Ansel kini sudah berada di sebuah meja bar dengan seorang wanita. Zilly namanya, dia adalah penyewanya malam ini.
"Kau tidak suka minum ya?' tanya Zilly hati-hati. Sebab sejak tadi Ansel hanya menyandarkan tubuhnya santai tanpa menyentuh segelas beer sekalipun.
"Aku sedang tidak ingin minum." Bohongnya, padahal dia sedang merencanakan sesuatu.
"Bisakah kau duduk lebih dekat denganku? Jarak kita terlalu jauh, aku tidak suka."
Lirikan mata Ansel sepertinya membuat Zilly menarik kembali ucapannya. "Tapi jika kamu sudah nyaman disitu tidak apa, aku tidak memaksamu," ucapnya gugup.
Kursi itu dijunjungnya agar bisa berdekatan seperti apa yang Zilly inginkan. "Apa ini cukup?"
Zilly mengangguk senang. "Tentu!" Tangannya langsung bergelanyut manja pada Ansel.
"Suasananya sangat membosankan," celetuk Ansel tiba-tiba.
Zilly yang masih memeluk Ansel mendongak ke arah atas. "Benar, aku juga merasakan hal yang sama."
"Aku ingin menikmati nuansa yang berbeda, seperti ... bermalam di hotel."
Pelukan itu terurai. Zilly ragu jika Ansel benar-benar mengatakan hal itu. "Kau yakin?"
Ansel mengangguk dingin. "Kau ingin bermalam dengan siapa?"
"Siapa lagi jika bukan dengan wanita yang menyewa aku malam ini. Aku tahu kau menginginkan hal itu 'kan?" pancing Ansel.
Dengan malu-malu Zilly mengangguk, tetapi sedetik kemudian dia mencebikkan bibirnya. "Tapi aku tidak bisa. Kau tahu kan bagaimana peraturan penyewaan di bar ini?"
Ansel mengangguk. "Tentu, tapi aku punya cara lain untuk melakukan hal ini."
"Bagaimana?"
***
Rawnie tidak sengaja menjatuhkan gelasnya ke lantai. "Apa?" ucapnya tampak syok.
"Tunggu aku akan ke sana sekarang!" tutup Rawnie.
"Rawnie ada apa?" Harsya yang melihat remahan kaca di lantai menjadi panik seketika.
"Pria itu mengacaukan rencanaku kembali."
Niatnya untuk bersantai malam ini menjadi terhalang karena kelakuan Ansel. "Aku akan menceritakannya nanti, sekarang aku pergi dulu."
Rawnie bergegas menaiki tangga untuk mengambil kunci motornya. Dia tidak mungkin menggunakan mobil sebab hal itu akan menyulitkannya nanti.
"Rawnie kau akan pergi kemana?" tanya Harsya saat melihat Rawnie berlari terburu-buru keluar mansion.
"Mencari Ansel!" teriaknya sebelum motornya meninggalkan halaman mansion.
Rasa dingin sangat menggelitik pada malam hari ini. Terpaan angin semakin terasa ketika ia terus menarik gasnya habis-habisan. Rawnie memilih jalan pintas yang sudah ia ketahui sebelumnya. Entah mengapa firasatnya mengantarkan dirinya untuk melewati gang kecil itu.
Dugaannya tidak salah lagi. Rawnie melihat seorang berbadan tinggi sedang berlari seolah menghindari sesuatu. Lampu motornya ia arahkan tepat di wajah pria tersebut.
'Bagaimana dia bisa tau? Mati aku!' batin Ansel.
Ia menarik gas dengan kencang bersamaan dengan suara klakson yang dia bunyikan beberapa kali. Mata Rawnie membulat ketika Ans l justru merentangkan kedua tangannya di depan sana, dia seolah menantang dirinya untuk menabraknya.
"Minggir!" pekik Rawnie mulai merendahkan gas nya.
"Tabrak aku saja! Bunuh aku sekalian!" telaknya tidak kalah keras.
Ini kemauannya, jangan salah Rawnie saat dirinya benar-benar menabrak pria tersebut.
Brukk!
Ansel terjatuh ke samping. Ucapannya barusan ternyata dengan mudah Rawnie kabulkan. Dia benar-benar menabraknya, tetapi hanya pada bagian kakinya saja.
Rawnie melepas helmnya, menghampiri seorang pria yang sudah terkapar di sana. Tidak lama kemudian, beberapa bartender datang menghampirinya.
"Bawa dia ke klinik cepat!" titah Rawnie saat darah mulai bercucuran dari balik dahi pria tersebut. Dia tidak lagi berada di alam sadar.
