Lain hal dengan Frey yang mencintai Rawnie, seseorang yang sedang duduk dengan kakinya yang terangkat satu terlihat angkuh. Beralih dengan satu lelaki yang amat membenci kehadiran Rawnie. Dia merasa gusar memikirkan banyak hal di kepalanya.
"Mengapa kau terlihat sangat murung anakku?" Seorang wanita setengah paruh baya mendatanginya dengan secangkir kopi yang ia bawa.
"Lihatlah, Mah."
Menggeser kan laptopnya untuk memberi ruang agar ia bisa melihatnya.
"Bagaimana bisa perusahaan itu membatalkan kontrak dengan mu?" ucapnya heran melihat isi percakapan dari balik laptop.
"Itu semua karena, Rawnie."
Wanita itu menatap serius anaknya. "Apa yang sudah dia lakukan?"
"Hampir semua perusahaan meminta dirinya untuk bekerja sama. Mereka memanggil Rawnie untuk menjadi model produk yang akan di keluarkan oleh perusahaan itu."
"Itu tidak bisa dibiarkan. Luke, kau harus cepat bertindak atau karier mu sebagai model akan turun."
Ya, Luke juga seorang model pria yang cukup terkenal di kota New Orleans. Tapi tentunya masih kalah saing dengan Rawnie. Luke belum lama bekerja menjadi sebuah model pria, pengalamannya juga masih sangat sedikit. Ia juga bisa menjadi model karena bantuan dari ayahnya. Uang selalu menjadi tameng untuk dirinya dan segala hal yang dijalaninya. Seharusnya tidak seperti itu, semua hal yang ditukar oleh uang hanya berlaku sementara. Jika kita tidak bisa berkembang tentu akan membawa rasa terpaksa untuk berjalan mundur. Akan lebih baik melakukan sesuatu itu karena kerja keras dan kemauan dari diri kita sendiri.
Luke menyetujui perkataan ibunya. "Aku tahu tapi apa yang harus aku lakukan, Mah?"
Menatap harap jika ibunya kali ini bisa kembali membantu dirinya. Harap-harap sesuatu yang mengecewakan tidak menimpa dirinya.
"Tenanglah, Mamah akan melakukan yang terbaik untukmu. Kau tidak perlu khawatir, Mamah akan segera memikirkannya."
Luke mengangguk patuh, ia menyerahkan semua ini kepada ibunya. Mereka saling bertukar pandang tersenyum dengan tatapan licik.
Smrik diwajahnya seolah sengaja mengundang kebencian. Mungkin peperangan licik akan dia lakukan demi menyelamatkan karier anaknya dan tentunya satu tujuan dalam prinsipnya kali ini adalah membuat Rawnie benar-benar berada di posisi terbawah.
***
Hari ini Ansel sudah diizinkan untuk keluar rumah sakit. Meskipun jalannya masih tertatih setidaknya jauh lebih baik daripada sebelumnya menggunakan bantuan kursi roda. Beberapa pelayan Rawnie berada di rumah sakit, tentunya Harsya salah satunya. Rawnie telah mempercayai nya, karena ada meeting penting Rawnie harus pergi, tidak bisa ikut menjemput Ansel disana.
Ansel merasa lega ketika akhirnya ia bisa keluar dari lingkungan yang kurang sehat. Ia melangkah masuk dituntun oleh Harsya, namun untuk sementara Ansel akan tidur di kamar bawah untuk mempermudah dirinya. Jika berada di lantai dua itu bisa memakan banyak tenaganya terlebih saat ia naik turun tangga.
"Ansel, kau bisa istirahat sekarang. Jika memerlukan sesuatu panggil aku saja," ucap Harsya sebelum pergi meninggalkan Ansel di kamarnya.
Ansel mengiyakan perkataan Harsya. Memilih untuk kembali berbaring di kasurnya karena daya tahannya belum cukup baik baginya jika melakukan banyak aktifitas. Mungkin beberapa hari kedepan ia hanya bisa berbaring seperti itu.
"Hufttt, membosankan. Jika saja aku mempunyai ponsel maka aku tidak akan kesepian seperti ini," ucapnya sebelum akhirnya terlelap dalam tidurnya.
***
Rawnie berada di sebuah ruangan meeting bersama klien kerjanya. Dia tidak sendirian, ada Bora yang juga mendapat panggilan meeting bersamanya. Sudah ada beberapa orang yang duduk rapi di bangkunya masing-masing. Mereka hanya menunggu pemilik perusahaan yang sejak tadi belum juga menampakkan diri di sana. Alih-alih Rawnie mengobrol sedikit dengan Bora.
"Bora, sebelumnya kau sudah bekerja sama dengan perusahaan ini?" kata Rawnie sedikit berbisik.
