Chereads / Penculik yang memikat / Chapter 12 - KEJADIAN GILA

Chapter 12 - KEJADIAN GILA

Sulit ditebak, begitulah persepektif yang Ansel dapat tebak mengenai Rawnie. Wanita yang sulit untuk ditebak dengan jalan pikiran yang normal. Malam tadi dia bak iblis yang tidak punya hati. Menyakiti batin maupun fisik pada dirinya yang lemah saat itu.

Tapi kali ini aneh, seolah ada goncangan yang membuat dirinya sedikit berubah. Membawakan kotak obat serta potongan buah untuknya. Ansel tidak bisa percaya begitu saja padanya. Bisa jadi wanita itu membawa makanan yang mengandung racun, seperti berbuat kejahatan berkedok kebaikan.

"Apa ada yang aneh denganku?" Rawnie meletakkan piring buah itu pada meja sebelah ranjang.

"Iya, sangat berbeda," jawab Ansel seperti apa yang dia pikirkan saat itu.

"Mood aku hari ini cukup baik. Jadi aku ingin membagikannya untukmu juga," katanya santai.

"Aku tidak percaya. Pasti ada sesuatu lain yang sudah kau rencanakan."

Rawnie menjatuhkan badannya pada sofa kecil. Bersedekap angkuh menatap Ansel yang terbaring di ranjang. "Tidak baik berburuk sangka dengan orang lain. Cepat makan buahnya setelah itu makan obatnya juga. Aku tau kau butuh makanan yang segar."

Wanita itu mendesis saat Ansel tak kunjung memakannya. "Kenapa tidak dimakan?"

"Siapa tau kau sudah meracuni buah itu agar aku cepat mati."

Terlalu banyak keraguan untuk Ansel menerima satu kebaikan dari Rawnie hari ini. Ansel hanya mengamati wanita itu saat bangkit mendekat ke arahnya, kemudian mengambil potongan apel di meja.

"Kau lihat aku berani memakannya. Apa masih ragu?" tanya Rawnie sembari mengunyah apel di dalam mulutnya.

Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Ansel, namun kemudian...

"Hey! Apa yang kau lakukan?" serunya gusar.

Rawnie meminum air pada gelas yang dia bawa juga. "Membuatmu percaya bahwa minuman ini juga tidak beracun."

"Kalau begitu ambilkan aku gelas yang baru sekarang!"

Pelototan tajam tampak menghunus ke arah Ansel. "Berani sekali kau menyuruhku, kau pikir dirimu ini siapa disini?"

"Aku tidak peduli siapa aku disini, yang jelas aku tidak mau meminum gelas yang sama denganmu."

Tawa renyah terdengar seketika. "Hahaha ... kau pasti berpikir jika meminum sesuatu dari gelas yang sama, sama saja seperti berciuman secara tidak langsung, begitu?"

"Tidak! Aku hanya jijik dengan bekasmu," elaknya tajam.

"Terserah apa katamu. Jangan buang waktuku lama-lama, cepat makan!" titah Rawnie.

Dengan wajah yang masih kesal, tangan kanannya meraba serta mengambil potongan buah disebelahnya. Ansel tidak suka saat Rawnie terus menatap dirinya ketika ia sedang mengunyah makanan di mulutnya.

"Palingkan pandanganmu atau kau justru akan jatuh hati padaku."

Rawnie tidak membalas perkataannya. Hanya menggelengkan kepalanya pelan kemudian mengambil benda pipih di sakunya untuk dimainkan.

"Jangan melambatkan cara makanmu,  aku tidak mau terlalu lama menunggumu di sini."

Ansel yang sedang enak makan menjadi kekurangan nafsu makannya secara tiba-tiba. "Tidak ada yang menyuruhmu untuk menungguku makan. Pergilah sekarang!"

"Aku ingatkan lagi siapa diriku disini. Semua hal bebas aku lakukan, jari tidak usah mengatur diriku seperti itu."

Potongan buah ditangannya dia masukkan semua kedalam mulut karena kesal mendengar ucapan dari wanita di sampingnya. Sebisa mungkin Ansel mempercepat aktifitas makannya agar tidak terlalu berlama-lama dengan wanita tersebut.

"Aku sudah menghabiskannya. Sekarang kau bisa tinggalkan aku sendiri disini."

Rawnie merubah posisi duduknya kemudian menatap datar pria di depannya. "Terserah aku."

Hembusan nafas panjang terdengar dari mulut Ansel. Dia harus benar-benar melipat gandakan kesabarannya saat ini.