***
Merepotkan sekali bagi Rawnie. Dia harus membayar biaya klinik kemudian membawa Ansel kembali ke mansion. Bahkan perjalan dua puluh menit dari klinik ke mansion belum juga membuahkan hasil agar pria itu siuman. Ansel masih setia menutup kedua pelupuk matanya.
"Ansel! apa yang terjadi dengannya?" Harsya kelimpungan ketika membuka pintu mansion dan melihat Ansel digotong oleh beberapa orang.
"Bawa dia ke kamar!" Belum ada yang mau menjawab pertanyaan Harsya.
Rawnie menaiki tangga dan dibuntuti oleh Harsya di belakangnya. Ah, sebenarnya Rawnie tidak suka ketika wanita yang berada beberapa langkah di belakang terlihat sangat khawatir dengan kondisi Ansel.
"Sebenarnya apa yang terjadi Rawnie? Mengapa kau tidak membiarkannya untuk dirawat di rumah sakit? Dia terluka, siapa yang melukai-"
"Aku yang melukainya!" potong Rawnie kesal. Pertanyaan yang tidak ada ujungnya itu hanya semakin membuat Rawnie pusing.
Harsya diam meneguk ludahnya sendiri. Sepertinya mood Rawnie malam ini sedang tidak bersahabat.
"Bagaimana bisa semua ini telah jadi?" Manik mata Rawnie menatap tajam dua bartender di sebelahnya.
"Sebenarnya.."
Flashback off
"Bagaimana menurutmu Zilly?"
Wanita itu menggigit jari merasa ragu. "Tapi aku tidak yakin kita bisa melakukannya."
"Kita bahkan belum menyobanya, Zilly."
Zilly tampak menimang-nimang kembali. Dia sangat menginginkan kebersamaan dengan Ansel pada malam ini, tapi di sisi lain dia tidak seberani itu untuk melancarkan rencana yang Ansel ajarkan.
"Kita bahkan bisa menghabiskan banyak waktu bersama setelahnya, tapi aku tidak memaksamu jika memang kau hanya ingin-"
"Baik, aku akan mencobanya." Senyum kemenangan terukir di wajah pria tersebut. Satu langkah lagi dia akan mendapatkan sebuah kebebasan yang sudah lama dia nanti-nanti.
"Tapi bisakah kau janji untuk tetap denganku?"
Ansel mengangguk berusaha membuat wanita itu percaya. "Aku akan selalu denganmu sayang, jangan khawatir tentang itu."
Matanya membelalak saat serangan bibir mendarat tepat di bibirnya sendiri. Sial! Dia kecolongan kembali, tapi bagaimanapun Ansel harus meredam kemarahannya malam ini.
"Aku mencintaimu honey!"
Ansel tersenyum simpul. Setelahnya dia memerintahkan Zilly untuk menelaah dengan benar setiap intrusi yang dia berikan.
Pertama-tama Zilly sudah berjalan menuju pintu keluar yang berada di belakang sana. Sebenarnya pintu itu hanya dipergunakan oleh para bartender.
Dari balik kejauhan Ansel menatap penuh harap kepada Zilly yang semakin dekat dengan penjaga pintu di sana.
"Malam," sapa Zilly halus.
"Selamat malam juga nona," balas pria itu tak kalah halus.
Zilly sedikit melirik ke arah Ansel sebelum bertanya, "apa kau sedang sibuk?"
"Tidak, apa kau membutuhkan bantuan ku?"
Meskipun terasa berat Zilly mencoba untuk tetap mengangguk. "Aku baru saja pergi ke toilet, tetapi sepertinya kran airnya bermasalah."
"Benarkah? Toilet yang sebelah mana?"
Zilly menunjuk ruangan kecil di bagian paling pojok. "Di sana, kau bisa mengeceknya sekarang. Aku takut jika orang lain merasa tidak nyaman karena gangguan tersebut."
"Baik akan ku perbaiki sekarang. Sebelumnya terimakasih karena nona mau memberitahukannya padaku."
Zilly tersenyum kemudian dia ikut pergi ketika sang penjaga pintu belakang berjalan menuju toilet. Detik selanjutnya Ansel berjalan mengendap dan berhasil membuka pintu belakang.
Zilly yang melihat Ansel sudah bisa keluar dari pintu itu segera berpura-pura pergi sejenak sebelum pria itu tahu jika dirinya sedang berbohong.
Di luar sana Ansel mencoba mencari jalan yang sekiranya tidak terlalu ramai. Jarak antara bar dan tempat dirinya berada sekarang sudah lumayan jauh, Ansel bisa berlari saat itu. Tapi ada suara seseorang yang memanggil namanya dan membuat langkah kakinya terhenti.