"Belum, tapi yang aku tau perusahaan ini masih baru namun katanya berkembang sangat cepat. Pemiliknya pun masih sangat muda," ungkap Bora menjelaskan.
Hendak bertanya sesuatu lagi tetapi suara pintu yang terbuka membuat Rawnie beralih pandang pada seorang lelaki berkemeja yang mulai melangkah kaki masuk ke dalam ruangan.
"Selamat pagi semua, saya Mahesa Kara, pemilik dari perusahaan ini," ucapnya menyapa semua orang di sana.
"Selamat pagi Pak Mahesa." Mereka menjawab serentak.
"Sebelum nya saya mohon maaf karena sedikit mengulur waktu. Mari kita mulai meeting hari ini." Ia duduk di baris terdepan untuk memimpin jalannya meeting.
Rawnie sedikit merasa tidak asing dengan pria yang sedang menjelaskan meeting. Sepertinya dia pernah beberapa kali berjumpa hanya saja memang ada beberapa perbedaan menurut Rawnie. Tapi Rawnie segera menepisnya mungkin saja mereka adalah orang yang sedikit memiliki kemiripan. Meyca menuliskan beberapa catatan yang memang ia perlu untuk dicatat.
"Bora, pinjamkan satu pulpen mu." Pulpen yang Rawnie bawa sepertinya tintanya macet sehingga susah untuk digunakan.
"Bora," panggilnya sekali lagi namun masih juga belum menyadarkan Bora. Gadis itu tengah senang memandang lelaki yang sedang berbicara di depan.
"Bora pinjam pulpenmu sebentar!" Suara tegas milik Rawnie mampu membuat mereka yang sedang fokus mendengarkan beralih menatap dirinya.
Sial! Bukankah sangat memalukan.
"Maaf semuanya, saya tidak bermaksud untuk mengganggu meeting ini."
"Tidak apa, baik saya akan lanjutkan."
Untung saja pemilik perusahaan itu tidak mempedulikan hal bodoh yang baru saja Rawnie lakukan. Jika saja pemilik perusahaan ini bukan orang yang ramah maka Rawnie yakin dirinya sudah angkat kaki dari ruangan meeting.
Setelahnya ia menatap tajam Bora, sedangkan yang ditatap hanya tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya. Tatapan itu cukup menyeramkan. Bersiaplah Bora, kau akan mendapatkan balasan atas kekesalan perempuan di sampingmu.
Waktu berlalu cukup cepat. Kini mereka semua telah menyelesaikan meeting paginya. Rawnie membereskan beberapa barang yang berada di atas meja. Rencananya setelah selesai meeting ia akan pergi mengunjungi kafenya. Sudah lama ia tidak pergi ke sana, terhitung sejak kecelakaan yang menimpa Ansel.
Bora yang sudah tahu jika Rawnie marah dengannya ia memilih untuk diam. Sungguh tidak ada keberanian untuk mengusik Rawnie kali ini. Entah harus mulai dari mana Bora untuk mengucapkan kata maaf nya. Melihat Rawnie bangkit dari tempat duduk Bora segera mengikutinya. Ia mencoba melangkah lebih cepat untuk menyamakan jalannya.
"Berhentilah bersikap seperti itu padaku. Rawnie maafkan aku sungguh aku tidak mendengar suara mu tadi. Aku terlalu fokus ketika meeting berlangsung."
"Fokus menatap pemilik perusahaan itu maksudmu?"
"Nah, tepat sekali."
Bora yang baru saja berbicara merutuki kejujurannya. "Ah, maksud aku itu aku fokus terhadap apa yang beliau bicarakan."
Pintar sekali Bora beralasan. Tapi Rawnie tidak percaya dengan hal itu. Ia paham betul perilaku temannya.
"Rawnie tolong maafkan aku. Ya, ya ya?" pintanya seraya menampilkan puppy eyes miliknya.
Rawnie menghembuskan nafasnya pelan. "Iya."
"Nah gitu, cantik kan jadinya."
"Kalau aku tidak cantik mana mungkin aku bisa menjadi model," Bora melotot mendengar pengakuan Rawnie. Ternyata perempuan disebelahnya memiliki tingkat kepercayaan diri yang tinggi.
"Bora, kau mau menemaniku membeli minuman di sana?" tunjuk Rawnie pada salah satu kedai kopi di pinggir jalan.
"Tentu aku juga merasa sangat haus."
Mereka berjalan mendatangi kedai itu kemudian duduk di salah satu kursi panjang untuk menunggu pesanan mereka jadi. Ketika Rawnie tengah mengecek ponselnya seseorang datang menyapa mereka berdua.
"Permisi, bolehkah saya ikut duduk disini."