Tik-tik-tik.
Jam dinding di kamar Rama, sudah meninggalkan pukul satu dini hari. Keduanya berbaring terlentang di ranjang, larut dalam pikiran masing-masing.
"Apa kamu tahu..," ucap Rama lirih. "Semenjak pemberitahuan tentang perjodohan itu, pengawasan papi padaku semakin lama semakin ketat dan tidak masuk akal."
"Oya?"
"Hmm. Setiap hari, papi selalu mengecek keberadaanku," keluh Rama sambil menutup kedua matanya dengan lengan kanannya. "Papi menelponku setiap beberapa jam sekali. Aku sampai kena semprot atasan galak, gara-gara ponsel lupa kuganti dengan mode silent. Alhasil bunyi nyaringnya membuat beberapa orang terkejut dan hilang fokus hingga tersangka yang kami tangkap, nyaris kabur."
"Apes sekali dirimu."
Rama menghela nafas panjang. "Papi benar-benar kelewatan deh. Dan jika jam sembilan malam, aku belum juga tiba di rumah, maka ponsel menyebalkan itu tidak akan berhenti berdering."
"Papi hanya ingin memastikan kamu tidak menghilang dari perjodohan ini."
"Memang aku mau kabur kemana?" tukas Rama sewot sambil bangun dari posisi berbaringnya. "Seluruh hidupku ada disini, berputar di kota ini. Aku sama sekali tidak punya pikiran untuk meninggalkan papi dan mami, meski kondisi di rumah selalu menjengkelkan."
Dilan hanya mengangkat bahu.
"Kamu tahu, suatu kali aku pernah mematikan ponsel karena merasa jengkel luar biasa," cerita Rama berapi-api sambil duduk bersila di ranjang. "Dan apa akibatnya? Malam itu, aku terpaksa bobok cantik di teras, karena pintu rumah terkunci rapat. Aku sudah gedor-gedor pintu, tidak ada yang bukain pintu. Aku menelpon ponsel papi dan mami tanpa henti, tapi keduanya kompak mengabaikan aku."
"Kasihan sekali dirimu."
Rama membanting tubuhnya di ranjang dan mendesah. "Besok paginya, aku langsung pilek. Hidung berair dan mata memerah dan suhu tubuh sedikit tinggi alias demam, karena terkena angin dingin sepanjang malam."
"Astaga, berat amat hidupmu."
"My mami menyuruhku untuk izin tidak masuk kerja, tapi aku tidak ingin terkena semprot atasan yang super galak itu. Pilek sedikit dan demam sedikit, bisa kuatasi," cerita Rama sambil mengusap hidungnya yang masih mengandung upil karena baru saja sembuh dari pilek.
"Baguslah. Jangan jadi lembek."
Rama mengabaikan semua komentar sinis dari sahabatnya. Rama terus melanjutkan cerita mengenaskan mengenai dirinya. Rama masih bisa mengingat bentakan dari atasannya, pagi itu...
"Apa yang kamu lakukan semalam, Anime? Bergadang lagi? Tidak tidur karena nonton fantasi? Atau bermain game lalu pilek?" sembur detektif yang menjadi atasannya. Anime adalah panggilan yang diberikan atasannya untuk Rama yang gila fantasi.
"Tidak bos. Aku tidur tepat waktu."
"Lalu? Kenapa bisa sakit? Apa kamu tidak tahu bahwa hari ini ada rapat penting?" desak atasan Rama gusar.
"Tahu bos. Maafkan aku," sesal Rama sambil menunduk.
Meeting penting kali ini membahas strategi penangkapan seorang buron yang mengincar para pria muda. Tiga kasus pembunuhan telah terjadi. Tiga pria muda dengan kisaran usia delapan belas tahun hingga dua puluh lima, telah ditemukan tewas dalam kondisi telanjang di sebuah motel dan terikat di ranjang. Para korban meninggal karena kehabisan darah. Dan pembunuhan ini menjadi pembunuhan berantai karena modus penyerangan yang sama dan penemuan korban selalu di motel. Selain itu, juga terdapat pesan yang ditinggalkan pelaku yaitu setangkai mawar hitam.
"Sekarang cepat katakan!"perintah detektif itu kesal. "Aku membutuhkan jawabanmu segera, detik ini juga, Rama. Kenapa kamu bisa sakit, padahal kamu bobok ontime."
"Karena aku tidak tidur di kamar, tapi tidur di teras," jawab Rama dengan meringis.
"Begitu," respon atasan Rama sambil mengulum senyum mengerikan. "Kurasa aku tidak perlu menanyakan alasan, mengapa kamu harus bobok cantik dengan berlangitkan bulan dan bintang."
Rama mengusap tengkuknya sambil meringis lagi. "Apa aku dimaafkan, bos?"
"Tentu saja. Aku kan atasan yang mengerti kondisi anak buahku sendiri. Aku memaafkanmu. Tetapi aku tetap harus memberikanmu hukuman karena sembrono di hari yang penting ini," kata atasannya serius.
