"Satu, dua..." Rawnie sedikit membusungkan dadanya agar terlihat seksi.
Jepret
"Cukup," ujar seorang photografi yang sedang melihat hasil foto dari sebuah kamera yang menggantung di lehernya.
Rawnie mengelap peluh keringatnya dengan tisu seraya berjalan menghampiri seorang wanita yang sedang duduk dan melambaikan tangan kepadanya.
"Minta minumnya." Rawnie merebut botol minum yang sedang dipegang oleh wanita tersebut.
Ia mencebikkan bibirnya. "Baru aku minum sedikit padahal."
"Nanti aku ganti, santai aja, Bor!"
Bora Chalondra seorang model cantik yang memiliki sikap ramah dan murah senyum. Bora sudah berkecimpung di dunia permodelan sejak lama. Karena sikapnya friendly kepada semua orang membuat Rawnie semakin dekat dengannya. Bahkan mereka sekarang menjadi teman yang akrab satu sama lain.
"Jadi bagaimana kondisinya?"
Rawnie menoleh mengangkat sebelah alisnya. "Siapa?"
"Ansel."
"Oh, dia baik-baik saja."
Bora tentu tahu tentang Ansel. Rawnie sering kali bercerita tentang kehidupannya kepada Bora. Dia juga sudah mengetahui bahwa Rawnie memiliki bar dimana ada penyewaan laki-laki di sana.
Sebenarnya Bora sedikit heran dengan perlakuan Rawnie terhadap Ansel. Ini bukanlah kebiasaan yang dilakukan oleh sahabatnya, membelikan baju sendiri untuk seseorang yang dia culik. Pada kasus kali ini dia bahkan seperti terlihat sangat perhatian, padahal biasanya dia tidak mau repot-repot untuk mencarikan baju sendiri. Banyak pelayan yang bisa dia suruh untuk membereskan hal itu.
"Apa yang dia lakukan semalam? Kau mengatakan bahwa dia telah mengacaukan bar mu?" tanya Bora ingin tau.
Rawnie menjatuhkan pandangannya pada arah lain. Ia sepertinya enggan untuk menceritakan pria itu. "Hm, karena ulahnya aku harus mengganti rugi semua kekacauan itu."
"Separah itu?"
Rawnie mengangguk. "Dia mendorong pelanggan ku hingga tersungkur di lantai. Lututnya terluka, dia minta uang sewanya kembali dan meminta uang pertanggungjawaban. Belum lagi banyak pelanggan ku yang pergi begitu saja malam itu."
Bora tampak syok. "Sepertinya itu sangat gila."
"Lalu kau sudah memberikan hukuman agar pria itu jera?"
Bahkan Rawnie tidak sempat melakukannya. Justru dia sendiri yang menjadi tersakiti saat itu juga.
"Iya," jawabnya seadanya.
"Kalau kedepannya dia masih merugikan mu menurutku akan lebih baik kau mengembalikan pria itu ke tempat asalnya."
Desahan panjang keluar dari mulut Rawnie. "Kau pikir setelah aku melepaskannya dia akan diam-diam saja begitu? Pria menyebalkan sepertinya cukup bahaya, dia bisa saja melaporkan ku ke penjara atas kasus penculikan."
Bora menepuk jidat. "Astaga, benar. Pilihan yang sulit, kau harus lebih hati-hati menghadapi pria sepertinya."
"Eh, ngomong-ngomong dia tampan?" Rawnie memutar bola matanya malas. "Kalau menurutmu mungkin tampan, seleramu 'kan rendah."
Setalah itu dia beranjak sebelum Bora tersadar dengan ucapannya barusan.
"Rawnie sialan!" Benarkan, baru beberapa langkah teriakan wanita itu menggema jelas di telinganya. Rawnie hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah gila temannya itu.
"Aku pergi dulu!" seru Rawnie sebelum dirinya membuka pintu mobil.
"Pergi kemana?" tanya Bora tak kalah kerasnya.
"Kafe."
"Ikut!!" Baru saja Bora ingin berdiri, Rawnie dengan cepat masuk mobil dan menarik gas nya segera. Kemudian melesat meninggalkan Bora yang misuh-misuh ditempat.
"Menyebalkan!"
***
Hari yang melelahkan, namun Rawnie harus tetap bersungguh di kafenya sebentar. Dia ingin mengecek keadaan di sana sekaligus melihat data pemasukan bulan ini.
"Luke!" panggil Rawnie pada seorang pria berjas yang sedang berdiri tak jauh darinya.
"Iya, bos." Dia berjalan menghampiri Rawnie.
"Dimana kau meletakkan berkas pendapatan bulan ini?" Luke menyerahkan sebuah berkas yang dipegang olehnya kepada Rawnie.
