Di pagi yang cerah, lebih cerah dari perona bibir selebriti papan atas. Tiga remaja tengah memanasi mobil mereka di halaman depan rumah mereka yang sangat luas. Ketiganya akan bertanding, memperebutkan posisi pertama dan kedua untuk mendapatkan traktiran dari yang juara terakhir.
Sebuah rutinitas setiap kali hendak berangkat ke kampus, para pelayan dan penjaga rumah tidak lagi merasa heran dengan pagi mereka yang cukup bising karena suara mobil yang bersahutan.
"Kalian siap?" teriak salah seorang remaja yang berambut gelap yang mengikat rambut gondrong selehernya. "Go!"
Ketiganya segera menginjak gas dengan kekuatan penuh. Mobil mereka melaju dan melesat di celah kemacetan jalanan ibu kota. Sengaja memilih jalan memutar, karena mereka tidak mungkin akan berhasil jika melewati poros utama menuju kampus mereka.
Tanpa mempedulikan bahaya apa yang menunggu mereka di tikungan depan, juga tidak memikirkan hal buruk apa yang akan mereka hadapi jika kelakuan mereka ini diketahui oleh ayah mereka.
Yang mereka pikirkan sekarang hanyalah kesenangan dan akan mendapatkan traktiran dari saudara yang kalah.
Mereka saling menyelip, sesekali mereka meneriaki saudaranya yang lain dan semakin mempercepat laju mereka dengan sama sekali tidak meremehkan lawan.
Tikungan terakhir menuju kampus semakin dekat, saat ketiga remaja itu semakin menjadi-jadi. Seolah tanpa ampun, ketiganya menerabas angin dan segera memarkirkan mobil dengan apik setibanya di halaman parkir kampus.
"Huhh!" seorang remaja laki-laki berambut pirang mehela napas panjang dan menyeringai girang saat mendapati dirinyalah yang pertama kali memasuki arena kampus. Dia segera menoleh pada kedua saudaranya lain yang berhenti setelahnya.
Si bungsu berada diurutan kedua, lalu si perempuanlah yang terakhir. Nampak jelas ekspresi kesal dari perempuan berambut panjang nan ikal itu, dia hanya berdecak dan harus memukul pelan kemudinya.
"Baiklah. Karena kali ini Jeje yang terakhir sampai, maka untuk seharian penuh Juno yang akan mentraktir kita," ujar pria berambut pendek pirang yang bernama Jhoni alias Joni itu seraya keluar dari mobil mewahnya.
Seketika Zea, anak tengah, satu-satunya perempuan yang biasa dipanggil Jeje, menyeringai licik saat sang kakak mengatakan hal itu. Berbeda dengan Juno, si bungsu yang langsung saja merajuk, ia merasa tidak adil.
"Jangan konyol! Kenapa aku harus mentraktir kalian? Yang kalah kan Jeje, Jon?" gerutu si bungsu yang bingung sekaligus kesal.
"iya lah โฆ karena kemarin kamu tidak kuliah, jadi hari ini kamu yang traktir aku sama Jeje. Yahh bisa dibilang kamu bayar hutang gitu โฆ," sahut Joni yang menepuk pelan bahu kembaran bungsunya itu.
Juno berdecak kesal.
"Nah aku setuju sih, sip banget itu, Jon. Hehe," ujar Jeje yang kegirangan. Dia segera menghampiri kedua saudaranya yang sudah sejak tadi turun dari mobil mereka.
"Aish! Kamu ini sip sip terus, Je." Juno masih saja menggerutu. "Baiklah, aku akan mentraktir kalian. Tapi kalian harus membantuku โฆ gimana?" Juno tersenyum, ada sesuatu yang ia pikirkan secara tiba-tiba.
"Bantuan apa?" tanya Joni yang mulai merasa tidak nyaman.
"Jangan yang aneh-aneh, ya. Awas saja!" ujar Jeje yang memicingkan kedua matanya.
"Hehe, tenang. Intinya aku perlu banget bantuan dari kalian. Nanti saat jam istirahat, kita bertemu di kantin, oke?"
Joni dan Jeje tidak merespon, keduanya hanya saling pandang lalu saling mengedikkan bahu. Mereka meragukan sikap si bungsu yang selalu saja menyebalkan.
Seperti yang sudah disepakati sebelumnya, ketga remaja itu berkumpul di kantin saat jam makan siang. Ketiganya bertemu di waktu yang nyaris bersamaan.
Juno mentraktir kedua kakaknya itu makan dan semua cemilan yang mereka inginkan, namun seolah semua itu tidak gratis karena dia berhasil membuat Joni dan Jeje sangat kesal kali ini.
