Akhirnya setelah sekian lama berada di dalam mansion hari ini Ansel bisa keluar. Kali ini memang Ansel pergi berdua bersama Rawnie, tapi yang sekarang bukan dengan paksaan melainkan keinginannya. Mengingat hal ini ingin rasanya ia kembali seperti dahulu, bisa berjalan-jalan dan menyetir mobil sendiri. Ansel masih mengingat bahwa dia pernah berkeinginan mengunjungi negara ini hanya saja saat itu biayanya cukup tinggi dan ia pikir lebih baik ditunda terlebih dahulu. Sejujurnya dia senang sekarang bisa menginjak kota ini, tapi kehidupannya saja yang menyedihkan sekarang.
"Apa yang sedang kau lihat dariku?" ucap Rawnie yang menangkap basah saat pria disampingnya terus melihatnya.
"Tidak ada, melihatmu berada di bangku itu membuat aku mengingat ketika dahulu aku mengendarai mobil."
Rawnie mengerti keadaannya sekarang. "Kau ingin mencoba membawa mobil ini?"
"Memangnya boleh?" tanya Ansel penuh harap.
"Tentu ...."
"Tidak," lanjut Rawnie membuat Ansel merasa kecewa.
"Sudah kuduga."
Ansel membuka setengah kaca mobilnya. Menatap ke arah luar sembari menikmati setiap perjalanan yang dilalui. Rawnie hendak menegur ketika Ansel membuka kaca mobil, ia hanya takut jika terjadi sesuatu padanya. Pasalnya Ansel menyenderkan kepalanya pada bagian samping jendela. Tetapi ketika melihat wajah Ansel terlihat menikmati suasana itu membuat dirinya terpaksa untuk diam.
"Dulu aku pernah mendambakan kota ini. Sudah menyiapkan tabungan untuk berlibur saat itu, sayangnya ada hal lain yang perlu kucukupi jadi mau tidak mau harus menunda terlebih dahulu," ungkapnya menceritakan hal yang pernah menjadi rencananya dahulu.
Rawnie mendengarkannya bercerita. "Tapi sekarang kau juga sudah berada disini."
Ansel menoleh dengan tatapan malas. "Itu semua karena kau menculikku."
"Bukankah seharusnya itu sebuah keberuntungan bagimu? Jadi kau tidak perlu mengeluarkan biaya sepeserpun untuk datang ke sini."
"Keberuntungan macam apa? Diculik menurutmu sebuah keberuntungan?"
"Kupikir begitu."
Beberapa saat keadaan menjadi hening. Mungkin memang bingung harus membicarakan soal apa.
Jalanan kali ini tidak seramai biasanya, hal itu membuat Rawnie lebih rileks saat membawa kendaraannya.
"Aku juga sebenarnya ingin berkunjung ke negaramu. Di sana banyak sekali tempat wisata yang berhubungan dengan alam 'kan? Aku juga ingin sekali mengunjungi candinya." Kali ini giliran Rawnie yang bercerita.
"Kau tahu tentang candi di Indonesia?" tanya Ansel.
Rawnie mengangguk dan menatap Ansel sebentar. "Iya, hanya beberapa saja karena aku sempat membacanya di artikel."
"Lalu mengapa kau belum mengunjunginya? Aku yakin alasannya berbeda denganku. Orang sepertimu mana mungkin kekurangan harta 'kan?" pikir Ansel.
Rawnie tersenyum kecil mendengar penuturan pria di sampingnya. "Iya benar sekali apa yang kau katakan. Aku hanya tidak bisa membagi waktu antara bekerja dan berlibur."
"Jangan paksakan waktumu untuk terus-menerus bekerja, sesekali luangkan waktu untuk menyenangkan diri sendiri."
"Jika aku jadi pergi ke Indonesia, kau mau menemaniku?"
"Tentu! Memangnya kau akan pergi ke sana?" tanyanya sangat bersemangat.
"Tidak."
Singkat, padat, dan menyebalkan. Rawnie memang pandai sekali menjatuhkan perasaan seseorang. Bukan meminta maaf kepada Ansel dia justru larut dalam tawanya sendiri. Ia justru menertawakan wajah kesal yang Ansel tunjukkan padanya.
"Kau terlihat menggemaskan dan sangat lucu. Aku kira pria berparas dingin sepertimu tidak bisa berlaku kesal sampai seperti ini."
Ansel tidak mau membalas ucapan gadis itu. Ia terlanjur dibuat kecewa beberapa kali hari ini. Biarlah gadis itu merasakan rasa kesal dari dalam dirinya.
"Ayolah kau marah padaku?" tanya Rawnie karena Ansel tak kunjung menyahuti ucapannya.
"Hey kau benar-benar marah denganku, Ansel?"
Benar bukan Rawnie baru saja membuat orang lain tidak mood. Sampai membisu dan tidak mau berbicara seperti itu.
Rawnie mengambil salah satu tangan Ansel, namun pria itu menepisnya. Agaknya memang benar-benar marah.
"Ternyata benar jika kau marah denganku."
"Maafkan aku Ansel, aku berjanji denganmu jika suatu saat nanti aku akan membawamu pergi ke Indonesia." Saat ini Rawnie benar-benar dalam berucap, dia tidak lagi bercanda.
"Kau tidak perlu berjanji jika akhirnya hanya sebatas menenangkan saja."
Seketika Ansel berubah menjadi dingin dan puitis.