"Hukuman apa, bos?" tanya Rama takut-takut. Tubuhnya mendadak menjadi super tegang, ketika melihat raut wajah atasannya yang serius berubah menjadi ceria tidak wajar. Rama memperhatikan atasannya sedang menuliskan sesuatu lalu memberikan kertas itu kepadanya.
"Itu," ucap atasan Rama sambil menunjuk ke arah kertas yang dipegang Rama dengan bingung. "Itu adalah tempat tugasmu selama satu minggu. Kerjakan!"
Raut wajah Rama seakan kehabisan darah. Wajahnya yang pucat pasi, langsung melolong... "Oh, tiddaaaakkk…"
Rama mendapatkan sanksi kejam dari atasannya yaitu selama satu minggu penuh, bertugas menjadi polisi penjaga di ruang otopsi yang sangat horor. Rama sangat ketakutan bahkan sampai mimpi buruk dikejar-kejar zombie dan vampire selama masa tugas sementara nya itu.
"Semua ini gara-gara perjodohan sialan itu, brengsek!" teriak Rama kesal yang disambut gelak tawa Dilan yang terpingkal-pingkal.
"Jadi.. jadi.. semuanya itu berhubungan? Perjodohan dan hukumanmu di ruang otopsi?" tanya Dilan di sela-sela tawa yang tidak tertahankan.
"Tentu saja," sahut Rama garang. "Belum ketemuan saja, sudah membuatku sial. Gimana nasibku kelak?" raungnya lebay. "Sepertinya aku harus pergi ke gunung untuk tolak bala."
"Ha-ha-ha.."
Pluk. Sebuah bantal dilemparkan dan tepat mengenai wajah Dilan. Dilan memeluk bantal itu dan terus tertawa, menertawakan nasib amazing yang dialami oleh sahabatnya.
"Aku tidak sabar melihat calon tunanganmu ini," ucap Dilan sambil menurunkan bantal empuk itu dari wajahnya. Wajah Rama yang terus memelototinya, membuat Dilan kembali tergelak keras. "Tenang saja, aku tidak akan merebutnya. Dia sudah dipastikan untukmu seorang. Mau secantik apa pun, semolek apa pun, aku tidak akan tergiur."
"Dia bukan wanita yang cantik. Dia hanya seorang yang biasa, berbeda jauh dari tipeku. Aku tidak mungkin jatuh cinta padanya," sesumbar Rama dengan mengepalkan tangan nya ke langit-langit kamar. "Jadi sekarang, kita harus pikirkan cara, bagaimana aku bisa membatalkan perjodohan itu."
"Hati-hati kemakan omongan sendiri," celetuk Dilan sambil mengulum senyum. "Cinta datang tanpa diduga. Mungkin kamu tidak jatuh cinta padanya pada pandangan pertama. Tapi seiring berjalannya waktu, cinta itu dapat datang untuk menyapa."
"Itu tidak mungkin. Karena di hatiku sudah ada seseorang," ucap Rama muram.
"Oya?" seru Dilan antusias. Rupanya sahabat baiknya ini sudah mempunyai gebetan. "Siapa?"
Rama melirik ke bawah, ke arah Dilan yang sedang berbaring terlentang dengan kedua tangan dilipat dibawah kepala. Rama menghela nafas lalu menggeleng lemah.
"Dia bukan topik kita hari ini."
Dilan bangun dari posisi berbaringnya. Dilan duduk bersila dan menatap Rama yang muram. "Tidak bisakah wanita yang kamu sukai itu membatalkan perjodohan ini? Papi dan mami tidak akan memaksamu, jika kamu memang sudah memiliki seseorang."
"Masalahnya, dengan wanita ini pun aku juga belum pernah bertemu."
"Heh?! Bagaimana bisa?"
"Dia adalah teman main game virtual. Kami hanya saling ngobrol di online. Aku sangat tertarik padanya karena dia sangat enak diajak ngobrol."
"Dasar bodoh!" umpat Dilan geram. "Jika kamu tidak pernah bertemu, bagaimana kamu bisa tahu kalau dia wanita? Bisa saja dia seorang gay yang sedang mencari teman kencan."
"Jangan menakutiku, bro," sahut Rama yang menggeleng pelan, mengabaikan peringatan Dilan. "Lagipula dia sudah menunjukkan identitas sebagai wanita, hanya saja belum ada waktu untuk kami bisa bertemu."
"Kamu percaya begitu saja? Dimana otak polisimu, bodoh!" geram Dilan yang merutuki sikap sembrono sahabatnya. "Dia bisa saja orang jahat yang menyamar. Orang yang tidak mau menunjukkan jati dirinya yang sesungguhnya, bukan orang yang bisa diajak berteman. Rama, kamu harus sadar. Kamu ini polisi. Kamu harus lebih waspada."
"Tidak. Aku percaya padanya. Karena hanya dia yang mengerti keinginanku menyukai anime dan fantasi."
"Astaga!"
Bersambung...