"Terimakasih ya kakak-kakakku yang sangat baik, kalian sudah berkenan untuk membantuku mengerjakan semua tugas ini โฆ," ujar Juno yang duduk diantara Joni dan Jeje yang sedang sibuk.
Keduanya sedang mencatat banyak tugas pada lembar kertas yang diberkan oleh si bungsu.
"Gila ya kamu, Jun. Sebenarnya kamu sedang meminta bantuan, atau sedang ingin mengerjai kami, sih?" Jeje menatap Juno kesal. Beberapa kali dia mendengkus untuk melampiaskan emosinya.
"Iya, Jun. Tugas sebanyak ini kenapa kamu baru mengerjakan sekarang? Maksudku, kamu baru meminta bantuan sekarang? Coba saja kamu dari kemarin-kemarin meminta bantuannya, kami kan bisa lebih tulus membantunya," sambung Joni yang sedang sibuk mengetik di laptop milik Juno.
"Oh jadi sekarang kalian sedang tidak tulus membantuku? Baiklah, itu tidak masalah. Kalian pergilah sekarang, aku bisa kok menyelesaikan semuanya sendiri. Tapi kalian seharian ini jajan dengan uang kalian sendiri. Gimana?" Juno menatapkedua saudaranya secara bergantian.
Dia sungguh memberikan pilihan yang cukup berat untuk keduanya, hal yang harus dipertimbangkan dengan sangat matang.
'Kalau uangnya aku gunakan untuk jajan hari ini, maka aku akan kekurangan uang tambahan untuk membeli perangkat perawatan rambut โฆ,' pikir Jeje.
'Kalau uangnya aku gunakan untuk jajan hari ini, maka aku akan menunda lagi untuk membeli sepatu bola โฆ,' Joni juga berfikir keras.
"Jadi โฆ gimana?" tanya Juno lagi yang membutuhkan keputusan segera dari kedua saudaranya.
"Baiklah!" ujar Joni dan Jeje yang nyaris bersamaan, Juno bahkan hingga terkejut mendengarnya.
"Kami akan menyelesaikan tugas kamu ini dengan baik dan benar," ujar Joni dengan semangat perjuangan.
"Wah kalian mengajakku berkelahi? Kenapa mengejutkan begitu!" geram Juno. "Baiklah โฆ aku menyukai semangat pantang menyerah dan jiwa hemat kalian. Kalau begitu, selesaikanlah segera. Aku pergi dulu," ujar Juno seraya bangkit dari kursinya.
"Eh Jun, memangnya tugas kamu ini kapan dikumpulnya?" tanya Jeje seraya memijat pelan jemarinya yang mulai lelah menulis.
"Ah iya, aku lupa memberitahu kalian. Semuanya dikumpulkan hari ini jam tiga. Tapi khusus untuk yang matematika itu boleh sih jam tiga lewat tiga puluh."
"Apa? Jam tiga?"Jeje histeris. Segera dilihatinya jam tangan yang ia kenakan, mereka hanya memiliki waktu satu jam untuk empat tugas yang baru setengah jalan. Dia kesal sekali, dicengkeramnya tangan Juno dengan sangat erat.
"Kamu sengaja membuat kami begini? Sialan!" umpat Joni yang segera berdiri siap untuk memukul kepala si bungsu.
"Ahh sudahlah kalian tidak perlu marah. Mending sekarang kalian kerjakan agar lekas selesai," ujar Juno yang menyeringai. "Aku ke kelas, ya. Dosennya sudah mau masuk sekarang. Dahh โฆ semangat!" Juno melepaskan cengkeraman tangan Jeje dan menepuk pelan bahunya. Dia lantas pergi menuju kelasnya dengan menahan tawa karena merasa senang telah memperlakukan kedua saudaranya seperti itu.
Jeje mehela napas panjang. "Baiklah. Ayo kita lanjutkan. Masih banyak yang harus ditulis dan diketik โฆ," ujarnya pada Joni yang masih berdiri kesal.
"Kok kamu mau diperlakukan seperti ini sama Juno, sih? Dia sangat tidak tahu terimakasih!" geram Joni yang kembali duduk.
Rambut panjang Jeje yang semula rapi kini menjadi bernatakan dengan beberapa helai pendek yang berdiri seperti baru saja tersengat aliran listrik.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Joni yang mulai khawatir dengan adik perempuannya.
Jeje mengangguk. "Dia adik kita, Jon. Sudah seharusnya kita berbuat baik dan membantunya," ujar Jeje. "Lagipula, ini demi uang โฆ," sambungnya dengan helaan napas panjang pasrah.
Joni mengangguk pelan. Dia sangat menyetujui kalimat Jeje, karena mereka adalah tim hemat yang memang harus menabung untuk keperluan mereka.
***