"Iya aku tahu tapi percayalah jika kali ini aku serius. Tunggu saja aku akan membuktikan kepadamu jika semua urusan pekerjaanku telah selesai. Setelah itu aku akan mengajakmu berlibur ke sana."
"Kau sudah berjanji ya, aku akan selalu mengingat janjimu itu."
"Heuumm."
Mereka kini telah sampai di sebuah tempat bertuliskan Panti asuhan Bintang dihati. Rawnie sengaja mengajak Ansel ke tempat ini. Tempat yang memang sering ia kunjungi sebelumnya. Entah sudah beberapa bulan dia tidak datang ke tempat ini, yang jelas ia sangat amat merindukannya.
Bisa dikatakan bahwa kemungkinan orang percaya jika Rawnie sering mendatangi tempat ini mungkin hanya sedikit. Kenyataannya tempat ini seperti rumah pulang baginya, ketika dia tidak merasa baik-baik saja ia pasti akan mengunjungi tempat ini. Menghabiskan banyak waktu bersama anak-anak berhasil membuatnya sedikit lebih baik. Sebenarnya Rawnie bukanlah perempuan yang tidak berhati hanya karena dia memiliki klub. Dia juga tidak pernah memaksa orang lain untuk bergabung dengan rent boy kecuali Ansel. Bahkan sebenarnya banyak sekali yang ingin mendaftar untuk penyewaan itu hanya saja Rawnie tolak.
Tidak ada pepatah yang melarang seorang pendosa untuk berbuat baik. Begitupun Rawnie yang menyadari akan kesalahan yang telah diperbuat selama ia hidup, meskipun sampai sekarang dia belum bisa sesempurna itu untuk berubah menjadi baik tapi setidaknya ia belajar sedikit demi sedikit. Ia akan merasa senang ketika bisa membantu orang lain. Ada ketentraman dalam dirinya setelah berbagi dengan sesama.
Ansel juga sebenarnya sedikit terkejut karena ternyata Rawnie membawanya ketempat seperti ini. Tapi dia tidak bisa berpikir lebih jauh lagi, takut jika hal negatif membuat dirinya berpikir tidak baik.
"Kau serius membawaku ke panti asuhan? Apa sebelumnya kau sering mengunjungi tempat seperti ini?"
"Iya, beberapa bulan lalu aku sering mengunjunginya, tapi karena akhir-akhir ini sibuk aku jadi tidak bisa meluangkan waktu untuk berkunjung ke sini."
Seumur hidup ini adalah awal pertama Ansel menginjakkan kakinya disebuah panti asuhan. Tidak pernah terpikirkan dahulu untuk mengunjungi tempat seperti ini. Katakan saja bahwa dia tidak sedermawan itu, Ansel merasa dirinya sangat kikir terhadap hartanya. Hatinya menjadi terenyuh mengingat hal pahit itu. Sekarang setelah ia tidak memilikinya sedikit hartapun malah menginjakan kaki ditempat seperti ini. Entah dimanakah hati nuraninya saat itu.
"Hai, teman-teman! Lihat siapa yang datang!" seru seorang anak perempuan yang berdiri di depan pintu.
"Kak Rawnie!" seru mereka serempak sebelum akhirnya mereka berlari menghampiri Rawnie.
Rawnie menghamburkan pelukannya dengan anak-anak di sana. Cukup lama rasanya mereka berpelukan, saling merindukan satu sama lain sepertinya. Ansel yang melihat hal itu tanpa sadar melengkungkan senyumannya. Ia jadi menginginkan hangat pelukan itu.
"Cilla, kau terlihat lebih tinggi sekarang," ucap Rawnie pada seorang anak perempuan yang pertama menyapa dirinya tadi.
"Iya kau bahkan terlalu lama tidak berkunjung ke sini, sehingga tidak tahu jika aku sudah bertubuh tinggi sepertimu, kak."
Rawnie mengelus pucuk kepalanya gemas. "Maafkan kakak ya. Kak Rawnie sangat sibuk dengan pekerjaan kakak sehingga tidak bisa meluangkan waktu untuk menengok kalian disini."
"Itu siapa kak?" tunjuk seorang anak yang umurnya lebih muda dari Cilla.
Rawnie menoleh ke arah Ansel.
"Pasti pacar kak Rawnie ya," celetuk Varel, seorang anak paling tua diantara mereka semua.
"Hustt, bukan. Siapa yang mengajari dirimu seperti itu, Varel."
Varel hanya tersenyum tidak tahu harus berkata apa.
"Anak-anak, dia kak Ansel teman kakak," ucap Rawnie memperkenalkan Ansel kepada anak-anak di sana.
"Hai semua, senang bertemu dengan kalian," sapa Ansel kepada mereka dan disambut hangat oleh mereka.
"Hai kak Ansel. Kau terlihat tampan," ucap Cilla blak-blakan membuat teman yang lainnya tertawa.
Setelah perkenalan itu Rawnie pergi ke bagasi mobilnya diikuti oleh Ansel. Ia membawa beberapa kardus berisi mainan dan jajanan untuk anak-anak di sini. "Ayo kita masuk, kakak bawa banyak mainan dan jajan untuk kalian."
"Yeay! Mainan baru!" Mereka begitu senang saat itu.
Beberapa anak-anak segera mengambil mainan dalam kardus tersebut, terlihat begitu gembira mereka semua. Ansel sangat tersentuh melihatnya. Dia baru menyadari jika kebahagiaan itu sangatlah sederhana.
"Ansel cepat masuk. Mereka sudah menunggumu disini," panggil Meyca membuyarkan lamunannya.