"Itu berkasnya, aku baru saja menyelesaikan rekapan pendapatan hari ini."
Rawnie mengangguk. "Aku akan membacanya di ruangan ku."
Setelah itu Rawnie memasuki sebuah ruangan khusus yang memang menjadi ruangan pribadinya. Dia menggunakan ruangan ini untuk berisitirahat dan melakukan pekerjaannya. Ketika membuka berkas tersebut, matanya berbinar seketika. Siklus pendapatan bulan lalu dan bulan ini jauh berbeda. Bulan ini semakin besar omzet yang dia dapatkan. Ternyata tidak sia-sia dia mempromosikan kafenya saat itu.
Suara pintu yang diketuk membuat Rawnie berhenti melakukan aktifitasnya. "Masuk!"
Luke masuk ke dalam ruangan. "Maaf bos menganggu waktumu sebentar. Ada tuan Frey di luar, dia ingin menemui dirimu sebentar."
"Suruh dia masuk ke ruangan ini." Luke mengangguk kemudian segera menuruti perintah atasannya.
"Hufttt panas sekali hari ini." Frey masuk begitu saja ke dalam ruangan. Setibanya di sana dia langsung merebahkan tubuhnya pada sofa.
"Pria macam apa kau ini, bekerja santai di depan komputer saja kau kelelahan? Aku yang berada di luar ruangan saja tidak mengeluh sepertimu, dasar payah!" ejek Rawnie.
Luke kembali datang membawakan minuman dingin untuk Frey. "Thanks." Luke menggangguk kemudian kembali bekerja.
Setelah merasa segar kembali, Frey berkata, "aku lelah bukan karena pekerjaanku, tapi itu karenamu."
"Aku?" Rawnie menunjuk dirinya sendiri.
"Sudah aku tebak jika kau memang lupa."
"Owh, astaga!" Rawnie langsung beranjak dari kursi kerjanya kemudian menghampiri Frey yang berada di sofa.
"Aku ada janji untuk menemanimu membeli bibit bunga, ya ampun maafkan aku, Frey. Kenapa kau tidak menghubungiku terlebih dahulu?"
Frey mendesis kesal. Memberikan ponselnya kepada Rawnie. Tangannya dengan lincah menjelajah benda pipih tersebut. Seketika jarinya berhenti bergerak.
"Tapi aku tidak tahu jika kau sudah menelfon ku beberapa kali." Rawnie dapat melihat beberapa panggilan yang sudah pria itu lakukan.
"Itu karena kau menghidupkan mode senyap."
Rawnie sedikit tertawa. "Iya kau benar."
"Bagaimana jika kita pergi sekarang? Aku sudah menyelesaikan semua pekerjaanku hari ini."
Pria itu menggeleng. "Aku tidak mau."
"Heh kau marah denganku? Astaga Frey, aku benar-benar lupa akan hal itu. Maaf-"
"Tokonya sudah tutup, Rawnie. Mereka hanya buka dari pukul 08.00 sampai pukul 12.00 siang," potong Frey cepat.
Rawnie melirik jam dinding. Ternyata saat ini sudah pukul 13.00 siang. Ia menjadi merasa tidak enak dengan Frey. "Maafkan aku ya, Frey. Besok saja, aku akan menemanimu."
"Kau tidak perlu memaksakan diri, lagipula aku bisa pergi sendiri besok."
"Tapi besok aku memiliki banyak waktu luang, aku juga butuh refreshing agar tidak terus-menerus merasa jenuh dengan pekerjaan."
Frey tak kunjung menjawabnya. Pria itu malah sibuk memainkan benda pipih di tangannya.
"Frey, kau marah denganku?" tanya Rawnie lirih. Tidak lupa dia juga memasang puppy eyes nya.
Pria itu mendesah pelan kemudian mengacak gemas pucuk rambut wanita itu. "Bagaimana bisa aku marah denganmu jika kau memasang wajah gemas seperti ini, Rawnie."
Senyum Rawnie merekah. Jurusnya kali ini mempan kembali. "Jadi besok aku boleh ikut 'kan?"
"Tentu."
"Yes!" serunya kegirangan.
Frey berdiri dari duduknya. Dia harus kembali ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaannya. "Aku pergi dulu yah. Besok aku akan menjemputmu sekitar pukul 08.00. Jangan terlambat, aku tidak suka menunggu terlalu lama."
Rawnie mencibir. "Tidak bisa menunggu? Payah! Pantas saja kau tidak pernah memiliki seorang wanita. Makanya belajar buat sabar, kalau sikapmu terus seperti itu wanita mana yang mau denganmu?"
"Kau, kau kan mau denganku."
Rawnie melotot tajam. "Jangan harap!"