapmu itu.
Bora yang malang.
***
Pagi ini suasana mansion tidak lagi terasa sepi seperti biasanya. Suara teriakan serta keusilan yang sudah Bora lakukan di sana membuat suasana menjadi ramai di pagi hari. Apalagi ketika Bora yang sedang memasak di dapur bersama Rawnie dan Harsya. Gadis itu berteriak ketika minyak yang menciprat-ciprat akibat penggorengan ayam. Kalian bisa bayangkan bagaimana kacau dan hebohnya seorang Bora ada diantara mereka.
"Berhentilah berteriak suaramu begitu menggangguku Bora."
Rawnie merasa keki terhadap kehebohan yang dilakukan Bora. Pasalnya yang memasak ikan itu Rawnie bukan Bora, tetapi gadis itu justru bersembunyi dibalik tubuhnya seraya berjingkrak-jingkrak ketakutan. Menyusahkan bukan jika seperti itu.
"Aku mana mungkin bisa berhenti berteriak. Kau ini sedang berada dalam bahaya sekarang Rawnie. Cepat matikan kompornya dan beli makanan diluar saja."
Entah saran apa yang Bora beri itu. Harsya yang mendengarnya hanya bisa geleng-geleng kepala. Dia merasa heran mengapa Bora bisa melakukan hal seperti itu.
Sepertinya memang ada yang salah dengan pembagian otak Bora. Seperti apa jadinya jika nanti dia sudah berumahtangga. Apa sikap gilanya ini akan terus ia bawa nanti. Bukankah akan sangat lucu jadinya, setiap hari membeli makanan hanya alasan takut saat memasak.
Rawnie mematikan kompor ketika dilihatnya sudah matang. Ia meniriskan minyak yang masih menempel pada ayam tepung yang dibuatnya. Harsya sendiri saat ini sedang sibuk membuat Chili saus dan Cheese saus. Hari ini Rawnie tidak terlalu sibuk jadi bisa sedikit membantu Harsya pagi ini. Jika kalian bertanya apa kontribusi Bora pagi ini, gadis itu bisa digambarkan sebagai supporter yang terlalu bersemangat berteriak.
Bora menghampiri Harsya. Ia mencolek sedikit saus pedas yang dibuat olehnya. Saat menjilat saus dari jarinya, matanya langsung terbelalak.
"Pedas!"
"Astaga Bora! Kenapa kau mencicipinya, aku belum selesai mencampurkan sausnya."
Harsya baru menyelesaikan saus kejunya, dia belum sempat mencampurkan saus tomat dengan saus cabe. Tentu rasanya sangat pedas sebab saus itu tidak dicampuri bahan lain, hampir 70% berasal dari cabai.
"Minum-minum, aduh-"
"Aww!" Bora meringis ketika kakinya terpentok kursi.
Harsya dan Rawnie saling berhadapan sebelum akhirnya tertawa melihat hal yang terjadi dengan Bora.