Ansel mengikuti wanita itu masuk. Tetapi dia tidak ikut untuk berputar mencari baju yang dia inginkan, itu akan sangat melelehkan. Lebih baik ia mencari tempat duduk yang kosong dan hanya melihat dari kejauhan saja.
Ansel melongo melihat Rawnie yang datang dengan troly yang menjulang tinggi. Entah berapa pakaian yang ia ambil dari toko itu hingga sampai sepenuh itu. Tapi itu tidak mustahil sebab Ansel tau jika wanita yang sedang bersamanya sekarang adalah seorang konglomerat.
"Heh! Mengapa kau jadi terdiam seperti patung?"
"Kau yakin akan membeli semua itu?" tanya Ansel.
"Yakin, memangnya kenapa? Oh, kau takut jika aku menyuruh dirimu untuk membayar semua ini?"
"Kau pikir aku mempunyai uang?" Sepeserpun saat ini dia tidak punya. Apalagi harus membayar sebanyak itu, dapat dari mana uang tersebut.
"Aku tau kau tidak punya uang. Aku akan membayarnya sendiri, lagipula sedang banyak diskon jadi sayang jika tidak memborong nya."
"Sekarang giliran mu untuk memilih." Rawnie menarik lengan Ansel untuk berdiri.
"Heh kau ini senang sekali menarik tanganku. Kau ingin membawaku kemana? Aku tidak ingin mengikuti mu untuk memilih baju!"
Rawnie mendengus pelan. "Siapa juga yang ingin menyuruhmu untuk memilihkan baju untukku. Aku tau kau tidak akan pernah bisa memilihkan outfit yang sesuai denganku. Seleranya kan rendah."
"Lalu?"
"Aku akan mencarikan mu baju. Bagaimana mungkin aku mengajak dirimu tetapi membiarkanmu tidak membeli apapun."
Tapi nyatanya Ansel tidak mengharapkan apapun dari wanita itu. "Tidak perlu, Rawnie. Aku tidak mau."
Entah mengapa saat Ansel berbicara pelan dan memanggil namanya ia menjadi merasa senang. Sudut bibirnya terangkat begitu saja. "Kenapa kau tidak mau? Malu karena dibelanjakan oleh wanita? Sudah lupakan saja semua hal itu. Aku tau kau hanya memiliki beberapa baju saja di lemarimu."
Ansel tidak tahu mengapa dia menjadi baik seperti ini. Ia jadi ingat dengan perkataan Harsya tempo hari. Wanita itu pernah berkata jika Rawnie memiliki sifat lain yang mungkin belum Ansel temukan.
Beberapa jam kemudian mereka keluar dari mall tersebut. Rawnie menawarkan beberapa tempat makan yang berada di dalam mal tapi Ansel menolaknya, mungkin dia merasa tidak enak. Ia sengaja memilih tempat makan yang berada di luar resto, setidaknya harganya lebih murah. Ansel pikir ramen yang berada di seberang mall cukup lezat dinikmati. Terlihat dari ramainya pengunjung yang berdatangan saat itu. Rawnie menuruti ucapan Ansel kali ini, ia membiarkan mobilnya berada di parkiran mal dan memilih untuk berjalan kaki menuju tempat ramen tersebut.
"Rawnie." Tiba-tiba Ansel menyebut namanya.
Rawnie yang sedang meletakkan beberapa belanjaannya ke dalam mobil segera menoleh. "Ada apa?"
"Terimakasih." Catat! Ini adalah ucapan terimakasih pertama yang terlontar dari mulut seorang Ansel.
Rawnie menutup mobil seraya berkata, "iya sama-sama. Ayo kita pergi sekarang." Pria itu mengangguk sebagai jawaban.
Setelah itu mereka keluar dari parkiran mal. Berjalan menuju halaman depan dan bersiap untuk menyebrang jalan. Entah sebuah pertanda atau sebatas firasat buruk saja, Ansel tiba-tiba merasa gelisah saat menyebrangi jalan. Mungkin saja memang karena dia tidak terbiasa dengan jalan kota yang sangat ramai itu.
"Astaga kau sangat lambat. Biar aku yang jalan duluan." Rawnie mengambil beberapa langkah ke depan untuk menyeberang jalan.
Saat melihat dari arah kanan jalan, sebuah mobil tengah mengemudi dengan kecepatan maksimum. Ansel dapat melihat dengan jelas Rawnie yang sudah jalan di depannya. Ia memiliki firasat buruk di benaknya.