Ansel mencoba menyanggah tubuhnya agar bisa duduk bersandar pada papan ranjang. Ia mengambil beberapa obatnya untuk diminum. Ansel selalu berharap akan ada keajaiban untuk dirinya menemukan kembali kebebasan dalam hidup. Dia juga berharap agar cepat pulih dari sakitnya saat ini. Masih banyak hal yang harus dia pikirkan untuk menemukan celah terang hidupnya.

"Kenapa kau ragu?" tanya Rawnie saat Ansel menghentikan tangannya yang menggenggam gelas di depan mulut.

Detik kemudian Ansel meneguknya walau sebenarnya dia ragu untuk meminum pada gelas yang sama dengan Rawnie.

"Lihat aku sudah meneguknya habis."

Setelah beberapa menit berlalu tiba-tiba dia merasa ingin pergi ke kamar mandi. Ada panggilan alam mendadak. Ansel mencoba turun dari ranjangnya, tapi dia bingung harus bagaimana. Tubuhnya terlalu sakit untuk berdiri tegak sendiri.

"Perlu bantuan ku?" tawar Rawnie.

Ansel melirik sinis. "Tidak usah repot-repot. Aku bisa melakukannya sendiri."

Rawnie mengedikkan bahunya acuh. Dia sudah menawarkannya tapi Ansel menolak, ya sudah itu semua tergantung padanya.

Brughh

"Arghh, sial!" umpat Ansel namun masih terdengar samar di telinga Rawnie.

Jatuh tengkurap di lantai. Rawnie membayangkan pria itu seperti kodok. Terlalu lucu jika tidak diketawai.

"Dasar keras kepala!"

Menyebalkan! Ansel bukan hanya merasakan sakit melainkan malu yang luar biasa karena ditertawakan begitu saja oleh Rawnie. Rasanya ia menyesal karena menolak tawaran wanita itu.

"Sini, biar aku bantu." Rawnie mengulurkan tangannya.

Ansel mengerjapkan matanya tidak percaya, tetapi dia tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Dia menerima uluran tangannya. "Apakah menolong seseorang itu harus menertawakannya terlebih dahulu?"

"Khususmu untukmu, iya."

Kini Ansel berhasil berdiri. Dia hendak menatap berbalik untuk menatap Rawnie. Alangkah terkejutnya saat hidungnya hampir bersentuhan. Jarak yang terlalu dekat antara mereka berdua, mau tidak mau Ansel mengubah pandangannya ke arah lain.

"Apa yang ingin kau lakukan?"

Ansel menunjuk kamar mandi. "Aku ingin buang air kecil."

Rawnie bergegas membawa tangan Ansel kedalam rangkulannya. Menuntunnya berjalan pelan menuju kamar mandi. Ansel tidak percaya jika wanita itu bisa berlaku baik dengannya.

"Mengapa kau masih disini?" tanya Ansel saat Rawnie masih berdiri santai di ambang pintu kamar mandi.

"Menemanimu, apa kau tidak butuh bantuanku lagi?"

"Tidak."

"Yakin bisa bertumpu sendiri?"

Lagi dan lagi Ansel mendesis. "Banyak dinding disini, kau pikir aku tidak tahu rencana mesum mu?"

Rawnie mengacuhkannya. Dia berjalan keluar kamar mandi kemudian menutup pintunya dari depan.

"Sudah selesai?" suara teriakan dari balik pintu membuat Ansel emosi saja. Padahal dia baru saja membuka celananya dengan susah payah.

"Ansel sudah belum?" agaknya Rawnie tidak sabaran.

"Belum!"

Dia tidak berpikir sesulit apa Ansel saat ini.

"Hey! Kau ini lama sekali."

"Ansel!" Sengaja Ansel mendiamkannya.

"Ah kau lama!" Rawnie menerobos pintu masuk itu.

"Wanita gila!"  pekik Ansel sangat terkejut saat pintu terbuka begitu saja.

Rawnie segera memutar badannya. Astaga dia merasa matanya baru saja ternodai karena melihat sesuatu milik Ansel.

"Otakmu kemana? Bagaimana bisa kau menyelonong masuk begitu saja? Jika ingin melihat barang itu jangan melihat punyaku!"  Percayalah Ansel sangat kesal saat ini.

Rawnie kembali berbalik seraya menatap tajam. "Kau pikir aku mau kejadian tadi terjadi? Tidak!"

"Sudahlah aku malas berlama-lama denganmu. Bisa-bisa kewarasan ku hilang hanya karena terlalu lama berdekatan dengan pria sepertimu."

Ansel menatap tajam. "Aku juga tidak mau berlama-lama dengan wanita mesum sepertimu."