"Rawnie, awas!" Ansel berlari untuk menyelamatkan nya namun...
Brughh!
Kecelakaan terjadi begitu cepat. Waktu terasa begitu melambat, ia sempat mendengar orang-orang meneriaki dirinya sebelum akhirnya ia terpental dan kehilangan kesadarannya.
***
Jarum jam terus berputar seiring berjalannya waktu. Rawnie masih memandang cemas pintu ICU yang belum juga terbuka sejak tadi. Ia resah membayangkan sesuatu buruk yang takutnya terjadi pada pria tersebut. Hanya rapalan doa yang bisa dia lakukan untuk menghindari kemungkinan negatif yang terjadi. Percayalah dia merasa sangat bersalah atas kejadian yang menimpa Ansel. Rawnie tidak menyangka jika pria itu akan mempertaruhkan nyawanya demi menolong dia. Dia yang selama ini berbuat kejam kepadanya, namun masih bisa diberi kebaikan olehnya. Seharusnya dia yang berbaring di sana, dia juga yang seharusnya kali ini berjuang untuk kehidupannya.
"Rawnie, makanlah terlebih dahulu. Aku tahu kau belum makan sama sekali sedari tadi," ucap Frey memberikan sebuah kresek putih berisi makanan kepadanya.
"Aku tidak lapar, Frey." Tolak Rawnie, dia benar-benar tidak memiliki selera makan saat itu.
Di sana Rawnie memang tidak sendirian. Frey datang bersama Harsya. Rawnie yang memang sengaja menghubungi mereka untuk menemani dirinya di rumah sakit. Jika bukan mereka siapa lagi yang bisa menemani dirinya di sana sekarang.
"Berhenti untuk bersikap khawatir sampai berlebihan seperti ini, bagaimanapun kau harus memikirkan dirimu juga." Frey memegang kedua bahu Rawnie. Mencoba menenangkan dengan menatap lekat kedua bola matanya.
"Bagaimana bisa aku berhenti untuk tidak mengkhawatirkannya. Dia sedang kritis saat ini, Frey! Seharusnya kau tau siapa penyebab dirinya bisa terbaring di rumah sakit sekarang."
Rawnie merasakan ketakutan yang luar biasa sampai dia tidak bisa berhenti untuk menyalahkan dirinya sendiri.
Frey rasa perkataan nya kepada Rawnie barusan memanglah salah. Memang seharusnya ia tidak bersikap seperti itu, apa yang dia lakukan hanya memperkeruh keadaan saja. Frey mendekati wanita itu, menghapus air matanya walau saat itu sudah mulai surut. Sudah sejak awal dia datang Rawnie telah meloloskan banyak air matanya. Baru kali ini dia melihatnya sekacau itu.
"Jika kau memang tidak ingin makan setidaknya minumlah sedikit." Frey membukakan tutup botol lalu ia berikan kepada Rawnie dan dia mau menerimanya.
Harsya sedari tadi memang diam. Dia diam bukan karena tidak bersimpati, tapi dia sudah paham dengan keadaan seperti ini. Ia tahu jika Rawnie membutuhkan waktu untuk menenangkan dirinya sendiri saat ini. Saat itu juga sudah ada Frey yang mencoba menenangkan dirinya. Hal lain yang Harsya bisa lakukan adalah berdoa untuk keselamatan Ansel.
Akhirnya selang beberapa waktu pintu ruangan terbuka. Seorang perawat keluar dari dalam sana.
"Suster bagaimana keadaannya sekarang?" Rawnie lah yang pertama bertanya akan keadaan Ansel.
"Saat ini pasien masih dalam keadaan kritis. Kami akan segera mentransfer darah ke dalam tubuhnya karena pasien banyak kehilangan darah saat ini."
Rawnie menyatukan telapak tangannya. "Suster saya mohon lakukan yang terbaik untuknya."
"Tentu, kami akan bekerja semaksimal mungkin. Tolong bantu dia dengan doa juga. Saya permisi terlebih dahulu."
Jalan paling tepat untuk mengharapkan sebuah keselamatan adalah doa. Sekeras apapun kita menjalankan sesuatu jika tidak diiringi dengan doa maka bisa saja sesuatu itu akan gagal. Barang sedetik Rawnie tidak akan membiarkan kegagalan itu terjadi. Ia akan terus melambungkan doa untuk keselamatan Ansel.